CAMPAKA WANGI, 1985.

Bắt đầu từ đầu
                                    

Semua hadirin berbondong-bondong memusatkan arah pandang mereka pada sosok itu. Walau sering memantik dengki akibat terlalu tajir, kilat kerling wibawa Banyu Soeroso tetap saja jadi bintang dadakan Bagja Alit.

“Terima kasih untuk seluruh warga Bagja Alit yang telah hadir di pesta rakyat megah kita malam ini!” Neneng membuka acara yang katanya megah, padahal bahkan tak seujung kuku dari kesemarakkan hidup Banyu selama ini.

“Untuk tamu agung kita Raden Banyu Soeroso yang telah menyumbang dana kesejahteraan Bagja Alit, kita tampilkan IBING LULUNGU CAMPAKA WANGI!!!” lengkingan suara Neneng mengundang para ronggeng yang sejak tadi bersiap untuk masuk ke arena tari beriring musik yang bertalu talu.

Kina, Susi, Ambar, Sari dan Denok yang disolek apik berkebaya gemilang meliuk-liuk dengan sungkupnya yang penuh payet, mereka memang kembang Kabuyutan Sawal yang sering buat para hidung belang hilang sadar. Tapi kalau diperhatikan seksama, mata Banyu tak lepas dari Biru yang memang paling berkilau dan lain daripada yang lain. sepertinya cakap-cakap angin para ibu-ibu tadi bukan sekadar omong kosong──tapi tak akan pernah ada yang sangka malau pilihannya akan jatuh pada ronggeng lelaki satu-satunya itu.

Banyu tengah memilih, Banyu telah memilih.

Salah satu dari empat ajudan berpakaian nyeni lengkap dengan rambut berminyak disisir rapi mendekatkan telinganya pada yang mulia, ekor mata Banyu terus saja mengarah pada lelaki yang sama.

Telaga Biru; penari dari paguyuban seni paling tersohor se-Bagja Alit, lenggok-lenggoknya apik, lentik bulu mata dan bibirnya yang mungil selalu membius siapapun yang datang bertandang untuk menilik kemampuannya meronggeng, sampai mereka lupa kalau Biru adalah seorang lelaki.

Dari kejauhan, yang 'dipilih' juga seperti sudah terlampau peka lantas menyalur goda lewat mata. Ia mendekat, mengalungkan selendang harum kuncup melatinya pada leher Banyu untuk diajak ngibing beriring seruling gending.

Biru telah dipilih.

ᅠ ᅠᅠ ᅠ
━━━━━━━
ᅠᅠ ᅠ

“Namaku Biru, Telaga Biru. Kau tahu aku lelaki?”

Banyu mengangguk, di sebuah kamar yang dindingnya dilapisi cat putih dan polet-polet turangga. Biru sejak tadi belum berhenti melihat-lihat seisi ruang yang baginya terlalu mewah. Kebayanya masih apik melekat, rias wajah pun belum luntur.

“Tentu.” Banyu menjawab ringan seolah meluruh segala kekhawatiran lelaki di hadapannya, lelaki yang tengah duduk di tepi risbang besi berlapis seprai bunga-bunga.

“Lalu kenapa memilih aku?”

“Bukanya kau yang memilih saya?”

“Aku tidak tolol untuk membaca matamu dari jauh, Banyu.”

“Kau tau nama saya?”

“Siapa yang tak tahu namamu?”

Dari jarak satu meter tepat, pun atas gerak gerik Biru yang santun Banyu dapat menghirup betapa segarnya melati india dan bunga jahe dari ceruk leher lelaki itu. Matanya menyala bak suar api, pemandangan dan rasa yang tak pernah ia temui dari seorang perempuan.

“Saya memilihmu karena tahu kau lelaki.”

“Lalu mau kau olok-olok?”

“Tidak.”

“Lalu?”

Banyu mendekat, jarak batang hidung mereka sisa beberapa senti hingga Biru tercekat-cekat.

“Mau tahu apa alasanmu menari-nari di atas sana.”

“Lalu kau katai aneh? karena pakai baju perempuan dan meliuk-liuk di atas panggung? seperti semua orang saat pertama kali aku melakukan ini?”

“Tidak.”

Biru mulai jengah dengan pengulangan kata tidak yang tiada habisnya.

Pakaian tidak mempunyai jenis kelamin yang bisa mereka pilih, perempuan bisa pakai celana dan kemeja, lelaki bisa saja pakai kebaya sepertimu. Menari juga seni yang bebas, sebagaimana pencak silat bisa dipelajari perempuan, meronggeng juga bisa dilakukan oleh laki-laki. Bukan, saya bukan mau tahu itu.”

Perbincangan pertama mereka di villa gedongan semakin mengerucut, ada enigma yang sama-sama ingin mereka pecahkan sendiri dan sendiri, namun senyatanya malah jadi teka-teki milik berdua.

Biru menatap Banyu lekat, pertanyaannya semakin memukul-mukul tulang minta dikeluarkan.

Lalu apa?”

“Hati saya yakin kamu butuh pertolongan, siapa yang meminta kamu melakukan ini?”

Seperti baru saja dihujam jutaan bongkah batu granit Biru membisu, tatap mereka seperti dikunci oleh takdir yang diam-diam menyelinap lewat celah tak kasat mata. Selama ini Biru selalu menelan kenyataan tentang itu, tentang bagaimana hutang melilit orang tuanya lantas ia jadi tumbal dengan dalih tak semua jantan (berduit) suka perempuan, pun perempuan gila berduit pasti senang lelaki penurut. Menghadiahkan laki-laki molek pada sosial akan jadi hal paling menarik dan menguntungkan. Hajat hidupnya digadai, ia kehilangan dirinya sendiri, Biru tak lagi tersisa barang seujung kuku.

Kamu ini penguntit?”

“Jadi saya benar? iya, Biru?”

Sang Telaga belum menjawab, ia masih takjub dengan bagaimana cara Tuhan mengirim kejutan lewat hal-hal yang tak pernah ia duga.

Saya dengar orang-orang berduit selalu punya cara untuk tau informasi soal orang-orang kecil. Begitu ya? jadi ini benar adanya? kamu mau memberiku santunan?”

Kau juga mungkin lupa kalau manusia punya naluri yang datang dari sini.” Soeroso muda mendaratkan ujung jarinya persis di dada Telaga Biru, kemudian sebuah sengat magis menjalar dari sentuhan kulit keduanya. Biru menunuduk, air matanya jatuh dari tepi yang sayu. Ia tertangkap basah.

Bapak, bapak yang minta. Aku harus masuk sanggar lalu jual diri, menari, lantas dibeli oleh lelaki kampret dan perempuan-perempuan tua! aku sudah habis!”

Banyu dan segala stigma kelabu pada dirinya seketika luluh lepas berhasil hidup memakai naluri. Tangan kanan dan kirinya bergerak merengkuh Biru yang limbung, sorak sorai warga Bagja Alit tadi seolah hilang dihempas badai air mata sang Telaga. Mereka melebur jadi satu.

Saya mau bantu kamu, ini bukan santunan. Ini sebentuk kelayakan yang seharusnya kamu telan sejak lama. Bilang pada bapakmu, saya akan beri dia uang setiap bulannya, kamu juga akan dapat gaji untukmu sendiri. Jadilah ajudan saya, Biru. Temani saya kemana-mana.”

Lonjakan tangis Biru semakin tak menentu, dekap kulit-kulit dengan gesekan baju murah dan mahal saling beradu. Dermaga atas nasib-nasib mujur lelaki itu sudah dekat, ia akan bersauh.

Kamu mau?”

“Aku mau.”

Kepada maha baik Tuhan, bahkan untuk umat yang paling berdosa hasil penilaian manusia, Telaga Biru selamat.

Ia menemukan jalan paling menyala dari sorot mata seorang Banyu.

CATATAN KAKI.

• Latar belakang Gatot Soeroso (ayah Banyu) diambil dari kisah hidup Bob Hasan, kerabat dekat Soeharto.

• Kabuyutan Sawal : Nama lain dari wilayah Panjalu──Ciamis, pada masa pemerintahan Prabu Sanghyang Rangga Gumilang.

• Bagja Alit : nama desa fiksi karangan aku sendiri, nggak ada di peta, boleh kalau mau masuk ke kepala kalian. Hehe

ᅠᅠ ᅠ

BANYU BIRU.Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ