29 : Bleeding Heart

137 20 0
                                    




"Jin awas di belakangmu!"

Ia menoleh dan mengelak ketika tongkat baseball itu melayang melewati wajahnya.

Sekejap tongkat itu berada di tangan Seokjin dan terhempas mengenai pelipis pria yang baru saja berusaha menyerangnya.

Sementara satu orang lagi mengunci tubuh pria yang berada di belakangnya dan yang lainnya hendak melayangkan pukulannya.

"Ken..."
"Polisi!"

Kerumunan itu sontak membubarkan diri saat suara sirene berbelok mendekat.

Mereka berdua saling menarik dan berlari meninggalkan raga pria yang terbaring di depan pub kumuh yang sepi itu sambil tertawa-tawa.


"Is that him?"

Park Bogum yang masih menjadi seorang petugas polisi menunjuk kedua pria yang telah menjauh dari pandangannya.

Namjoon menurunkan jendela mobilnya.

"That's him...."
"Unbelievable......"








'Namjoon-ah...'
'Bagaimana keadaannya?'

'Jin belum sadar Hoba...'
'Ia masih berada di ruang perawatan intensif'

'I'm scared Hob....'

'Berdoalah untuk yang terbaik'
'Aku akan kesana setelah semua urusan di galeri selesai'

Usai berbalas pesan singkat dengan sang manager, Namjoon menyandarkan tubuhnya yang gemetar pada dinding yang berada tidak jauh dari ruang gawat darurat.

Jantungnya masih berdegup kencang. Sesekali ia menatap pintu yang tertutup rapat itu, berharap dokter segera keluar dan membawa kabar baik.

Tapi tidak.



Beberapa waktu berlalu.
Pintu kamar itu tetap tertutup rapat. Hening memenuhi lorong koridor rumah sakit.

Detik halus jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan terdengar sangat keras di samping telinganya.

Satu persatu pikiran buruk mulai memenuhi kepalanya tanpa bisa ia kendalikan.

"Bagaimana jika ingatan Seokjin kembali?"
"Apakah ia akan hancur?"

"Lebih buruk lagi...."
"Bagaimana jika nyawa Seokjin tidak....."



"Namjoon-ah!"

Suara nyaring beriring dengan langkah besar dan cepat yang menghampiri itu membuyarkan lamunannya.

"Hoba....." Namjoon menghela napas lega menatapnya.

"Masa kritisnya belum juga lewat Hob..."
Namjoon menyerahkan segelas kopi lalu duduk di samping sahabatnya yang baru saja datang ke rumah sakit.

"Ia kehilangan banyak darah"

"Tapi bukan itu yang kutakutkan"

"Kepalanya terbentur keras" Ia mengusap matanya kemudian meneguk kopi itu hingga habis.







Namjoon menatap pria pucat yang tengah duduk di belakang jendela kamarnya.

Tatapannya kosong. Seorang perawat yang sejak tadi berusaha menyuapinya pun tak digubris.

"Kapan saya boleh menjenguknya dok?"

"Namjoon-ssi...."
"Maaf...saya sendiri belum tahu apakah anda boleh menjenguknya atau tidak"

"Setelah Seokjin sadar beberapa hari lalu, kondisinya tetap seperti itu"


"Namjoon-ssi...."
"Saya senang sekali akhirnya bertemu dengan anda..."

"Seokjin kecil selalu bercerita tentang anda pada mendiang ayahnya sewaktu kami masih di Australia"

"Raut wajahnya tak akan pernah saya lupakan..."

"Matanya selalu berbinar cerah ketika menyebut nama anda...juga senyum manisnya yang tidak pernah hilang"

"Sebelum saya melihat kondisinya yang seperti ini sekarang, saya sempat berpikir untuk langsung mempertemukan kalian berdua"

"Ingatannya telah kembali...tapi sekarang saya tidak yakin apakah itu yang terbaik untuknya saat ini"


Namjoon mengangguk dan mengangkat sudut bibirnya berusaha tersenyum.

Dokter senior itu adalah kerabat mendiang Young Min sewaktu mereka melakukan penelitian di Australia.

Di rumah sakit anak, tempat pertama kali mereka bertemu.





"Aku akan menunggumu Moon...."

"Aku janji akan datang setiap hari..."
"Sampai kau sadar...."

"Sampai kau bisa menatapku lagi..."
"Sampai kau bisa menerima semuanya...."

Kerinduan Namjoon yang telah berhari-hari menyiksanya membawa pria itu nekat untuk masuk dan duduk di samping tempat tidurnya.

Menggenggam lembut tangan Seokjin. Mendengarkan hembusan napasnya yang ringan dan teratur dalam kegelapan.

"Hiks...."

Isakan kecil itu membuat Namjoon kembali meletakkan tangannya perlahan dan berdiri menjauh dari tempat duduknya.


"It's me...."
Suaranya bergetar.

"I'm the boy who cried for his dad"
"I'm the one who survived the plane crash and let him die!"

"It's me!"

Ia mulai berteriak dan meronta.

Dua orang perawat menyalakan lampu dan berlari masuk ke dalam kamar kemudian memasang gesper pada tali yang mengikat kedua tangan Seokjin pada sisi-sisi tempat tidurnya lalu menyuntikkan obat penenang pada lengannya.


Beberapa detik kemudian ia kembali terlelap.


Namjoon yang segera keluar dari kamar setelah kedua perawat itu menahan tubuh Seokjin terus berjalan menjauh.

Langkah tak beraturan menuntunnya ke bilik toilet di ujung koridor.

Terduduk dan menutupi wajah erat ia menangis.

Menggigit kepalan tangannya kuat-kuat agar jeritannya tak lolos dari dada sesaknya.


Hancur. Perih yang entah berapa lama lagi sanggup ia rasakan.

Begin AgainWhere stories live. Discover now