xxxii. dilema

59 14 2
                                    

[🎬] xxxii. kembali di balkon kamar; prihal

𝟐:𝟏𝟏 ━━❍───── 𝟒:𝟐𝟑⇆ㅤㅤ◁ㅤ❚❚ㅤ▷ㅤㅤ↻

اوووه! هذه الصورة لا تتبع إرشادات المحتوى الخاصة بنا. لمتابعة النشر، يرجى إزالتها أو تحميل صورة أخرى.

𝟐:𝟏𝟏 ━━❍───── 𝟒:𝟐𝟑
⇆ㅤㅤ◁ㅤ❚❚ㅤ▷ㅤㅤ↻

“Kamu habis darimana aja jam segini baru pulang? Di mana Hujan? Kenapa kamu pulang sendirian?”

Di bawah beranda depan rumah, Jendra berdiri mendongak dalam naungan payung berwarna merah, sebagian besar bajunya basah, napas tak luput terengah. Hadirkan kepulan asap tipis dari mulutnya. Menilik raut wajah, terlukis jelas riak khawatir bercampur bumbu marah.

Khansa sekadar menatap datar tanpa beri sahut, kemudian lalu masuk ke dalam rumah. Sikapnya benar-benar dingin, buat Jendra tidak bisa sembunyikan rasa bingung.

“Khansa, kamu kenapa?” Pegang pundak yang lebih muda dari depan. Spontan hadirkan reaksi penolakan, Khansa enyahkan tangan sang paman lumayan kasar.

“Khansa, jangan bikin Uncle khawatir deh.” Terdengar suara erangan frustrasi. Jendra benar-benar tidak bisa paham dengan sikap Khansa hari ini. Ada apa gerangan?

“Ini semua gara-gara Uncle, aku malu, aku kesel, aku marah, tapi sialnya Uncle bahkan enggak bisa aku salahkan. POKOKNYA AKU KESEL!!” Khansa tekankan kalimat akhir, hadirkan suara nyaring bersama perasaan yang uring.

Kemudian, gadis itu berjongkok, sembunyikan wajah, lanjut menangis. Sempat ternetralisi sebab kehadiran Hansa buatnya bisa lupakan sebagian ingatan itu.

Khansa kira, ketika dia bersapa tatap dengan Jendra, hal memalukan yang terus hilirisasi dalam ramainya antawacana akan segera sirna dalam memori kepala. Bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.

Ironisnya, semua terasa sia-sia. Sebab, wajah Jendra picu ingatan itu kembali lagi. Terus berdesak-desakan secara abstrak, penuhi setiap ruang dalam benak. Sesak.

“Khansa, kamu ken—aduhh!” Jendra tak dapat rampungkan kalimat, sebab tutup panci sudah lebih dulu ambil 𝘴𝘵𝘢𝘳𝘵. Buat dahi dijalari rasa sakit. Dan pelakunya adalah ...,






Ibunya sendiri.

Sembari berkacak pinggang, wanita paruh baya itu menatap Jendra nyalang. “Kamu apain Khansa sampe nangis kaya gitu, ha?!” Dan itu bukan pertanda baik, kesalahpahaman tidak bisa terelakkan untuk terbit.

“Ampun Ambu ..., Jendra beneran enggak apa-apain Khansa!” Tiada guna, sang Ibunda terlanjur emosi. Tidak indahkan ringis melas minta pengampunan, berondongan pukulan tak manusiawi terus menghujani.

“Bohong! Ambu denger sendiri Khansa bilang semua ini gara-gara kamu, ya!!”

Hari itu, Khansa ingat bagaimana Nenek marah besar kepada Hendra karena kesalahpahaman. Bukan tak ingin menjelaskan dan melerai, hanya saja Khansa masih kesal. Pula, dia tidak tahu harus mulai dari mana. Terlalu memalukan untuk diungkit.

𝘼𝙣𝙩𝙝𝙤𝙡𝙤𝙜𝙮; 𝘍𝘪𝘯𝘥 𝘺𝘰𝘶 𝘪𝘯 𝘮𝘺 𝘮𝘦𝘮𝘰𝘳𝘺حيث تعيش القصص. اكتشف الآن