15. Dialog Koalisi

Start from the beginning
                                    

Alih-alih memulai diskusi, mereka masih terhanyut dalam senda gurau yang sesekali menyita perhatian pengunjung lain karena terlalu berisik. Naeka mengamati orang-orang yang ada didekatnya. Pemuda itu tidak menemukan wajah yang asing. Seakan menunjukkan kalau seseorang yang berulangkali ia hubungi tak mengindahkan permintaannya.

Naeka meraih ponsel yang ia letakkan di meja. Dia ingin memastikan--apakah pesan yang ia kirimkan sebelum berangkat ke tempat ini benar-benar diabaikan?

Dengan raut wajah datar, pemuda itu mencari aplikasi yang dia inginkan. Netranya menangkap sebuah pesan baru yang menempati posisi paling atas diantara deretan pesan lainnya. Naeka segera membukanya. Sesuai dugaan, gadis itu tidak bisa hadir malam ini. Bahkan ia tidak mendelegasikan anggotanya sebagai bentuk penerimaan atas undangan yang Naeka kirimkan di grup chat koalisi.

Merupakan hal wajar baginya untuk merasa kesal. Sebab nyaris sebulanan ini Naeka bolak-balik menghubungi Naela karena pemuda itu ingin lekas menuntaskan persoalan yang menghambat proses pelaksanaan kongres. Dia telah memperhitungkan langkah terbaik sampai-sampai harus mengorbankan diri untuk tak datang ke pertemuan penting di luar kota tempo hari.

Di tengah kekesalan itu, orang-orang tetap saja sibuk bercengkrama satu sama lain. Seolah menjelaskan jika perkara seperti ini hanya Naeka seorang yang mampu mengatasi. Setelah berpikir lama, pemuda itu kembali menaruh ponselnya. Naeka membiarkan pesan si gadis tak menerima balasan.

Seperti biasa, jika ada diskusi semacam ini maka Naeka yang akan memimpin. Dan seperti biasa pula, saat pemuda itu mulai berbicara, perhatian semua orang langsung terkunci padanya. Setiap kata yang keluar dari bibirnya tak lekat dengan emosional sehingga membuat siapapun betah berlama-lama mendengarnya.

Sampai akhirnya giliran Gilang yang bersuara. Lelaki itu mulai menceritakan hal-hal yang ia dapatkan saat mengikuti rapat koordinasi di Bandung. Wajah-wajah disana tampak menegang ketika Gilang menuturkan satu perkara yang cukup genting.

"Saya sendiri tidak bisa memberitahu secara gamblang mengenai pihak mana saja yang mendesak agar konferensi nasional segera dilaksanakan. Tapi saya rasa hal ini cukup krusial mengingat kita saja belum mengadakan kongres dan memilih koordinator secara resmi," ujar Gilang.

"Kan sudah ada Pres Yaksa," celetuk seorang lelaki bernama Bagas--Presma dari kampus berbeda. "Setidaknya yang perlu kita lakukan sekarang adalah membuat lumbung massa mahasiswa lebih dominan kepada aliansi BEM PTS Surabaya."

"Tidak bisa seperti itu, Pres." Naeka menyela. "Kalau kita mengabaikan hal ini, khawatirnya akan menjadi dasar timbulnya kendala pergerakan kita dikemudian hari. Tidak sedikit yang mengincar posisi Pimpinan Presma Nasional. Karena itu kita harus betul-betul memperhatikan setiap langkah dan keputusan yang hendak kita ambil."

Bagas bungkam. Sementara yang lain mengangguk-angguk seraya memikirkan ucapan Naeka barusan.

Dalam keheningan sesaat itu, seorang perempuan mengangkat sebelah tangan. "Boleh saya mengajukan pertanyaan? Ada sesuatu yang mengganjal di benak saya." Katanya sambil tersenyum tipis.

"Tentu," jawab Naeka.

Nama perempuan itu Samara Pradin Assami. Dia seorang Sekretaris Jenderal Badan Eksekutif Mahasiswa kampus swasta terbaik ketiga di Surabaya. Eksistensinya cukup berpengaruh dalam koalisi ini sebab dirinya terhitung aktif. Kerapkali solusi yang ia berikan mampu memecah kebingungan manakala mereka terjebak dalam sebuah problematika.

"Haruskah aliansi kita turut mengusung calon Pimpinan Presma Nasional? Maksud saya, pasti ada pihak yang lebih siap dan lebih mumpuni untuk hal ini. Apa tidak sebaiknya kita mempersiapkan diri sebagai pendukung yang benar demi tercapainya makna demokrasi dalam konferensi nanti?"

CATATAN PRESMAWhere stories live. Discover now