Langkah gontai, tinggalkan keributan. Bahu masih senantiasa bergetar, sisa segukan. Naiki tangga tak bertenaga, tutup pintu asal. Timbulkan bunyi debam kencang, kagetkan dua anak-ibu yang masih sibuk berseteru di ruang tamu.

“Jawab sejujur-jujurnya, kamu apain Khansa?” Sudah hentikan penganiayaan (bukan dalam konteks serius), desak Jendra untuk segera beri penjelasan.

Raup oksigen sebanyak-banyaknya. “Biarin Jendra napas dulu, Bu.” Angkat tangan kanan sebagai isyarat.

Dirasa sudah cukup kondusif, Jendra beber apa yang sebenernya terjadi. “Ambu tadi Magrib ‘kan nyuruh Jendra nyari Khansa?” Yang lebih tua, mengangguk, mengiyakan. Memang benar demikian. “Jendra carilah dia kemana-mana, ke sekolah, jalan-jalan kota, sampai rela nanya-nanya ke rumah temen sekelas dia bareng satpam sekolah, hasilnya nihil. Terus, pas Jendra pulang, mau bilang sama Ambu kalo Khansa enggak ketemu, dia udah ada di depan rumah aja. Sikapnya mendadak aneh, waktu Jendra tanya kenapa, dia malah nangis.”

“Oh, gitu?”

Jendra konstan ternganga. 𝘚𝘱𝘦𝘦𝘤𝘩𝘭𝘦𝘴𝘴. “Cuman ‘oh gitu’ doang, setelah apa yang udah Ambu lakuin sama Jendra?” Desah kasar penyalur perasaan menolak percaya.

“Ya udah, maaf.” Kendati suaranya kentara tidak ikhlas, buat Jendra hela napas.

Mengalah, sudah. Rumus orang tua selalu benar, tidak pernah sekali pun lakukan salah tidak akan pernah bisa dibantah. Itu sudah menjadi adat-istiadat turun-temurun.

Memilih tak menjawab, Jendra melengos begitu saja, masuk kamar. Bibirnya berkomat-kamit, bergerutu. Rupa-rupanya anak itu pundung. Tentu saja, dia adalah satu-satunya korban ketidakadilan di sini.

Sementara, Khansa kini biarkan tubuhnya terbaring meringkuk di atas ranjang alih-alih segera mandi, mengganti bajunya yang lembab. Persetan dingin dan masuk angin, pokoknya suasana hati Khansa sedang tidak baik-baik saja.

Usap kasar sisa genangan pada pelupuk. Pandangan menerawang, telusuri penjuru pelafon sewarna kelabu. Sebab, sudah lama tidak di cat ulang itu dengan sorot mengawang sayu.

Tanpa dikomando, percakapan bersama Sihan tadi sore tiba-tiba mampir dalam keruhnya kepala. Sempat menerka-nerka terlalu jauh. Hingga pada akhirnya tertampar realita sialan. Khansa terlalu cepat ambil kesimpulan.

“𝘈𝘬𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘴𝘶𝘯𝘨 𝘬𝘦 𝘪𝘯𝘵𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘢𝘫𝘢, 𝘣𝘦𝘴𝘰𝘬 𝘭𝘶𝘴𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘪𝘯𝘥𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘬𝘰𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘦 𝘚𝘶𝘳𝘢𝘣𝘢𝘺𝘢. 𝘚𝘦𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮 𝘱𝘦𝘳𝘨𝘪, 𝘢𝘬𝘶 𝘪𝘯𝘨𝘪𝘯 𝘫𝘶𝘫𝘶𝘳. 𝘈𝘬𝘶 𝘮𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘵𝘰𝘭𝘰𝘯𝘨 𝘱𝘢𝘥𝘢𝘮𝘶, 𝘢𝘨𝘢𝘳 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘵𝘦𝘳𝘬𝘦𝘫𝘶𝘵. 𝘖𝘬𝘦?”

“𝘚𝘦𝘣𝘦𝘯𝘦𝘳𝘯𝘺𝘢, 𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘶𝘬𝘢 .... ”

“𝘔𝘢𝘢𝘧, 𝘭𝘰 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘪𝘱𝘦 𝘪𝘥𝘦𝘢𝘭 𝘨𝘶𝘦!”

“𝘒𝘢𝘮𝘶 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘪𝘱𝘦 𝘪𝘥𝘦𝘢𝘭 𝘢𝘬𝘶.”

“𝘛𝘦𝘳𝘶𝘴?”

“𝘈𝘬𝘶 𝘴𝘶𝘬𝘢 𝘤𝘰𝘸𝘰𝘬 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘯𝘨𝘢𝘯𝘵𝘦𝘳𝘪𝘯 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘵𝘪𝘢𝘱 𝘱𝘢𝘨𝘪, 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘮𝘶, 𝘒𝘩𝘢𝘯𝘴𝘢. 𝘋𝘪𝘢 𝘔𝘢𝘮𝘢𝘯𝘨, 𝘬𝘢𝘮𝘶, ‘𝘬𝘢𝘯? 𝘉𝘪𝘴𝘢 𝘵𝘰𝘭𝘰𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘮𝘱𝘢𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘩𝘢𝘭 𝘪𝘯𝘪 𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘥𝘪𝘢? 𝘈𝘬𝘶 𝘮𝘢𝘭𝘶 𝘬𝘢𝘭𝘰 𝘣𝘪𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘴𝘦𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘴𝘶𝘯𝘨. 𝘛𝘰𝘭𝘰𝘯𝘨, 𝘺𝘢𝘩.”

𝘼𝙣𝙩𝙝𝙤𝙡𝙤𝙜𝙮; 𝘍𝘪𝘯𝘥 𝘺𝘰𝘶 𝘪𝘯 𝘮𝘺 𝘮𝘦𝘮𝘰𝘳𝘺Where stories live. Discover now