Aku terbangun dengan air mata yang ternyata masih memenuhi pipi. Aku melihat sekeliling untuk memastikan dimana sebenarnya aku. Hingga akhirnya aku kembali menangis ketika sadar kalau sekarang aku sedang terbaring di ranjang rumah sakit darurat. Rumah sakit khusus untuk korban bencana semalam.

Hancur. Harapan ku hancur seketika.

Tidak ada tawa anak-anak, tidak ada alunan gitar, tidak ada lagi cerita malam di teras rumah sambil melihat bintang.

Ibu.. Anak-anak sudah bersama Ibu disana? Kalau iya, Bapak titip ya. Sampaikan permintaan maaf Bapak pada mereka.

Hatiku terus menerus meminta maaf. Aku berharap Ratna bisa mendengarnya dan bersedia menyampaikan pesanku pada mereka.

Aku adalah Bapak yang paling merugi. Kalau ditanya ingin menyerah, aku sangat menginginkan itu sekarang. Tapi dari pada itu, aku lebih berambisi untuk mencari keberadaan anak-anakku. Meskipun seluruh badanku masih terasa sakit, aku harus bangun dan menemukan mereka dengan caraku sendiri.

Tidak peduli dengan teriakan beberapa orang yang memanggil namaku karena kabur dari rumah sakit, aku tetap melangkah dengan air mata yang terus jatuh tanpa henti.

Aku lemas, lemas sekali karena tidak tahu harus kemana aku melangkah setelah ini.

Anak-anakku dimana? Kenapa hanya aku yang tersisa? Atau mungkin tidak? Mungkin saja mereka masih hidup dan sekarang ada di Tenda darurat. Pasti. Itu bisa saja terjadi, kan?

Dengan langkah yang sempoyongan aku berjalan mendekati anak-anak muda yang sepertinya seusia dengan putra sulungku, Khalid. Aku kembali menangis melihatnya. Dimana Khalid? Kenapa berani sekali meninggalkan aku yang masih butuh bahunya disaat-aaat seperti ini.

Kenapa harus sesakit ini balasannya? Apa selama ini aku juga menyakiti anak-anakku sampai seperti ini rasanya?

Aku tidak tahu sudah seberapa jauh aku melakukan kesalahan. Sudah sejauh apa aku menyakiti hati mereka. Bahkan sampai akhir hayatnya, aku masih belum sempat meminta maaf.

Lalu, harus dengan cara apa aku meminta maaf pada orang yang sudah tiada?

Dari pada memikirkan hal yang hanya bisa membuatku semakin terpuruk dan malah tidak ada pergerakan sama sekali. Aku beranikan diri untuk menghampiri anak-anak tadi yang sepertinya adalah relawan.

Kemudian setelahnya aku ikut bersama mereka ke tenda darurat. Dalam perjalanan tak hentinya aku berharap pada Tuhan, setidaknya berikan aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Aku janji tidak akan menyakiti hati siapapun lagi kalau terbukti anak-anakku semuanya selamat. Aku janji.

Tapi ternyata yang lebih mengejutkannya lagi adalah, disaat aku sedang menangis tersedu-sedu melihat keadaan rumah yang hanya tinggal puing-puingnya saja, Pak RT datang menghampiri hanya untuk menyampaikan kabar yang sama sekali tidak ingin aku dengar sampai kapanpun.

Aku menangis sampai tidak mampu lagi menopang tubuhku sendiri ketika Pak RT berbisik tepat pada telingaku.

"Nadi, Esa, Windu, Dipa.. Semuanya sudah dikebumikan di pemakaman khusus untuk bencana, Mas."

Air mataku tidak ada yang jatuh. Semuanya digantikan dengan perasaan sesak yang semakin memukul-mukul dadaku. Kenapa? Kenapa harus semuanya? Kenapa aku dibiarkan menderita? Ini diluar batas kemampuanku, Tuhan. Aku tidak bisa menerima ini semua dengan hati yang ikhlas begitu saja.

Anak-anakku yang malang. Maafkan Bapakmu yang gagal ini, ya? Setelah ini Bapakmu yang gagal, sebisa mungkin akan berdiri dan memulai hidup baru. Bapakmu yang gagal ini akan berusaha untuk menjadi sosok Bapak yang selama ini kalian harap-harapkan.

MERAYAKAN KESEDIHAN Where stories live. Discover now