16. Konsolidasi (Daring)

Start from the beginning
                                    

"Ayu mau kemana, Yu?" Ibu memandang Naela.

"Ke kedai kopi dekat kampus Nawasena itu, Buk. Ada pertemuan para Presma disana."

"Wajib?"

Naela terlihat bingung. Ingin mengatakan wajib, tapi tidak tertera jelas dalam pesan yang ia baca di grup chatting. Ingin mengatakan tidak wajib, tapi hatinya seakan menyuruhnya pergi kesana.

Ibu yang melihatnya menjadi enggan bertanya kembali. "Jidan, mau kemana?" Kini pandangannya beralih pada anak lelakinya.

"Latihan basket buat turnamen. Sebelum Jidan disibukkan dengan urusan PKL, sekolah minta Jidan untuk ikut turnamen basket sepuluh hari lagi."

"Kamu mau latihan tapi pakaianmu kok rapi gitu? Kamu ndak bohong, kan?" Ibu memindai penampilan Zidan dari atas ke bawah.

"Astaghfirullah." Bocah itu mengelus dadanya. "Ini nanti ganti pakaiannya disana, Buk. Ini lihat! Jidan bawa tas gede, nih!"

Sekarang giliran Ibu yang diam. Perempuan paruh baya itu tengah mempertimbangkan sebuah keputusan. Sekali lagi ia pandangi dua anaknya bergantian. "Berangkat bareng aja, kenapa? Nanti Jidan anter Ayu dulu atau sebaliknya."

"Ndak bisa." Naela merespon cepat. "Kalau motornya dibawa Jidan, nanti aku pulangnya sama siapa? Aku belum kenal siapa-siapa disana."

"Kalau motornya dibawa Mbak Ayu, aku juga ndak setuju! Soalnya aku ndak yakin nanti temen-temenku bisa nganter aku pulang." Zidan turut memprotes saran Ibu.

"Bisa pakai ojek online. Kalian kenapa riweh banget, seh?" Intonasi suara Ibu meninggi. Emosinya mulai tersulut sebab manusia dihadapannya sama-sama tidak mau mengalah.

"Jidan ae," kata Naela. "Aku emoh nek nggawe ojek online!"

"Aku podo," sahut Zidan.

"Yowes ndak usah budal kabeh!" Tiba-tiba Ibu menyerobot kunci kontak yang masih menancap di motor. Menyebabkan Naela dan Zidan tercengang di tempat.

"Hari ini semuanya diem dirumah! Ndak boleh ada yang keluar! Ayah juga nanti malem pulang," ujar Ibu bagai sebuah ultimatum.

Naela yang kala itu sedang sensitif, langsung melenggang pergi dari sana. Gadis itu berjalan cepat sembari menghentak-hentakkan kakinya. Saat sampai di kamar, ia meraung-raung seperti anak kecil. Bantal guling dan beberapa boneka yang berjajar di kasur, menjadi sasaran luapan emosinya.

Siapa sangka kemarahannya itu berlarut hingga dua hari lamanya. Ia mengabaikan seisi rumah meski berulang kali Zidan berusaha berbaikan dengannya. Tepat di hari ketiga, gadis itu datang bulan. Segala kekesalan yang seakan bertumpuk nyaris menguasai dirinya, mendadak hilang begitu saja. Demi menutupi rasa malu karena bersikap berlebihan, Naela harus berbesar hati mengeluarkan uang--sejumlah tiga puluh ribu rupiah yang kemudian ia tukarkan dengan beraneka ragam makanan manis untuk Ibu dan juga Zidan.

Usai memperbaiki hubungan dengan anggota keluarga, gadis itu kembali dihampiri perasaan resah sebab pesan yang ia kirimkan tak mendapat balasan. Hal itu yang lagi-lagi membuatnya uring-uringan sendiri--seperti saat ini.

Berbeda dari biasanya, Naela sungguh mengabaikan tiap orang yang berlalu-lalang dihadapannya. Gadis itu terus memaku pandang pada gawai yang ia genggam begitu erat. Kedua ibu jarinya bergiliran menggeser layar untuk memeriksa ruang chat milik Naeka Adhyaksa Pangalila.

Untuk kesekian kalinya, gadis itu berdecak sebal. Wajahnya memberengut menyebabkan banyak orang yang hendak menyapa berakhir memilih pura-pura tak melihatnya. Kecuali seorang pemuda dengan langkah pasti berjalan mendekat ke arahnya.

CATATAN PRESMAWhere stories live. Discover now