"Aku mencintai Raksa Auriga, Kakak. Diantara tunanganku, Raksa yang paling kuinginkan. Tentu, karena dia telah berbohong dan menutupi fakta tentang adiknya. Hanya ada satu kesepakatan."

Alis Gestara naik satu. Alih-alih meminta keringanan hukuman. Kinara malah meminta kesepakatan.
"Katakan," ujar Sri Maharaja dengan memangku kaki. Dia tampak penasaran dengan jawaban Kinara.

"Raksa akan menjadi suamiku secara resmi. Pernikahan harus tetap diadakan dan adiknya akan menjadi selirku. Apa pun yang terjadi pada kakak beradik ini di bawah kuasaku. Nawasena akan menjadi pedang kemaharajaan."

Kedua tangan Raksa terkepal. Dia tidak terima Nawasena harus menjalani nasib seperti dirinya. Boneka yang disetir para putri keraton. Raksa sendiri tidak pernah mencintai Kinara, cinta dan hatinya berada di tempat lain.

Ditambah, Raksa merasa jijik berbagi istri dengan adik kandungnya.
Raksa ingin marah, memberontak, dan memaki semua orang. Dia membayangkan menggorok leher Gestara dalam mimpi-mimpinya. Tetapi, Raksa tidak bisa melakukan itu. Hukum kemaharajaan adalah mutlak. Tidak dapat diganggu gugat.

"Baiklah, Kinara. Kau bisa mendapatkan keduanya. Sekarang pergilah bersama Raksa dan Kalingga."

Saat nama Kalingga disebut, semua orang menahan napas.

"Apa?" Kinara sendiri terkejut akan keputusan tersebut. "Kalingga akan membuat dunia kiamat. Aku baik-baik saja bersama Raksa."

"Baiklah, pergilah bersama Raksa saja kalau begitu."

...

Di lain sisi, orang-orang dari kemaharajaan mulai berdatangan dengan berbagai bala bantuan medis. Kendati demikian, tidak seorang pun bisa mendekati Nawasena.

Amarah dan angin yang berembus membuat energi sihir orang lain menjadi berantakan dan tidak bisa digunakan.

Airin yang datang bersama Aren menatap Nawasena dari reruntuhan bagian belakang. Airin tentu saja mengenal Nawasena. Dia tahu, ada yang tidak beres dengan pria itu sejak awal. Melihat kondisinya sekarang, membuat Airin semakin mengkhawartikan dirinya.

"Lo baik-baik saja Ai?" tukas Aren dengan khawatir. Harusnya Airin masih tertidur. Namun, ramuan khusus yang diberikan Aren membuat Airin bisa kembali bangun.
Aren tidak tahu apa itu atau bahan apa yang terkandung di dalamnya.

Toh, benda itu di dapat dari kenalannya. Itu adalah salah satu koleksi berharga Aren yang dia gunakan saat darurat.

Masalahnya, jika Airin memaksakan diri lagi dalam pertempuran ini. Aren menggeleng, terlalu merepotkan memikirkan segalanya. Sarina sedang pergi ke Kalimantan. Dia tidak mau kehilangan pegawai.

"Gue baik-baik saja, Aren. Lo udah kasih gue ramuan pamungkas. Well, itu artinya gue bakal kerja bagai kuda di kantor setelah ini."

Airin ketawa kecil sambil memberikan keyakinan pada Aren. Pria itu mengganguk kecil.

"Lo bisa menyelinap ke belakangnya?" Aren dan Airin punya rencana di luar bagian kemaharajaan.

"Tentu, Lo janji lindungi gue, 'kan?"

"Kenapa lo menanyakan hal itu?"

Airin tertawa kecil. Dia tahu, Aren akan melindunginya. Kemudian, Aren berkata, "Lo bilang, dia Tucca dan buronan yang dibicarakan. Jadi, selamatkan dia dan buat dia membayar kesembuhannya."

"Dan lo ingin mempelajari darahnya untuk dijadikan bisnis?" balas Airin dengan sinis.

"Tentu, lo tahu siapa Arendatu."

Airin hanya memutar bola mata malas. Aren kemudian merapalkan sebaris mantra ke arah Airin.

"Anjana Rapala Dowa."

Sihir perlindungan tingkat dua. Biasanya diberikan pengucap pada orang lain yang ingin dilindungi. Sehingga mereka bisa berbagi kekuatan.

Mantra itu pun berpendar menyelimuti tubuh Airin seperti zirah dan menghilang. Dengan hati-hati, Airin bergerak mendekati Nawasena.
Angin yang berhembus mulai membuat Airin kewalahan. Dia memadatkan seluruh cakra di bawah kaki sebagai pijakan dan pertahanan.

Airin mulai fokus merasakan peredaran Nawasena. Darahnya tercampur di sana. Walau tidak ada jantung untuk memompa, darah Nawasena tetap bekerja selayaknya orang normal. Itu yang diketahui Airin sebelumnya. Tanpa tahu, Eril sudah mengembalikan organ tersebut.

Perlahan, Airin mengangkat tangannya ke udara. Dari balik pusaran angin, Nawasena juga turut melakukan hal yang sama. Peluh di pelipis Airin mulai turun. Dia semakin mendekati Nawasena. Sihirnya mulai berkurang, namun karena Aren menompang dari jauh. Energi yang dihabiskan cukup stabil.

"Em, Nawasena? Mas Nawa? Anda bisa dengar suara saya?"

Airin tidak bisa lebih dekat lagi. Ini adalah batasan yang bisa ditempuhnya. Lebih dari itu, sihir pelindung Aren akan hilang dan Airin bisa terpental jauh ke udara.

Nawasena yang meraung frustasi, tertengun. Kemudian menatap sekeliling. Samar-samar, dia melihat Airin dari jauh. Bahkan indra penciumannya mengenal wajah Airin.

Insting Ahool Nawasena pun bangkit. Dia bergerak secepat angin ke arah Airin dan mencengkram kedua lengannya. Airin tersentak. Mata kiri Nawasena berwarna merah terang dan bersinar. Urar-urat hitam menyembul menyerupai akar yang merambat di balik pipinya. Giginya yang tajam dan taring tampak beringas dan penuh liur.

"Betina," ujar Nawasena dengan suara serak seorang Tucca.

_/_/_/_
Tbc

The Heroes Bhayangkara Where stories live. Discover now