Bab 2

83 14 0
                                    

.

.

.

Happy Reading

.

Enjoy:)

.

.

Haechan dengan cekatan memanjat pagar pembatas di belakang gedung olahraga sekolahnya,  tempat yang cukup sepi hanya perlu beberapa langkah menuju kontruksi bangunan yang belum usai, tempat dimana siswa sejenis dirinya sekedar merokok dan melepas penat akan tingginya grade untuk memenuhi standar.

Langkahnya begitu yakin menuju gedung utama dimana seluruh kelas 12 berada. Jam dipergelangan tangannya menunjukkan pukul dua siang. Jadwal kelasnya untuk praktek kimia di laboratorium, ia punya kesempatan mengambil tas dan memanjat pagar belakang seperti yang biasa ia lakukan, meninggalkan kelas tambahan persiapan CSAT yang menyebalkan.

Sepertinya benar dugaannya jika hari ini adalah hari sialnya. Bertepatan saat ia membuka pintu, ia bisa melihat tatapan tajam dari walikelasnya, berkacak pinggang di bingkai pintu dengan wajah datar. Tetapi bukan Haechan jika ia tidak bisa lolos dari guru cantik yang sedang memakai rok selutut yang cukup ketat.

"Pasti jika zombie ada di sekolah ini dia tidak akan selamat, bagaimana bisa dia mengejarku jika kedua kakinya saja tidak bisa melebar lebih dari setengah meter" Haechan terkekeh begitu ia berhasil lepas dari harimau cantik yang tengah mengamuk karena kemampuan berlarinya yang cepat.

hei, keluar dari area sekolah adalah keahliannya, tanpa pikir panjang ia akan menyelinap ke halaman belakang dimana letak barang-barang rusak di sekolah diletakkan dan dipilah untuk dikirim ke perusahaan daur ulang "Ke warnet sepertinya menyenangkan, aku butuh penyegaran".

__<3__

Pukul satu siang, ia tidak kembali ke kantornya hari ini, menghubungi sekertarisnya untuk men-cancel  seluruh jadwal meeting hari ini. Mark, pria itu harus memijat keningnya berkali-kali, ini adalah masa dimana Chenle tidak lagi mempan dibujuk dengan makan malam berdua selama seminggu penuh.

Sial sekali, jika Chenle mendiaminya lebih lama lagi bagaimana Mark bisa menjalani hidup dengan tenang?

Teriakan Chenle pada pertengkaran malam itu_ entah pertengkaran yang berapa kalinya membuat Mark kembali merenungkan dirinya.

"Daddy mengurus ku hanya karena perasaan bersalah Daddy atas kematian Appa, apa Daddy pernah berfikir perasaanku? Kenapa aku juga harus dibenci oleh paman Na dan orang tua Appa? Apa karena bukan aku yang mati? Seharusnya aku tidak perlu diselamatkan, seharusnya aku mati saja bersama Appa hari itu"

Chenle tidak tahu bahwa Mark sangat menyayanginya, membesarkan seorang putra seorang diri dimasa muda pasca kehilangan sosok yang ia cintai adalah hal yang berat untuknya.

Chenle adalah penyembuhannya, senyuman kecil dan tawanya saat menyambut Mark selepas bekerja atau ocehan kecil pengisi sebagian suara di dalam apartemen miliknya yang sepi.

Mark menggeleng ia harus segera bernegosiasi dengan putranya atau hatinya kembali tidak tenang dengan beban dikepalanya yang semakin menumpuk. Ah mungkin pekataan puranya benar, ada rasa bersalah yang amat dalam kepada pasangan hidupnya yang telah pergi ketempat yang lebih baik, andai saja ia lebih tegas kepada perasaannya dan tidak kehilangan kontrol diri pada hari itu.  

Ekor matanya mengarah pada ranjang rumah sakit dengan gundukan selimut yang tidak memiliki pergerakan. Tangan kiri putranya itu patah pasti sangat tidak nyaman tertidur dalam satu posisi sepanjang hari.

"Chenle~aa... " buntalan selimut itu tetap tidak bergerak meski Mark memanggilnya berulang kali berusaha membujuk bayi kecilnya yang kini sedang merajuk.

"Aegi... Buka selimutnya sebentar, pasti tidak nyaman tidur dengan posisi seperti itu" Mark mencoba mengusap pelan kepala putranya yang sedikit menyembul keluar dari selimut.

"Jangan sok tau, pergi saja sana bekerja, aku kan tidak lebih penting dari pekerjaan Daddy" tuhkan apa Mark bilang tidak mudah merayu bayi kecilnya mirip sekali dengan Appanya, kepala batu.

"Tahu tidak... "

"Tidak tahu" baru saja Mark berbicara, putranya langsung menjawab dengan cepat, membuat Mark tidak dapat menahan senyumnya. Putranya yang menggemaskan, fisiknya saja yang bertumbuh coba lihat sikap lucunya itu tidak ada bedanya dengan bertahun-tahun lalu.

"Appa mirip sekali dengan Chenle, kalau Appa sedang marah dan merajuk, persis sekali dengan Aegi, setiap Daddy melihat Chenle, Daddy selalu teringat Appa... " berhasil, putranya perlahan membuka selimutnya pelan dengan satu tangan yang tidak terluka. Chenle Appa, kalau kau melihatnya di surga, bagaimana perasaanmu? Melihat putramu tumbuh dengan baik dan menyayangimu lebih daripada aku yang mengurusnya semenjak bayi.

"Lanjutkan Daddy, aku hanya ingin mendengar cerita tentang Appa" Chenle mengatakannya dengan nada sinis penuh penekanan, membuat Mark terkekeh, mengusap surai hitam putranya gemas. Melanjutkan cerita tentang bagaimana keras kepala Appanya saat keduanya masih belum menikah.

Mark memang berteman dengan Donghyuk-Chenle Appa, saat mereka duduk dibangku menengah pertama dan pertemanan keduanya berlanjut ke sekolah menengah atas. keduanya adalah senior junior, yah selain itu dia adalah sahabat adiknya yang sering main ke rumah. Mereka berkenalan dan tidak canggung satu sama lain.

"Apa Daddy jatuh cinta pada pandangan pertama? atau malah Appa yang duluan menyukai Daddy?" Ah, pertanyaan dari Chenle membuatnya berpikir, rasanya memori dikepalanya berputar dengan cepat menampilkan wajah ceria Donghyuck yang tersenyum lebar melambaikan tangan saat menyapanya di seberang jalan atau saat dengan lancang masuk ke kamar Mark untuk mencuri nintendonya agar dapat bermain bersama Jeno.

Mungkin dulu ia akan mengatakan bahwa ia tidak menyukai Donghyuck karena sifatnya yang super mengesalkan tapi kini setiap hal kecil tentang Donghyuck sangat ia rindukan. yah mungkin ia jatuh cinta bahkan sebelum semua orang menyadarinya. "Daddy jangan menangis, Appa pasti sedih jika melihat Daddy menangis".

Mark bahkan tidak menyadari air matanya yang tiba-tiba keluar, perkataan Chenle itu selalu ia ucapkan saat anaknya itu sedang  sedih, sekarang bocah itu menggunakannya untuk menghiburnya. "Sepertinya saat itu Daddy yang menyukai Appamu duluan" Mark terkekeh setelah bekas airmata itu sudah tidak terlihat lagi.

Chenle menundukkan kepalanya sedih,  oh tidak kenapa suasana hati putranya terasa kelabu mengisi suasana kamar pasien yang lenggang. "Daddy, masih mencintai Appa kan?"

"Tentu saja, sayang. Tidak akan ada yang bisa menggantikannya di hati Daddy, ada ruangan tersendiri di hati Daddy yang isinya hanya tentang Appa" Mark membawa tubuh mungil putranya kedalam pelukan. Memberi waktu putranya untuk menumpahkan segala emosi yang dirasakannya.

"Daddy, jika begitu. Kenapa Daddy akan menikah dengan uncle yunjae? Daddy tidak sayang Appa lagi?" 

"Tidak Chenle~aa, Daddy tetap mencintai Appa tetapi dalam beberapa keadaan kita harus melanjutkan hidupkan?  Daddy kira Paman Yunjae orang yang baik dan akrab dengan Chenle selama ini jadi Chenle akan bisa menerimanya perlahan sebagai pasangan Daddy kelak" Mark meringis, ia mencoba memberi pengertian, setelah tiga tahun menjalin hubungan dengan Yunjae sudah bisa membuatnya mantap untuk memulai lembar cerita yang baru meski dengan pertimbagan yang sangat.

"Tapi Chenle tidak mau Appa tergantikan, Chenle cuma mau Appa, Daddy. Maafkan Chenle karena perasaan Lele, menghalangi kebahagian Daddy."

Jika seperti ini? ia harus bagaimana? 

__<3__

.

.

.

.

.

TBC_>



RecurringTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang