prologue;

80 6 0
                                    

"mama, binar main keluar rumah dulu ya!"

seorang anak kecil laki-laki berlari keluar dengan wajah yang cerah, tangannya melambai ke arah rumah, tanda pamit terhadap sang ibu.

"boleh sayang, baliknya sebelum jam 6 ya," jawab sebuah suara dari dalam rumah.

mendapat persetujuan dari sang ibu, ia akhirnya berlari keluar zona rumahnya, mengambil sepeda kecil miliknya sembari bersenandung kecil. anak berumur 6 tahun itu akan bersepeda di jalanan kompleknya, hal yang selalu ia lakukan setiap dua hari. katanya, ia sudah bisa naik sepeda roda dua akibat ayahnya yang sangat keren itu.

ia mulai mengayuh sepedanya seperti yang biasa ia lakukan. memang masih sedikit oleng sana-sini, namun ia cukup percaya diri dengan kemampuan bersepedanya. sampai akhirnya—

bruk!

lalu isakan kecil terdengar dari kedua belah bibir anak kecil itu. lututnya berdarah akibat terkena aspal, telapak tangannya sedikit luka karena menahan diri.

"hey."

yang dipanggil mendongak ke atas, pipinya masih basah dengan air mata.

ia bisa melihat seorang anak laki-laki lain, mungkin sepantaran dengannya. ia menyodorkan tangannya, seakan menawarkan bantuan.

"kamu baik-baik saja?" tanyanya, parasnya melukiskan air muka khawatir.

anak kecil yang baru saja jatuh menggeleng pelan, sembari menerima bantuan dari sang empunya tangan.

"rumahmu dimana? ayo aku antarkan," tawarnya, "sepedanya tinggal saja dulu. nanti bisa ambil lagi saat sudah diobati."

sang pemilik sepeda hanya mengangguk kecil, menunjuk ke arah rumah berwarna biru muda yang pintu gerbangnya terbuka lebar.

keduanya berjalan pelan ke arah rumah tersebut, berharap bantuan dari kedua orangtua anak kecil yang menangis itu.

〃〃〃

"astaga adek, kamu kenapa?" tanya sang ibu, khawatir kala melihat kondisi sang bungsu yang memasuki rumah dalam keadaan berdarah. ia segera mengambil kotak p3k dari lemari dan menghampiri anaknya.

lalu ia melihat sosok yang membantu anaknya berjalan masuk ke rumah, "terima kasih banyak ya, nak."

anak kecil itu mengangguk pelan, membantu sang pemilik sepeda untuk duduk di sofa terdekat dan menunggu diobati oleh ibunya.

"binar, mama udah bilang kalo main sepeda hati-hati.. belagu sih kamu mentang-mentang udah bisa, pasti kamu mau pamer kan?" omel wanita tersebut, kepada anak kecil yang dipanggil binar tadi.

sang empunya nama hanya menunduk, menggunggamkan maaf.

namun tidak lama setelah itu, ia kembali mengangkat kepalanya, mendongak ke arah sosok yang tadi membantunya. ia menyodorkan tangannya, namun kali ini tidak dengan tujuan yang sama seperti lelaki didepannya saat tadi.

"kita belum kenalan. nama aku binar! aku 6 tahun."

yang diajak berkenalan hanya menatap tangan di hadapannya, wajahnya diam seperti batu. tidak berekspresi, tidak berwarna. datar saja seperti itu.

tetapi, ia tetap menjabat tangan binar, ia menatap sepasang mata yang sekarang sedang beratensi padanya.

"zander. aku 7 tahun."

"nama kamu bagus! makasih ya udah bantu aku tadi," lanjut binar.

selesai mengobati sang buah hati, ibu dari binar membuka suara, "zander, kamu tinggal dimana? yuk tante antar ke rumah kamu."

ia menoleh ke rumah berwarna putih didepannya, lalu menunjuk kecil ke arah sana.

"disitu."

sang ibu tersenyum kecil, lalu berkata lagi, "kalau gitu, yuk kita ke sana? nanti binar ikut juga ya, sekalian bilang makasih karena anaknya udah bantuin kamu."

"oke mama! ayo zander, kita ke rumah kamu," jawab binar dengan antusias, seraya menggenggam tangan zander dan menyusul ibunya yang sudah lebih duluan berjalan ke depan.

berbeda dengan sang pemilik rumah itu sendiri yang tidak lanjut tersenyum dan hanya mengangguk mengikuti kemanapun keduanya membawa dirinya.

"nah binar, sekarang kamu yang ketuk pintu rumah zander, yuk."

baru saja binar ingin mengetuk pintu rumah teman barunya, ia mendengar bunyi yang cukup keras. bunyi sebuah piring, ataupun gelas yang pecah. teriakan-teriakan seorang lelaki dewasa dan isakan kasar dari seorang wanita juga bisa didengar oleh binar.

anak kecil itu mundur selangkah, ia takut. ibunya segera memeluk anaknya, khawatir akan situasi yang bisa ia gambarkan dalam kepalanya.

ia menoleh ke arah zander yang hanya menatap pintu putih didepannya dengan pandangan kosong.

"zander—"

"tante, binar. lebih baik kalian pulang saja, tidak apa. aku bisa masuk ke rumah sendiri," potong anak itu.

ibunda binar hanya menghela nafas berat, mengusak pelan pucuk kepala zander dengan senyuman tipis, "nak, kalau kamu mau keluar dari rumah, kamu bisa ke rumah kita ya? kamu udah tante anggap anak sendiri mulai hari ini."

zander mengaangguk kepalanya kecil, lalu menoleh ke arah tangannya yang lagi-lagi digenggam oleh binar.

"zander," panggil anak itu.

"mulai hari ini, kamu gak usah takut! ada aku, ada binar. aku yang bakal temenin kamu mulai dari sekarang. jadi zander jangan merasa kesepian, ya!" ucapnya dengan senyuman lebar.

"kalo kata mama, binar yang bakal jadi bintang bagi zander! bintang yang akan menyinari seluuuruh kehidupan zander. oke?"

mungkin zander memang tidak menyadarinya.

namun pada saat binar berkata seperti itu, sebuah senyum kembali terukir pada parasnya setelah sekian purnama.

dalam langit yang gelap gulita, akan selalu ada bintang yang berbinar secerah matahari, mencari arah jalan keluar. dan kamu, tidak hanyalah engkau harus menjadi sang penyelamat bagi orang lain, tetapi bagi dirimu juga.

sebuah kisah kecil tentang binar dan zander, dimulai.

remember you, a binhao/haobin story.Where stories live. Discover now