19. Ketahuan Xabina

Start from the beginning
                                    

"Itu.. kenapa ada banyak rok? ada pita sama jepitan juga. Punya siapa, Mas?"

Barat tak langsung menjawab. Pria itu melingkarkan kedua lengannya pada bahu Xabina. Dikecupnya pipi yang lebih muda dengan penuh ketulusan. Jelas, ia nampak berhati-hati dengan apa yang akan diucapkannya.

"Punya Adek, baju dan hiasan cantik itu cuman cocok dipakai sama orang yang cantik juga."

Xabina menoleh. "Kenapa? emangnya Adek boleh pakai-pakai rok? Adek kan laki-laki, kalau pakai jepitan dan pita nanti dihina sama orang lain." Entah apa yang dipikirkannya, pria manis itu seakan sengaja melirihkan akhir dari kalimat yang ia ujarkan.

"Anggap gak ada orang lain di sekitar kita, Adek suka gak pakai itu semua?"

Xabina mengangguk.

"Then do it, pendapat orang lain gak sebanding sama kesukaan Adek. Mas gak peduli, kalo ada yang berani buat bicara buruk tentang Adek, bilang aja sama Mas. Mereka bakal berhadapan langsung sama suami dari orang yang udah mereka hina. Mas janji, mereka gak akan bebas sebelum bersimpuh di tempat yang paling kotor hanya untuk satu permintaan maaf."

Menggigit daun telinga Xabina, Barat bicara dengan suara rendah. "How is it, Love? kalau itu semua kurang, Mas bisa kirim mereka yang udah nyakitin kesayangan Mas yang satu ini jauh ke pulau tak berpenghuni. There will be no one, let them suffer day by day—"

"Cukup, cukup!"

Melepas peluk, Xabina berbalik untuk bertemu pandang dengan Barat. Lihai dirinya bertindak dan membungkam Barat dalam sebuah ciuman. Bertemu kedua ranum, saling bertaut mencipta benang saliva. Layaknya menemukan air di tengah gurun, mereka berlomba untuk redakan dahaga.

"Nghh—" Satu lenguhan meloloskan diri setelah Barat menarik pinggang Xabina hingga tak ada jarak diantara keduanya.

Paham akan alur permainan, Xabina mengalungkan kedua lengan ke leher Barat yang kini sudah berhasil untuk menggendongnya. Perlahan tapi pasti, yang lebih dominan berjalan menuju kamar tanpa sudi untuk melepaskan pagutan yang terlampau nikmat.

Tiba di hadapan ranjang, pria cantik dalam pelukannya pun ia baringkan dalam posisi yang nyaman. Oh, Barat benar-benar dibawa terbang menuju langit. Andai isak tangis tak hadir dan menyadarkannya, Barat pasti sudah lupa akan daratan.

"Hey, kenapa nangis?" Tak henti Barat merutuki kebodohannya yang begitu lancang untuk menjamah tubuh sang istri. Ia lupa, bagaimana pun, consent adalah hal yang tidak boleh terlewat.

"Maaf, Sayang. Mas udah lancang dan gak minta izin dulu ke Adek. Mas gak akan kayak gitu lagi, that was the last time, i promise."

Seakan tak satu suara dengan ucapan itu, Xabina kembali menarik Barat ke dalam pelukan. Mengingat Barat yang masih diam dan mengukung Xabina, posisi ini membuat keduanya terlihat lebih akrab dengan keintiman.

"Dek, Mas.. b-bisa meluk adek sambil duduk. Bangun dulu, yuk?"

Menolak, Xabina malah mengeratkan pelukannya pada yang lebih dominan. "Mas kenapa baik terus ke Adek? Mas, kalau Mas berubah, Adek pasti sedihh sekali. Adek gak mau ditinggal sendiri lagi, Adek.. Adek takut buat ngadepin orang-orang jahat kalau Mas gak ada."

Menghela nafas, Barat tahu bahwa ia merasakan sakit yang teramat sangat. Ini belum seberapa, masih banyak sisi lemah dari Xabina yang belum hadir ke permukaan. Sanggupkah ia? baru permulaan saja, Barat rasanya sudah ingin menghancurkan seisi dunia ini berikut dengan seluruh manusia yang menjadi pengukir dari luka milik pria dalam rengkuhannya.

XABINAWhere stories live. Discover now