1A

190 16 0
                                    

Melirik langit yang masih gelap melalui jendela apartemennya. Masih pukul tiga dini hari. Sebagian besar orang masih terlelap dengan nyenyak. Sayangnya, Adriana Kalila harus berjuang menembus dinginnya udara dini hari demi sesuap nasi.

Memeriksa sekali lagi barang bawaannya. Seingatnya, ia sudah memasukkan semuanya ke dalam koper. Lila bisa memastikan bahwa tak ada yang tertinggal. Seragam cadangan, pouch yang berisi make up, pakaian, alat mandi, sepatu, dan perlengkapan lainnya sudah masuk ke dalam koper.

Memandangi pantulan dirinya melalui cermin. Penampilannya sudah rapi. Mengenakan seragam berbentuk kebaya berwarna orange. Rambutnya disanggul rapi. Wajahnya telah dipoles menggunakan make up. Meski masih mengantuk, wajahnya harus tetap terlihat segar.

"Kerja capek banget, harus bangun pagi demi nganterin penumpang. Tapi, kalau nggak kerja juga capek nggak punya duit." Ucap Lila pada pantulan bayangannya sendiri.

Menghela nafas kasar. Mengambil kunci mobil yang diletakkan di atas nakas. Lila siap bertempur mencari uang bersama para kelelawar yang juga sedang mencari makan.

Mengendarai mobilnya menuju bandara. Untungnya, jarak dari apartemen ke bandara hanya dua puluh menit. Menurunkan kopernya lalu segera berjalan memasuki bandara menuju flops.

Sudah ada beberapa crew lain yang sedang duduk dengan koper di sampingnya. Tak seperti pekerja kantoran dimana rekan kerjanya selalu sama. Terkadang crew yang akan terbang bersama tidak saling mengenal satu sama lain.

"Pagi, Mbak," sapa Lila kepada salah seorang crew yang akan bertugas bersamanya hari ini. Hanya wanita itu satu-satunya yang ia kenal hari ini. Mereka pernah terbang bersama sebelumnya.

"Pagi, La. Masih ngantuk ya?" Wanita itu bergeser memberikan ruang kepada Lila agar bisa duduk di sampingnya.

Lila mengangguk. "Lumayan. Orang-orang pada tidur kita kerja. Orang-orang pada liburan, kita tetep kerja antar mereka. Cari duit gini banget ya, Mbak?"

Rekan sesama pramugari Lila yang bernama Davina itu terbahak. "Ya, gini lah, La. Namanya juga kerja. Tapi, dulu ini hal yang selalu kamu semogakan 'kan?"

Lila meringis. Benar juga. Dulu ia berjuang keras supaya bisa diterima di maskapai penerbangan milik negara ini. Kini setelah diterima, ia justru mengeluh lelah. "Iya sih, Mbak,"

"Lebih capek cari kerja tahu, La. Beneran deh. Bersyukur kita bisa kerja disini. Bisa jalan-jalan ke banyak tempat, jalan kesana dan kesini, nggak perlu bayar."

Lila mengangguk membenarkan. "Nginep di hotel bagus juga ya, Mbak. Gratis lagi." Kikiknya kemudian. Sebenarnya banyak hal yang Lila syukuri bisa diterima kerja sebagai pramugari di maskapai milik negara ini. Dan yang paling ia syukuri adalah bisa segera terlepas dari keluarga adik ibunya yang telah membiayai kehidupannya.

Bukan Lila jahat atau tidak tahu terimakasih. Hanya saja, istri dari adik ibunya itu terkesan tidak menyukainya. Bahkan masih kerap mengungkit-ngungkit kebaikannya di hadapan Lila. Kalau bisa, ia ingin sekali mencicil biaya hidupnya dulu kepada istri dari adik ibunya itu. Tapi, adik dari ibunya pasti menolak.

"Briefing, La,"

Bahu Lila ditepuk, dan wanita itu segera tersadar dari dari sesi melamun. Bangkit dari duduknya. Berkumpul bersama pilot, co-pilot, dan crew lain untuk melakukan briefing sebelum terbang.

Setelah briefing selesai, Lila bersama satu set crew segera menuju pesawat. Penerbangan akan di lakukan pada pukul enam pagi. Sebelum boarding, Lila melakukan persiapan terlebih dahulu. Mengecek emergency equipment.

Tiba waktunya boarding, satu persatu penumpang mulai memasuki pesawat. Lila bertugas melakukan safety demo di hadapan para penumpang. Gunanya untuk memberitahu para penumpang apa yang harus dilakukan jika terjadi keadaan darurat.

Lila sudah menjadi pramugari selama empat tahun ini. Ia bergabung menjadi pramugari sejak usianya dua puluh tahun. Dan kini usianya menginjak dua puluh empat tahun.

Satu jam berlalu, pesawat telah mendarat di Bandara Adi Soemarmo, Boyolali.

Sembari menanti penerbangan selanjutnya, Lila memilih untuk sarapan terlebih dahulu. Di tengah sesi sarapannya, ponselnya bergetar. Nama tante Anggi muncul di layar ponselnya.

Menghela nafas kasar, Lila abaikan panggilan itu. Ia yakin, tantenya pasti akan membicarakan hal-hal konyol seperti kemarin. Lila sedang malas menanggapi ide-ide gila dari tantenya. Sebentar lagi, ia akan kembali mengaktifkan mode pesawat agar tak ada panggilan tidak penting yang masuk ke ponselnya.

"Kok nggak diangkat, La?" Davina menunjuk ponsel Lila yang bergetar.

Lila menggeleng. "Kayaknya salah sambung deh, Mbak. Soalnya nomornya asing." Ucapnya berbohong.

***

Notes :
Haiii, aku udah publish cerita ini di Karyakarsa sampai part 3 yaaa
Aku publish versi lengkapnya disana ya. Aku juga publish rutinnya di sana. Aku publish setiap hari disana... 🫶

Menjadi DiaOnde histórias criam vida. Descubra agora