2. Ingatan yang luka

308 77 6
                                    

"Adek lo?"

Kepalanya tertoleh pada sumber suara, dehaman singkat ia berikan sebagai jawaban. Baginya itu sudah cukup untuk menanggapi ucapan temannya. Puntung rokok yang sudah sangat pendek itu ia padamkan di asbak lalu menarik satu lagi dari dalam kotak dan menyalakannya. Meskipun di bungkusan rokok itu terdapat peringatan penyakit yang disebabkan karena merokok dirinya tidak pernah peduli. Tidak terlalu memikirkan kedepannya, yang simpel-simpel saja. Nyatanya sekarang dirinya menjadi tenang dengan gulungan tembakau itu.

"Sampe kapan lo mau kayak gini?"

Laki-laki itu mendengus karena temannya yang lain melemparkan pertanyaan. Ia menghisap rokok itu, menahan sebentar, menikmati sensasi asap yang memenuhi paru-parunya lalu menghembuskan dari mulutnya.

Merasakan kenikmatan palsu.

Tidak ada yang risih, lagi pula di tempat ini memang dipenuhi asap rokok. Untungnya ini outdoor sehingga mereka tidak akan sesak nafas masal jika orang sebanyak ini merokok di dalam satu ruangan.

"Gini gimana?" tanyanya acuh tak acuh.

"Ya ngga peduliin adek lo!" 

Ia menggelengkan kepala lalu terkekeh ringan. Kenapa teman-temannya senang sekali mencampuri urusannya sih? Tau dari mana mereka jika dirinya tidak peduli dengan adiknya? Sebenarnya Liam sendiri tidak tau penyebab hubungan dirinya dan adiknya renggang. Padahal mereka tidak pernah memiliki masalah atau bertengkar hebat. Tapi semakin dewasa, mereka juga semakin menjauh, hanya mementingkan urusan pribadi tanpa ada rasa peduli.

Terlebih lagi, mereka jarang bertemu sehingga tidak ada waktu yang cukup untuk berinteraksi atau memperbaiki hubungan. Hingga sekarang, bahkan untuk berbicara baik-baik, hanya ada kecanggungan yang hadir di antara mereka. Itu yang membuat Liam merasa malas dan sedikit kesal.

"Liam tuh bukannya ngga peduli, tsundere dia mah! Buktinya minggu lalu dia panik banget pas si Rian dihajar bokapnya."

Liam. Anak itu hanya diam dan membiarkan teman-temannya membicarakan dirinya dan adiknya. Tidak terlalu peduli. Ucapan mereka tidak akan merubah atau memberikan dampak apapun pada kehidupannya.

Masih begini-begini saja tuh!

Hidupnya masih hancur.

"Ah besok-besok ga usah maen ke rumah Liam lagi, ngeri juga sama bokapnya."

Liam tertawa. "Kan udah gue bilang jangan ke rumah gue, lo semua pada ngeyel. Kena mental ngga tuh liat kelakuan bokap gue?"

Teman-temannya yang ada di sana saling pandang. Mereka saja merasa tidak nyaman padahal hanya beberapa saat, namun Liam bahkan tinggal di rumah itu. Memikirkan setiap harinya Liam berhadapan dengar papanya. Sungguh mereka merasa prihatin. Namun melihat Liam yang dengan begitu santainya berucap, mereka tau bahwa sahabatnya itu cukup kuat untuk menghadapi masalah di hidupnya. Namun apakah Liam benar baik-baik saja? Atau diam-diam dirinya perlahan hancur karena menyimpan semuanya sendiri dan bersembunyi di balik wajah dinginnya? Apa anak itu benar-benar sekuat yang terlihat?

"Liam... jangan buat hubungan lo sama adek lo semakin renggang, gue yakin lo juga udah capek sama keadaan lo yang sekarang, kan?"

Liam mengernyit. "Lo keliatan peduli banget sama urusan gue, Daf?"

"Gue cuma berusaha bikin lo ngerti dimana letak kesalahan lo!" Dafa menjawab dengan tegas.

"Kesalahan gue? Lo siapa sampe bisa nyalahin gue?!"

Dafa berdecih. "Lo ngga pernah berubah ternyata. Gue kasihan sama lo. Lo tau kenapa? Karena orang kaya lo hidupnya penuh kesalahan. Lo ngga pernah ngaku salah padahal nyata-nyata ada. Hidup ngga pernah lepas dari kesalahan dan manusia pasti pernah berbuat salah. Jadi, coba belajar dari setiap kesalahan. Bukannya nolak disalahkan, dan akhirnya semakin tenggelam dalam kesalahan itu."

Sesaat Yang DinantiWhere stories live. Discover now