Sweet Road {} Sungjake

1.2K 52 8
                                    

Happy reading
Have a nice day and enjoy the story


























°🦢°

Deru suara mesin yang bersahutan dengan tumpukan kendaraan roda empat dan sesekali kendaraan roda dua yang bergerak lincah diantara barisan mobil yang tampaknya masih enggan untuk beranjak dari tempatnya— walaupun sudah nyaris sejam lebih berada pada posisi yang sama.

Melempar benda pipih pada genggaman tak kala mendapati balasan tak sesuai dari sang sahabat, menghubungkan rasa bosannya menghadapi macetnya ibu kota dengan statusnya yang kini tengah menyendiri. Aneh.

Menyenderkan punggungnya pada jok berlapis kulit itu, manik jelaganya kini menatap lurus deretan panjang kendaraan roda empat yang tetap enggan bergerak. Dirinya kini menerka-nerka, apa yang tengah menjadi penghalang pada ujung sana.

Kemacetan ibu kota adalah makanan hari-hari bagi siapapun penghuni kota metropolitan itu terlebih lagi dengan jam pulang kerja. Menghela nafasnya, dirinya sudah cukup terjebak lama dalam macet ibu kota— terlihat jelas dengan langit yang tadinya cukup terang kini telah berubah perlahan menjadi gelap sebab sang surya kini telah berganti tugas dengan sang rembulan.

Haidar Darby— pria yang sebentar lagi akan memasuki kepala tiga pada umurnya, bekerja pada perusahaan properti dengan jabatan yang cukup dikatakan tinggi namun tak serta merta buat dirinya tak berpergian jauh demi seorang klien yang berada pada ujung Jakarta– bila tak dituruti, hilang sudah suntikan dana bagi perusahaan tempat dirinya bekerja. Hal itulah, yang menjadi sebuah alasan pasti mengapa Haidar kini terduduk diam dalam mobilnya menghayati kemacetan ibu kota yang jelas sudah membuat pantatnya terasa panas, sebab duduk berjam-jam di atas kursi kemudi— begitu pula dengan kepalanya. Hawa dingin yang mengisi tiap sudut mobilnya, nampak tak begitu membantu.

Setidaknya ini cukup lebih baik daripada, dengan tubuh lelah pikiran mumet dirinya harus berdesakan sesak bercampur bau surgawi, mengejar kereta yang akan mengantarkan mereka pada heaven—rumah.

Matanya bergerak mengikuti para pedagang yang kini tengah asik menawarkan dagangannya pada setiap kendaraan yang terhenti, dengan sesekali melepaskan candaan pada pembeli yang dengan senang hati membeli dagangannya. Begitu pula dengan beberapa pengamen yang akan berhenti pada pintu kemudi, bermodalkan alat musik sederhana dengan gitar usang yang menemani mereka lantunkan sebuah lagu pada ingatan.

Menghela nafasnya, sungguh Haidar kini mati bosan berada dalam mobilnya. Kepalanya kini bersandar pada kaca mobil, membiarkan hening merayap mengisi ruangan— deru mesin bercampur dengan suara musik yang bahkan nyaris tak terdengar menjadi teman kala sepi.

Hening, tak ada apapun selain manik jelaganya yang mengamati sekitar dibalik kursi kemudi. Terlalu sepi meskipun keadaan di luar ramai. Menatap presensi dua insan yang kini tampak tengah memadu kasih, seolah abai akan sekitar— dunia terasa milik berdua. Keduanya tampak tengah berbahagia saling berpegangan tangan melepas canda sembari menyebrangi jalan guna sampai pada trotoar sebrang. Manisnya.

Sebenarnya Haidar tak begitu membenci sepi, dirinya menyukai sepi sebab sudah cukup kepalanya berdengung berisik. Namun akhir ini ia mulai mengalami rasa sepi yang berbeda, hal itu lah yang membuat Januar sedikit berisik mengatai dirinya jomblo, apa lagi umurnya akan menginjak kepala tiga— hanya baru akan kepala tiga, bukan sudah kepala tiga. Terkikik geli kala kembali teringat perkataan Januar dan sang ibu yang mengatainya perjaka tua– tampaknya mereka terlalu takut bahwa Haidar malah akan menikahi tumpukan kertas yang berada di mejanya juga laptop miliknya.

“Gue cuman ngga mau, tante huni sedih ngeliat anaknya ngga laku-laku. Padahal anak temen-temennya yang lain udah pada gendong anak, lah elu masih melukin kertas hvs.”

Yang begitulah ucapan Januar padanya tadi siang kala pria itu menyambangi, ruangannya hanya untuk sekedar menawarkan salah satu temannya yang cukup cantik untuk dikenalkan. Namun ditolak mentah-mentah oleh sang wira— Januar kini makin gentar untuk mengikuti kencan buta atau menyuruhnya untuk sedikit menukar beberapa bubble chat bersama seseorang dari dating app dengan harapan mungkin ada yang cocok.

Haidar bukan tak laku, tapi dirinya yang tak tertarik memiliki sebuah hubungan dengan seseorang atau dirinya yang tak begitu tertarik dengan siapapun mau itu seorang perempuan atau lelaki manis yang sudah banyak ia temui mungkin belum menemukan yang cocok— bahkan dirinya sendiri lupa kapan terakhir kali dirinya memiliki seorang kekasih. Lagi pula siapa yang dapat menolak pesona seorang Haidar? Dirinya tampan, tentu. Dirinya memiliki jabatan yang cukup tinggi, itu jelas. Baik secara finansial ataupun mental Haidar sudah lebih dari cukup untuk membangun sebuah hubungan bahkan hingga melangkah pada tahap yang serius. Juga tak sedikit karyawan dan rekan kantornya yang menaruh kagum atau secara terang-terangan memperlihatkan rasa ketertarikan mereka pada sosok Haidar— tapi dirinya memang yang belum menemukan seseorang yang cocok atau memikat bagi dirinya.

Ntahlah dirinya juga tak tahu di mana akan berlabuh hatinya, pada siapa atau kapan itu.

Baik cepat atau lambat.

Lamunan Haidar buyar begitu saja, kala atensinya kini dicuri oleh segerombolan anak kecil dengan satu pria dewasa yang berjarak tak jauh dari mobilnya. Mereka tampak begitu riang bernyanyi, dengan iringan gitar yang dibawakan oleh pemuda berkaus putih dengan kemeja flanel terikat pada pinggangnya. Haidar ikut tersenyum kala pemuda itu mendapatkan sedikit lembar rupiah dari pengemudi di depannya yang tampak terhibur dengan permainan mereka, hal itu terlihat dari pengemudi itu menurunkan setengah kaca mobilnya menikmati pertunjukan sang pemuda.

Nampaknya Haidar terlalu menikmati interaksi sosok itu dengan para anak kecil tadi, hingga dirinya tak menyadari bahwa pemuda penarik atensinya itu telah berjalan mendekati mobilnya setelah ber-high five ria bersama anak kecil tadi yang ntah ke mana kini pergi.

Mengikuti gerakan pemuda itu sembari menduga-duga lagu apa yang akan pemuda itu lantunkan— kaca mobil Haidar kini diketuk oleh sosok itu, yang kini memberikan gestur untuk meminta sedikit menurunkan kaca mobilnya— yang ntah mengapa dengan tanpa curiga dirinya ikuti kemauannya.

“Selamat malam mas,” sapa ceria pemuda itu.

Haidar tersenyum tipis mendapat sapaan ceria dari sosok itu, “Malam juga.”

Sosok itu terkekeh kala mendengar balasan tak kala ramah dari Haidar, dirinya berdehem sembari memperbaiki letak gitarnya, “Do you have any recommendations? Because it’s the last, it’s special ”

Mata Haidar sedikit melotot kagum kala mendengarkan fasihnya sosok dihadapannya ini berucap “Wow, anything huh?”

“Yeah, anything you want sir.” Ucapnya mantap seolah tak takut bagaimana lagu yang dimintai tak ia ketahui.

Haidar berfikir sejenak, dirinya sangat tertarik dengan tawaran pemuda yang masih setia tersenyum dihadapannya kini, “Hmm, gimana kalau 8 Letters, kamu tau?”

Mendapatkan anggukan antusias dari sang empu, “Banget! Itu lagu favorit aku.”

“As you wish, 8 Letters by why don’t we.” Sambungnya, sembari jemarinya memetik senar gitar yang berada pada dekapan.

Haidar kembali dibuat terkejut dengan pria yang kini berada dihadapannya, matanya barang sekali melepaskan pandangannya dari sosok pemuda yang menarik atensinya sedari tadi. Surai legamnya tampak bersinar diterpa lampu jalan yang berada tepat dibawah mobilnya, bagaimana lampu jalanan itu juga memberi efek glowing pada kulit putih sosok tersebut. Haidar akui pemuda dihadapannya ini memiliki suara yang cukup bagus untuk ukuran seorang penyanyi jalanan, suaranya berpadu lembut dengan petikan gitar yang dimainkan jemari lentiknya. Membuat dirinya hanyut dalam suara merdu sang penyanyi jalanan, yang membuat dirinya sedikit melupakan bahwa dirinya kini tengah mati bosan terjebak oleh kemacetan ibu kota. Dengan tanpa sadar jemarinya merambah kursi di sampingnya, mengambil benda pipih yang tadi sempat ia campakkan hanya untuk sedikit mengabadikan momen.

‘It’s you there in my mind— you’
‘When I close my eyes’
‘If all it is is eight letters…’

Tangan Haidar terangkat, memberikan tepuk tangan mengapresiasi sosok manis yang kini berada dihadapannya. Bergerak mengambil dompet yang berada pada dashboard mobil, jemari panjangnya mengambil selembar rupiah dengan nominal paling besar. Yang tentu memberikan keterkejutan pada sang empu kala dirinya memberikan uang tersebut; “Eh mas ngga usah, ini kebanyakan uang kecil aja.” Tolaknya tak enak hati, mendorong pelan uang yang Haidar sodorkan.

“Ngga ini sepadan sama suara kamu, ambil aja, hitung-hitung sekalian jajanin adik-adik tadi,” ucapnya meyakinkan.

“Serius nih mas?”

Haidar tersenyum, menganggukkan kepalanya yakin, “Iya serius, untuk kamu, sama adik-adik tadi.”

Pemuda balas senyum lebar, “Makasih yaa mas, semoga rejekinya lancar terus.” Ajunya sembari memasukkan uang tersebut pada kantong celana jeans-nya.

Sekali lagi makasih ya mas— menjeda perkataan pemuda dihadapannya kini sedikit berjinjit melihat ke depan— aku pamit dulu ya mas, bentar lagi macetnya bakal udahan… hati-hati di jalan mas.” Pamitnya, lalu diberi anggukan oleh Haidar seolah memberi izin untuk undur diri.

Haidar kembali tersenyum tipis kala pemuda itu menoleh sembari tersenyum menatap dirinya. Hingga beberapa detik kemudian, dengan cepat dirinya kembali mengeluarkan kepalanya dari mobiknya “Hey! Nama kamu siapa?!” Sedikit berteriak, sebab dirinya takut bila yang dipanggil tak mendengar.

Sedangkan yang diteriaki langsung menoleh, “Javier, nama aku Javier.”

Belum sempat Haidar membalas Javier, mobilnya sudah kini sudah diklakson oleh beberapa mobil yang berada dibelakangnya. Sebab mobil dihadapannya kini mulai bergerak, yang membuat dirinya mau tak mau mulai ikut menjalankan mobilnya.

Javier tertawa kala melihat ekspresi Haidar yang cukup lucu kala dirinya terkejut; “See you mas!” ucapnya sembari ikut bergegas menuju tepi jalan.

Menatap punggung Javier yang kini mulai menghilang dibalik mobil yang kini mulai berjalan; “See you too vier.”




























tbc...
Thursday, 230803 / 13:43

Feel free to saran dan kritik🤍
Cr. Yola

Note's: I made this inspired by a real incident that I experienced, masnya lucu,  boleh request bedanya dia ngga tau 8 Letters 😭😭🙏🏻 berujung nyanyi lagu indo

Belamour - Enhypen Where stories live. Discover now