Tapi Alma dibuat terkejut saat melihat warna-warna pakaian yang Gisa beli untuknya.

"Merah? Pink? Kuning? Astaga, Mama! Mama mau jadiin aku badut di pengadilan?"

"Kamu butuh semua pakaian itu."

"Nggak. Aku nggak mau—"

"Ada jutaan orang yang berprofesi sebagai Pengacara di negara ini. Dan kamu bukan yang terbaik di antara mereka. Kalau pun kamu yang terbaik, orang-orang tetap aja nggak tahu kamu. Itu kenapa kamu butuh semua ini. Menjadi satu-satunya yang berbeda di tengah keramaian yang serupa itu menyenangkan, Al. Percaya aja sama Mama."

Jika Alma pikir-pikir lagi, apa yang Mamanya katakan itu ada benarnya. Itu kenapa akhirnya Alma mau memakai pakaian berwarna sangat wanita ini.

"Tapi, Al, gue lihat-lihat lo lumayan juga kalau lagi sidang." Ucap Indra. Dia menyamai langkah mereka.

"Memangnya lo perhatiin?"

"Iya lah."

"Nggak ngantuk?"

"Masa Pengacara ngantuk di persidangan."

Alma melirik Indra malas, lelaki itu tertawa geli. Indra tahu mengapa Alma menatapnya seperti itu. Baru saja dua minggu lalu, Indra kembali diamuk habis-habisan oleh Papanya. Padahal Papanya sudah berbaik hati mengajak Indra untuk menonton persidangan di mana Papanya sendiri lah yang terjun langsung sebagai Pengacara terdakwa.

Kasusnya pun merupakan kasus besar dan Papanya berhasil memenangkan kasus itu.

Alma tahu apa niat Regar dengan mengajak anaknya ke sana. Regar pasti ingin membuat Indra banyak belajar dan menambah wawasan setelah melihat aksi Papanya.

Tapi sayangnya, di tengah suasana panas itu, Indra malah tertidur pulas. Dia bahkan tidak terbangun meski ada keributan yang terjadi di sana. Dan ya, dia kembali mendapatkan hukuman.

"Tapi, Al, menurut gue nggak lama lagi lo bakal jadi Pengacara hebat. Kaya bokap gue mungkin?"

"Gue nggak pengen jadi Pengacara hebat."

Indra melirik Alma dengan kernyitan di dahi. Bukannya selama ini Alma selalu bekerja keras ya? Kalau bukan karena ingin menjadi Pengacara hebat, lalu Alma ingin menjadi apa?

"Pengacara kaya raya. Yah... masih tetap kaya Bokap lo sih." Alma melanjutkan kalimatnya. Ada seringai menyebalkan di bibir gadis itu. Seringai yang membuat Indra ingin sekali memukul kepala Alma kalau saja dia punya nyali.

"Matre lo, Al." cibirnya.

Tapi Alma tak peduli. "Lo abis ini mau ke mana? Balik ke kantor?"

"Harusnya sih iya. Tapi temen gue ngajak ketemu. Jadi gue mau bolos kerja."

"Ck! Nggak ada kapoknya ya lo. Baru juga kemarin Pak Regar ngomel-ngomel."

"Cuma ngomel. Masuk kanan keluar kiri. Beres." Gumam Indra santai. Alma sampai geleng kepala di buatnya. Mau bagaimana lagi, Indra memang tidak ada bakat dan keinginan menjadi penerus Papanya. Jadi mau dipaksa bagaimana pun, hati dan otaknya tetap saja menolak.

Dan alhasil yang terjadi antara Indara juga Papanya hanya lah keributan.

"Lo gimana? Balik ke kantor? Mau gue anterin?"

Jika sejak tadi Alma hanya terus mengomeli Indra, kini gadis itu menoleh dengan senyuman manisnya yang menipu. "Lo mau nganterin gue?"

Indra mendengus kasar disertai tatapan jengkel. "Udah deh, Al. Simpan aja senyum palsu lo itu. Jijik tahu nggak!"

MenungguWhere stories live. Discover now