Lara tidak kuat lagi. Dia benar-benar ingin menonjok mata Theo yang masih terbuka hingga keduanya harus menutup. Lalu menjambak rambutnya yang berantakan dan tidak pernah dicuci hingga terlepas dari kulit kepalanya. Kalau pusaka tumbuhannya masih ada, dia akan melilit leher Theo dengan akar pohon yang kuat.

“Kau bilang kita harus bergegas dari sini. Kenapa kau banyak bicara?” Gagal sudah pembentukan imej Lara yang baru karena sifat tidak sabarnya sudah kembali. Dia berdiri, memandangi Theo yang duduk sambil membungkuk.

“Bantu aku.” Theo menengadahkan kepalanya dan mengangkat kedua tangannya yang penuh lebam. Ada bekas borgol di pergelangan tangannya yang masih memerah.

Lara tidak punya pilihan selain membantu Theo berdiri dengan membopong tubuhnya yang berat. Dia mengalungkan tangan kanan Theo pada bahunya sementara tangan kirinya melingkari pinggang Theo. “Jangan banyak mengeluh atau aku akan meninggalkanmu.”

“Kau pernah mendengarku mengeluh?” balas Theo, tanpa melirik ke arahnya pun Lara tahu bahwa Theo menyunggingkan senyuman padanya.

“Berhenti bicara!” Lara berusaha keras mengontrol wajahnya agar tidak ikut tersenyum. Dia harus menunjukkan bahwa kini hatinya sekeras batu. Dia bukan lagi Lara yang cepat luluh.

Theo menggerakkan kakinya perlahan sementara Lara mengikuti tempo jalannya yang lambat. “Bukannya kau sendiri yang memintaku untuk menceritakan bagaimana Theo yang asli dan palsu ditukar?”

Ah, benar juga, Lara merutuk dirinya sendiri dalam hati. Fokus, fokus! Lara mencoba mengingatkan dirinya. Dia tidak berkata apa-apa lagi setelahnya karena pikirannya bercampur aduk antara menahan beban tubuh Theo, menyeimbangkan langkah kakinya, serta beribu hal yang kini memenuhi benaknya.

“Mereka menukarku pada hari pertama atau kedua kita menginap di rumah Anna—aku lupa kapan tepatnya.” Theo terdengar tidak yakin. Lara sendiri tidak ingat karena rasanya kejadian itu sudah lama sekali. “Saat aku pergi lari pagi dengan Hugo dan Nico.” Kali ini Theo terdengar yakin dan dia melanjutkan ceritanya dengan suara yang sangat pelan, sesekali dia meminta Lara untuk berhenti jalan agar dia dapat mengatur nafasnya. “Singkat cerita aku tertinggal jauh dan beberapa penduduk kota membiusku. Sebentar.” Dia berhenti lagi: berhenti cerita dan jalan.

Dikarenakan kesal karena Theo bercerita setengah-setengah sehingga membuat rasa penasarannya kian menumpuk, juga merasa kasihan dengan sisa tenaga yang dimilikinya, akhirnya Lara meminta Theo untuk tutup mulut sampai mereka tiba di tempat  yang aman. Theo tidak mau berdebat karena sudah kehabisan energi, dia hanya menuntun Lara mencari rumah untuk menjadi tempat mereka beristirahat semalam.

Sebuah rumah kecil yang terletak lumayan jauh dari bibir pantai menjadi pilihan untuk bermalam. Lara menggeser pintunya yang tidak terkunci dan menyalakan lampu yang untungnya atau anehnya, menyala. Dia menyuruh Theo untuk duduk di salah satu sofa sementara dirinya memeriksa setiap ruangan dalam rumah. Dia merogoh saku jaketnya yang masih tersisa enam hurricane. Tidak ada senjata lain yang dimilikinya. Dalam hati dia berharap masih memiliki pusakanya yang berguna.

Tidak boleh bergantung pada pusaka, Lara mengingatkan dirinya sendiri.

Setelah memastikan tidak ada kamera tersembunyi atau hal-hal mencurigakan lainnya, dia kembali ke ruang tamu dan mendapati Theo sudah membaringkan tubuhnya di atas sofa dengan mata terpejam.

“Theo.” Lara mencoba membangunkannya, tetapi lelaki itu sudah tertidur pulas seperti orang mati. Lara pun menghampiri Theo untuk memastikan apakah dia benar-benar mati atau hanya tidur. Perutnya bergerak naik-turun, pertanda bahwa Theo masih bernapas. Kelegaan pun menjalar pada sekujur tubuhnya.

Gadis itu menyapu pandangan ke sekitar. Layaknya rumah kebanyakan di Buitenville, rumah ini pun dibangun dengan dinding kaca transparan yang sepertinya anti peluru juga. Jika benar, dia merasa sedikit aman. Lara menutupi dinding kaca dengan gorden otomatis berwarna putih gading.

Matanya menangkap sebuah kotak obat yang terletak pada lemari kaca di dekat pintu ke arah dapur. Luka-luka Theo menjadi yang pertama muncul dalam benaknya. Mungkin Theo bisa mengobati dirinya sendiri. Namun, jika sudah sembuh total, apakah Theo akan mengancam nyawanya? Tapi sebentar, siapa yang melukai Theo? Grant? Tidak mungkin luka itu muncul begitu saja kecuali Theo yang kini bersamanya adalah Theo palsu. Dia jadi kesal lagi karena Theo belum menceritakan keseluruhan kisahnya.

Lara meraih kotak obatnya dan meletakkan kotak obatnya di atas meja. Setidaknya kalau Theo telah pulih, dia tidak perlu membopong tubuhnya yang berat itu.

Tidak berniat untuk mengganggu Theo yang beristirahat, Lara pun duduk di sofa panjang di seberang Theo. Lara tidak bisa membaringkan tubuhnya karena pasti dia akan ikut tertidur, jadi dia mencoba menyibukkan pikirannya, mulai dari berpikir siapa yang dulunya meninggali rumah ini?  Apakah para penduduk Buitenville yang ternyata adalah robot atau apakah sebelumnya ada juga manusia yang tinggal di sini?

Untuk apa kota ini dibangun? Pasti memakan biaya yang banyak. Di mana letak kota ini? Di bawah tanah? Di sebuah ruang simulasi yang sangat luas? Apakah langit di sini nyata atau ilusi seperti yang biasa Grant perlihatkan pada sesi latihan pusaka?

Lara menggelengkan kepalanya. Bertanya pada dirinya sendiri dan memikirkan sendiri jawabannya membuatnya pusing dan kepalanya menjadi sakit. Dia membuang jauh-jauh ratusan pertanyaan itu atau kepalanya akan benar-benar meledak.

Entah seberapa keras Lara mencoba untuk mengalihkan pandangannya, tetap saja matanya terkunci pada Theo yang tampak damai ketika memejamkan mata. Dia juga berusaha keras untuk mengosongkan pikirannya, tetapi kini otaknya justru mengorek kenangan dalam dirinya ketika Theo lari pagi bersama Nico dan Hugo. Dia mencoba mengingat-ingat momen tersebut.

Hari ketika Hugo melaporkan bahwa dia melihat Scarlett.

Lara mengingatnya.

Tentu saja berita itu menggegerkan kelompoknya hingga nyaris memecah belah fokus teman-temannya dalam misi mencari ibunya yang menghilang. Pastinya mereka menggunakan kloningan Scarlett untuk mengalihkan perhatian. Dari awal bertemu dengan Scarlett versi Mystique Town, Lara memang tidak merasa adanya ikatan yang membuatnya merasa perlu menjalin hubungan pertemanan dengannya. Berbeda dengan Hugo yang tampak tergila-gila dengan Scarlett.

Entah bagaimana caranya Theo barangkali terpisah dengan Hugo dan Nico, kemudian mereka membiusnya seperti yang diceritakan Theo. Lalu, yang kembali bersama Nico dan Hugo adalah Theo yang palsu.

Mungkinkah sebuah robot? Jika benar, mengapa tampak begitu seperti manusia asli?

Dia ingat pada hari itu Lara terpesona dengan Theo yang tampak sangat segar dan santai setelah berlari, jauh berbeda dengan Hugo dan Nico yang seperti orang sekarat dengan keringat yang bercucuran. Theo hanya berkeringat sedikit. Tentu saja itu adalah samarannya agar tampak lelah. Mulai hari itu, Theo yang selalu bersamanya adalah Robot Theo.

Seharusnya Lara menyadari adanya yang janggal dari Theo, tetapi semua perhatian tertuju pada kemunculan Scarlett.

Lara melirik Theo lagi dan bertanya pada dirinya sendiri, apa yang bisa menjamin bahwa sosok Theo yang bersama dirinya kini adalah Theo yang asli? Theo yang dikenalnya sejak kecil. Theo yang memeluknya ketika Lara takut dengan gemuruh guntur. Theo yang telah menyelamatkan nyawanya berkali-kali.

Keaslian Theo kini menambah masalah lagi pada hidup Lara. Dia merindukan kehidupannya yang tenang bersama keluarganya.

Hingga tanpa tersadar, Lara pun memejamkan matanya setelah melewati hari yang panjang.

Mystique OceanOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz