4: Apartemen

75 11 0
                                    

Indekos berukuran 3 x 3 meter di daerah Kalibata, baru-baru ini menjadi tempat tinggal Rindu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Indekos berukuran 3 x 3 meter di daerah Kalibata, baru-baru ini menjadi tempat tinggal Rindu. Karena jarak dengan kantor jadi lebih dekat, pukul tujuh kurang ia sudah sampai di sana. Dengan langkah tegas dan wajah memerah menahan emosi, Rindu menutup pintu cukup kencang lalu menyalakan lampu. Sebetulnya bekerja sebagai staf Notaris tidaklah melelahkan, bahkan mempunyai bos manusiawi dan lingkungan kerja yang positif bagaikan keajaiban. Namun, sudah tiga hari ini suasana hatinya diselimuti awan kelabu, bergemuruh selalu tidak tenang.

Rindu langsung merebahkan tubuhnya di kasur. Tulang terasa ngilu, belum lagi kepala yang dipaksa bekerja ekstra untuk memikirkan sebuah jalan keluar. Sambil menahan pening, ia meraih gawai di dalam tas lalu melakukan panggilan kepada Danu, tetapi hasilnya sama saja, yang terdengar hanyalah suara mesin penjawab.

"Danu sialan!" hardik Rindu sambil meninju kasur dengan kencang.

Dua hari yang lalu saat Rindu nekat berkunjung ke rumah ibunya Danu, ia memergoki sang pacar sedang menabur benih dengan selingkuhannya. Ternyata sudah lama ibunya pulang kampung dan tidak tinggal di sana lagi. Adu mulut hingga percekcokan sempat membuat heboh dan akhirnya Rindu memilih untuk pergi dibekali hati yang dongkol.

"Putus? Oke, nggak masalah," tawa Danu menggema. "Awalnya aku memang sayang dan penasaran banget sama kamu, tapi tau nggak? Lama-lama rasanya bosan. Kamu udah nggak menarik lagi, Rindu. Gampang banget di begoin."

"Kambing bencong!" Rindu menghentak-hentakkan kedua kaki ke udara seperti orang tidak waras.

Belum sampai di situ, utang pinjaman online yang mengatasnamakan Rindu datang dari berbagai arah. Semua data valid miliknya, jadi pihak penagih juga tidak mau tahu. Nonimal jika dijumlahkan bisa sampai ratusan juta. Andaikan Rindu punya penyakit jantung, mungkin sudah meninggal karena syok. Lagi-lagi biang keladinya adalah Danu. Sungguh tiga hari seperti di neraka, lalu dua tahun baru bangun dari mimpi indah. Rindu sangat menyesal telah menaruh hati dan mempercayai pria berengsek.

Jadi bisa disimpulkan, pria kurang ajar itu mendekati hanya untuk bersenang-senang dan memakai nama Rindu untuk meminjam uanglalu menghabiskannya dengan wanita lain. Sampai saat ini pun Danu kabur entah ke mana.

Sesak. Rindu memukul dadanya beberapa kali diikuti tangisan tertahan. Kenapa ia bisa begitu bodoh? Mengapa bisa tidak ada pertanda atau apa pun itu? atau selama ini hatinya sudah buta karena cinta?

Cinta tai kucing!

Bila bercerita atau meminta bantuan keluarga di Panti, mau taruh di mana wajahnya nanti? Rindu malu, selama ini selalu memuji Danu ditambah lagi niatan mereka untuk segera menikah sudah sampai ke telinga pembina. Kawan-kawan kantor yang baru saja dikenalnya selama tiga bulan pun tentu bukan tempat yang tepat untuk curahkan permasalahan ini.

Pikiran kalut yang memojokkan Rindu lantas membawanya pada sebuah jalan keluar instan. Tendas tertoleh, tangannya meraih sebuah kartu nama dari dalam tas. Hanya cara itu yang terpikir olehnya sekarang.

Rindu mengubah posisi menjadi duduk sambil meraih gawainya kembali. Pada tampilan layar, ada hampir seratus lebih panggilan tidak terjawab dari debt collector. Hal itu sangat membuatnya frustasi. Ia mengambil napas dalam-dalam seraya mengetikkan pesan dengan tangan gemetar.

Kirim. Nggak. Kirim ... Nggak—, kedua mata Rindu seketika melotot. "KEPENCET. AAA!" Namun, belum tentu dibalas juga kan? Ia benar-benar sedang mencoba peruntungan. Sesungguhnya ia benci dengan kenyataan ini, jadi seperti menjilat ludahnya sendiri sebab meminta bantuan dari Lanang.

Rindu:
Ini Rindu.

Lanang:
So, what can i do for you?

Rindu terperanjat kaget, dibalas cepat sekali! Belum ada lima menit. Sambil memegang dada, ia memejamkan mata sejenak, jadi apa yang harus diketik sekarang?

Lanang:
Kirim no rek.
Butuh berapa?

Anjrit.

Belum sempat membalas tapi harga dirinya sudah jatuh tersungkur. Ingin rasanya marah, tapi salah bila merasa tersinggung karena ucapan Lanang sangat tepat sasaran. Dengan perasaan campur aduk, ia pun mengirimkan nomor rekening dan menuliskan nonimal dua ratus juta. Selang beberapa menit ada kredit masuk melalui notifikasi mobile banking. Namun, hanya sebesar sepuluh juta yang tertera. Pesan dari Lanang pun kembali muncul.

Lanang:
Sisanya saya transfer setelah kita bertemu.

***

"Kenapa harus di sini sih," gerutu Rindu sambil menjaga jarak dengan Lanang di dalam private lift.

Lanang terlihat tenang sambil memasukkan satu tangannya ke dalam kantung celana. "Memangnya mau di mana?" Lift terbuka. Kaki jenjangnya mengambil langkah besar menuju unit apartemen tanpa menunggu Rindu yang mengekor dibelakang.

Rindu benci naik lift! Perasaan aneh pada jantung setiap naik elevator adalah alasan utamanya. Seperti anak itik ia bersusah payah mengimbangi langkah Lanang sebab tidak mau tersesat seperti orang bodoh. Langkahnya pun berhenti di depan sebuah ruangan. Pandangnya memperhatikan Lanang yang menempelkan akrtu akses hingga pintu terbuka.

Saat tidak sengaja berbalik, kedua alis Lanang hampir bertaut karena melihat Rindu membungkuk sambil melepas sepatu pantofelnya. "Ini bukan musala. Kamu bisa copot sepatumu di dalam."

Ya Allah, refleks. Karena kepalang tanggung, jadinya tetap masuk tanpa alas kaki. Rindu menaruh pantofelnya di sebelah sepatu kulit merek Edward Green milik Lanang. Sangat kontras sekali.

Tubuh Rindu bergeming di ambang pintu, terkesima oleh isi apartemen mewah seluas 469 sqm yang memanjakan mata. Tentu jika dibandingkan dengan indekosnya, mungkin di sini hanya nyempil jadi kamar mandi atau malah kurang? Indera penciumannya pun disambut dengan pengharum ruangan beraroma lavender. Gaya elegan perpaduan warna putih dan cokelat, ditambah furnitur mahal yang mengisi setiap sudut ruangan membuatnya sulit menelan saliva.

Gorden besar yang terbuka dengan sendirinya setelah Lanang menekan remote, langsung menyuguhkan pemandangan malam gedung-gedung tinggi dengan lampu yang menyala indah. Pria itu pun beranjak mengambil minuman dari dalam kulkas.

Pemandangan di luar sana sangat menyita atensi Rindu hingga tidak sadar berjalan menyusuri ruang tengah untuk mendekat ke jendela. Harusnya ... semua ini juga jadi milik gue kan? Ia seketika mengingat ucapan mendiang sang ayah soal keluarga Lakeswara. Lantas ekspresi yang terpantul dari bayang kaca menyiratkan rasa kecewa.

Tepat di belakang si gadis, Lanang menempelkan gelas dingin berisikan sirup jeruk ke tengkuk leher Rindu hingga membuatnya tersentak kaget. "Jadi, apa yang buat kamu terdesak sampai butuh uang?"

Rindu menoleh seraya mengelus tengkuk. "Harus banget gue jawab?"

"Ngga sih. Saya cuma penasaran, ke mana perginya orang yang seharusnya ada pas kamu lagi kayak gini." Lanang memperhatikan bibir pucat Rindu, kemudian beralih pada manik gelapnya. "Calon suamimu tau? Oh, atau untuk modal nikah?"

Apa semua laki-laki sama aja? Dekat cuma karena penasaran terus dibuang kayak sampah?

Hati Rindu mencelos, rasa pilu dari relung hatinya kembali mencuat. Gejolak emosi melambung sampai ke ubun-ubun, tentu seraya menengadah bonus tatapan tajam. "Dia kabur abis pinjem uang ke pinjol dan gue nggak tau sekarang dia ada di mana alias gue gagal nikah. Puas?"

Lanang menahan pinggang Rindu ketika hendak beranjak. Namun saat ia ingin menimpali, tubuh mungil gadis itu terasa semakin berat lalu terhuyung lemas dalam pelukannya.

*** 

Sweetest RevengeWhere stories live. Discover now