2: Magnet

6 1 0
                                    

Malam sudah semakin larut ketika Gibran menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. Pria itu menggulung kemejanya sampai siku, lalu meregangkan oto-ototnya. Rasanya lelah bukan main.

Opening cafe-nya selesai satu jam yang lalu, tapi Gibran masih enggan pulang. Dia lebih memilih tinggal saking lelahnya. Mungkin hari ini dia akan tidur di lantai atas saja. Ada satu kamar di sana yang bisa dipakai untuk beristirahat.

Dengan langkah gontai, Gibran berjalan menuju tangga. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti, saat dia melewati perpustakaan kecil miliknya.

Sebenarnya itu tidak layak disebut perpustakaan. Karena hanya ada satu rak seukuran lemari pakaian jati dua pintu, dan koleksinya mungkin tidak sampai 200 buku. Semua yang ada di sana adalah buku favorit Gibran. Atau setidaknya pernah dia baca untuk mengisi waktu luang.

Sudah jadi rahasia umum, kalau Gibran mencintai buku seperti ia mencintai hidupnya. Masa kecilnya bahkan dihabiskan dengan membaca buku-buku karangan Enid Blyton, seperti The Famous Five, Malory Towers, dan The Secret Seven. Gibran sudah khatam semuanya.

Tentu saja Gibran tidak membeli semua buku itu. Dia membacanya di toko buku bekas milik Pak Mamat. Pria paruh baya itu mengijinkan Gibran membaca di lapak miliknya, asal dia mau membantunya merapikan buku dan menjaga toko. Dan, 'bim salabim' jadilah Gibran asisten Pak Mamat.

Di toko buku kecil itu, Gibran bisa duduk berjam-jam, seakan tenggelam dalam buku yang dibacanya. Katanya, membaca membantunya mengalihkan pikiran. Dia seakan menemukan cara yang 'pas' untuk kabur dari dunia nyata. Sejenak dia bisa bernafas lega, melupakan neraka yang ada di rumahnya.

Gibran kira saat dewasa dia akan jadi penyair, menggantikan Kahlil Gibran, W.S. Rendra, dan angkatannya yang sudah pulang ke pangkuan Tuhan. Namun, setelah cukup lama menimbang, akhirnya Gibran mengurungkan niatnya. Penyair di era ini tidak punya banyak uang. Tulisan-tulisannya bahkan hanya dihargai dengan bayaran yang murah. Jadi dengan berat hati Gibran memilih untuk jadi pengusaha saja.

Ya, sepertinya rencananya tidak buruk. Dia cukup bangga sudah bisa membuka cafe dengan perpustakaan kecil di dalamnya.

Bicara soal perpustakaan, dia jadi teringat pada Rana. Gadis itu nampak antusias melihat koleksi bukunya. Rana bahkan berdiri cukup lama di sana, sambil membaca sebuah buku yang dia ambil.

Detik itu juga, rasanya Gibran terpesona. Seperti ada percikan magnet yang diam-diam membuatnya tertarik pada sosok Rana. Entah apa itu, dia juga tidak tau. Mungkin seperti menemukan teman satu spesies (kutu buku) yang tersesat di keramaian.

"Mau saya rekomendasikan buku yang bagus?" Ujar Gibran yang entah sejak kapan sudah berdiri di samping Rana.

"Mungkin next time." Ujar Rana sambil menunjukkan bukunya.

Gibran mengernyit melihat buku yang dipegang Rana, Animal Farm karangan George Orwell. Itu adalah salah satu masterpiece, sastra kanon yang diakui sepanjang masa.

"Selera kamu bagus juga."

"Thanks, saya suka karya-karya George Orwell yang terkesan satire dan begitu dekat relevansinya di dunia nyata. Seperti Animal Farm ini."

"Saya juga berpikir begitu. Premis novel ini menarik. Tentang pemberontakan sekelompok hewan yang mengambil alih peternakan Mr. Jones. Isunya pun nggak jauh-jauh dari totalitarian Uni Soviet yang digambarkan lewat karakter Napoleon, si babi yang memimpin peternakan. Dan, ngomongin soal relevansi di dunia nyata, di sini banyak banget penggambaran soal naive working class, abuse of power, dan korupsi."

MuaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang