Universe 2: Apa Aku Pernah Ada?

181 24 1
                                    

Sejak umur tujuh tahun, saat Lee Hakhyun pertama kali bertemu saudara tirinya, Kim Dokja, dia sangat senang. Anak itu selalu mengikuti kakaknya kemanapun dia pergi. Umur mereka tidak jauh berbeda, namun bagi Hakhyun, Dokja tampak lebih hebat dan bersinar.

Dokja tidak banyak bicara, dia mengucapkan kalimat seadanya saat Hakhyun berbicara padanya. Dokja juga selalu tidur di kamar yang sama dengannya, kakaknya juga selalu membacakan buku dongeng untuknya.

Hakhyun selalu tertidur lebih dulu.

Pagi itu, wajahnya Dokja lebam membiru.

“Wajah Kakak kenapa?” tanya Hakhyun khawatir.

“Jatuh.” Dokja menjawab singkat. Hakhyun terlalu polos untuk mengerti bahwa itu kebohongan, anak itu mengangguk.

Semenjak hari itu, Dokja selalu mengajak Hakhyun berjalan-jalan sore. Mereka akan pulang malam, saat ayah Dokja bekerja. Dokja juga tidak ingin Hakhyun bertemu ibunya yang berada di kamar.

Itu terus terjadi sampai Hakhyun menginjak bangku SMP. Berbeda dengan Dokja yang selalu gagal dalam hal akademik, Hakhyun adalah anak emas guru. Mereka sering menjadi menjadi perbincangan, Hakhyun tidak punya teman.

Mereka semua jahat, omongannya menyakitkan, bagaimana bisa mereka mengatai kakaknya anak haram?

Di titik itu, Dokja menjauh. Dia menjadi orang yang tidak bisa Hakhyun mengerti. Saat Hakhyun menjadi anak organisasi sekolah, Dokja tidak melarang, dia pulang lebih dulu. Mendekam di kamar berbeda saat Hakhyun kembali ke rumah.

Hakhyun jarang melihat ayahnya, dia telah pergi di saat Hakhyun tidak ada.

“Kak? Aku membawa makanan.” Hakhyun mengetuk pintu kamar Dokja.

“Letakkan di depan pintu. Masuk kamar dan tidur.” Dokja menjawab, Hakhyun mengangguk tanpa sadar. Dia meletakkan bungkus makanan di depan pintu.

“Kak? Apa kau punya masalah?” Hakhyun berbicara lirih. Ada sirat rasa sesak, Dokja semakin hari semakin menghindar. “Aku saudaramu bukan?”

“Hakhyun, cepat masuk kamar, tidur.” Dokja tidak ingin menjawab. Suaranya lebih panik dari biasanya.

“Iya, Kak.” Hakhyun menunduk, dia masuk ke dalam kamarnya.



***



Waktu berlalu dengan cepat, Hakhyun dan Dokja menginjak bangku SMA. Hakhyun bukan anak polos lagi yang bisa Dokja bohongi, semakin tidak mendapat kejelasan dari kakaknya, semakin gencar dia mengekori Dokja kemanapun dia pergi.

“Kak, ayo pulang. Kenapa kau berputar di taman?” Hakhyun memiringkan kepalanya, anak rambut berjatuhan lembut dengan mata hitamnya yang bersinar.

Dokja gelisah. “Kau bisa membelikanku ramen?”

Hakhyun menggeleng. “Kakak ingin kabur? Tidak, aku dan Kakak harus pulang bersama mulai sekarang.”

“Hakhyun-ah.”

“Tidak, Kak.” Hakhyun bersitatap. “Aku bukan anak kecil lagi.”

“Hakhyun kau tidak mengerti.” Dokja menekankan ucapannya. Matanya sarat akan luka.

“Apa yang tidak kumengerti, Kak? Katakan padaku.” Hakhyun melirik perban yang melingkari leher Dokja. “Kenapa kau selalu terluka? Itu bukan luka jatuh, terpleset, atau menabrak pohon.”

Dokja tidak menjawab lagi. Dia memilih diam. Hakhyun menggerang dalam batin, frustasi kenapa Dokja tidak terbuka dengannya.

Di hari berikutnya, Hakhyun sudah terlalu emosional. Dia masuk ke dalam perpustakaan sekolah di mana Dokja berada. Dokja menyadari kehadirannya, tapi tidak sedikit pun ingin melirik ke arah Hakhyun. Dia terus membaca.

Hakhyun mengepalkan tangannya.

“Kak Dokja, aku bertanya apakah kau bahagia? Apa aku pernah sedikit saja kau anggap saudara?”

Hakhyun berdiri, menatap lurus pada kakak laki-lakinya yang sedang membaca buku. Mereka diam untuk sejenak, Dokja berpikir banyak hal rumit.

“Hakhyun-ah.” Dokja menutup bukunya. “Jika ada satu dunia di mana aku bahagia, maka aku akan memberikan dunia dan kebahagiaan itu padamu.”

Hakhyun menatap nanar.

“Karena dunia di mana aku berada, akan menjadi kesialan untukmu juga.” Dokja berdiri dari posisinya. Dia berjalan melewati Hakhyun tanpa banyak bicara.

Keesokan harinya, Hakhyun ada rapat organisasinya. Dokja pulang lebih dulu seperti biasanya saat Hakhyun sibuk. Berat hati, punggung Dokja berjalan ringkih keluar dari gerbang sekolah.

Hakhyun menghela napas. Dia merogoh tasnya untuk mencari proposal yang diminta. Eh?

“Ketinggalan?” tanya temannya panik.

Hakhyun menepuk keningnya. “Aku akan mengambilnya dengan cepat, tunggu.”

Lantas Hakhyun berlarian kelaur dari sekolah, mungkin Dokja sudah pulang karena Hakhyun tak melihatnya di taman terdekat.

Hakhyun melihat mobil ayahnya terparkir rapi di depan rumah, akhirnya Hakhyun tahu kapan ayahnya pulang. Tanpa memikirkan banyak hal, dia membuka pintu rumah.

Bugh.

Tubuh Dokja menabrak tembok rumah. Kepalanya terbentur, ibu Hakhyun menangis, mengais-ngais tangannya untuk melindungi Dokja dari monster pria tak berperasaan. Ayah mereka.

Plak. Ibu Dokja ditampar, dijambak, dan didorong ke samping Dokja.

“Ka ... kak?” panggil Hakhyun gemetar. Katanya memanas melihat perban di leher Dokja lepas, menunjukkan bekas cekikan dalam di lehernya.

“Hakhyun?” Dokja membuka matanya lebih lebar. “Tidak.”

“Anak sialan, ah, kau tidak pernah terlihat.” Ayah Dokja memegang botol bir yang pecah. Dia berjalan menuju Hakhyun.

“Kakakmu sangat sayang padamu ‘kan?” tanya ayah mereka.

Gigi Dokja bergemeletuk. Dia mengangkat tubuhnya susah payah, berlari kecil dan mendorong pria itu sebelum dia mendekati Hakhyun.

“Aku sudah bilang padamu, Bajingan! Tidak untuk Hakhyun.” Dokja limbung saat ayah mereka menendangnya.

Ayah mereka berludah. Muak berada di rumah, dia pergi hingga menabrak bahu Hakhyun.

“Kak?” Tangan Hakhyun gemetar, dia memapah Dokja. Lupakan tentang proposal sekolah, Dokja terluka.

Untuk melindungi Hakhyun.

Dokja tidak banyak bicara, ibu mereka segera mengurung diri di kamar. Hakhyun membantu Dokja berbaring di kasurnya.

“A-aku akan membawa air.” Hakhyun kembali membawa segelas air, membantu saudaranya minum.

“Anggap ini mimpi, Hakhyun-ah. Aku tidak pernah terluka, kita tidak pernah punya ayah. Kita bahagia.”

“Bahagia?” Suara Hakhyun serak. “Sebenarnya bahagia yang kau inginkan itu seperti apa, Kak?”

“Tidak punya monster seperti itu di rumah kita.” Dokja menjawab singkat.

Hakhyun meninggalkan kamar Dokja setelah Dokja tertidur.

Hakhyun tidak akan tidur malam ini.

Suara desing mobil terparkir di halaman rumah mereka. Monster itu kembali pulang membawa banyak uang di tangannya, sumringah dengan wajah gila, berbau alkohol.

“Kau?” Ayah mereka berdecih.

Hakhyun berjalan mendekat, selangkah, dua langkah, semakin dekat.

Dokja membuka pintu saat mendengar suara monster itu. Matanya membulat melihat Hakhyun ada di sana.  “Hakhyun!”

Ayah mereka tertawa, dia menjambak rambut Hakhyun. “Kau mencari kematianmu sendiri, Nak.”

Jleb.

Pisau berlumuran darah masuk sempurna menyelami jantung ayah Dokja. Tangan Hakhyun menekan lebih keras tanpa ragu, pria itu mengumpat dan berusaha mendorong Hakhyun.

Dokja berlari, menarik tubuh Hakhyun yang tidak mau lepas.

“Lebih baik kau mati.” Hakhyun berbisik. Dia menekan lebih keras, hingga deru napas kesakitan ayah Dokja hilang dari bumi.

Senyap. Tubuh pria itu limbung bersimbah darah.

Hakhyun menjatuhkan pisau. Dia menangis, dia sudah membunuh, tapi apa yang bisa dia lakukan? Dia ingin semuanya baik-baik saja.

Dokja merobek pakaiannya, dia membersihkan tangan Hakhyun dari darah. Menyapunya hingga tidak bersisa. “Tidak apa-apa Hakhyun. Tidak ada darah. Kau tidak melakukan apapun.”

Darah itu hilang dari tangannya.

Kini, hanya tangan Dokja yang berlumuran darah.



***


Hakhyun terbangun.

Dia berada di wilayah salju.  “Kak Dokja?”

Dokja menepuk kepala Hakhyun dengan lembut. “Tidur. Kau bermimpi buruk.”

Hakhyun tidur, kembali merasakan kasur empuk asrama terapinya yang nyaman.

Sedangkan Dokja, tubuhnya mulai meringkuk di balik sel penjaranya yang dingin.



***
Tamat.

ORV; UniversesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang