02

5.6K 645 81
                                    

Restoran tempat Sena bekerja, Ribs House Resto, tutup pada pukul 11 malam. Sena yang baru saja selesai ganti baju pun memikirkan apakah ia harus jadi menjenguk makam anaknya. Ini sudah terlalu malam, apalagi Darto ingin ikut.

"Sen, udah beres?" tanya Darto yang masuk ke ruang ganti.

"Emm ... Kayaknya mendingan pas libur aja deh To gue ke makam anak gue. Ini udah malem banget, masih gerimis juga di luar. Lo sendiri dari sini aja rumahnya udah lumayan jauh."

"Ooh, Yaudah kalo gitu. Tapi kalo lo mau ke makam anak lo, bilang gue. Jangan guenya di tinggal."

"Iya To, iyaaa. Udah sana lo balik, bisa-bisa lewat tengah malem lo baru sampe rumah kalo ngobrol mulu."

"Oke. Lo juga, hati-hati di jalan."

Sena mengangguk kemudian mengambil tasnya di loker. Ia bergegas keluar dari restoran dan pulang menggunakan motornya. Semenjak ia bekerja di restoran, ia jadi bisa memiliki kehidupan yang jauh lebih baik meski hatinya masih sering berujar sakit akan masa lalunya.

Berbekal kemampuan memasaknya, ia berhasil masuk sebagai koki di restoran keluarga yang bisa dikatakan elit. Bahkan sekarang ia juga sudah punya tempat tinggal sendiri meski masih sebuah rumah kontrakan.

Jalanan sudah lebih sepi dari jam-jam sibuk biasanya. Meski masih banyak kendaraan yang berlalu lalang, tapi jalanan kota Jakarta terasa cukup mencekam jika jumlah kendaraan yang lewat lebih sedikit.

Sena melajukan motornya saat lampu lalu lintas sudah berubah hijau. Di persimpangan matanya tak sengaja menangkap 2 orang bocah laki-laki yang nampak sedang tertidur dengan posisi duduk di trotoar. Sebesit rasa tak tega menyergap hatinya hingga membuatnya memilih putar balik untuk mendatangi kedua bocah itu.

"Dek, Dek..." ujarnya dengan lembut sambil mengguncang bahu salah satunya yang nampak lebih dewasa dari bocah yang ada di sebelahnya.

Mata sipit bocah itu terbuka, berusaha melihat jelas siapa pria asing di depannya.

"Maaf Kakak ganggu tidurnya. Adek udah makan?" tanya Sena.

"Makan siang doang tadi, Kak." jawab bocah itu dengan suara pelan. Antara dia lemas karena lelah dan belum makan atau tidak ingin mengganggu tidur bocah di sebelahnya.

"Oh, ini Kakak ada sedikit uang buat Adek. Kakak gak bisa beliin makan sekarang soalnya banyak yang udah tutup. Kamu terima uangnya ya? Besok pagi kamu pake buat beli sarapan sama temen kamu ini. Mudah-mudahan bisa cukup sampe buat makan sehari ya."

Bocah itu nampak sedikit ragu menerima uang sebesar 200.000 dari Sena, namun ia tetap menerima uang itu setelah melihat wajah Sena yang berharap ia mau menerimanya.

"Makasih ya Kak. Semoga rejeki Kakak lancar terus."

Sena tersenyum. Ada sekelebat air mata yang memenuhi matanya dengan rasa terharu mendengar doa tulus dari si bocah.

"Iya, makasih ya doanya. Kakak pamit dulu ya."

Sena segera kembali ke motornya dan melanjutkan perjalanan pulang. Ia juga jadi teringat bahwa bulan ini ia belum mendatangi panti asuhan yang menjadi tempat dirinya berbagi.

Semenjak Yosse meninggal, Sena memang dirundung rasa sedih dan bersalah yang sangat mendalam. Berbulan-bulan ia menjalani kehidupan seperti mayat hidup. Tubuhnya sempat menjadi sangat kurus karena ia selalu menolak makan. Beruntung Ardi masih mau menemaninya, selalu berusaha memberinya semangat dan berkata bahwa akan selalu ada kesempatan baru setelah kegagalan.

Untuk mengalihkan rasa sedihnya, Ardi menawarinya sebuah pekerjaan atas informasi dari Pak Rudi. Saat itu Sena bekerja di sebuah warung makan biasa, sebelum kemudian seseorang memuji masakannya dan menawarkannya untuk bekerja di restoran miliknya, restoran yang kini menjadi tempat kerja Sena. Setelah memiliki pendapatan yang cukup dan stabil, Sena menyisihkan uangnya untuk ia donasikan ke panti asuhan.

Drive Me Crazy || The Housekeeper S2Onde histórias criam vida. Descubra agora