Ch01 - Prolog

499 54 7
                                    

Halo, ini seri terbaru dari Leander Series yang menceritakan tentang Alexander. Sepertinya cerita ini akan sedikit mengarah ke Dark Romance, jadi yang kurang suka silakan di skip. Infernos Spicy akan di update setiap dua minggu pada hari Sabtu, di tunggu ya! Untuk yang mau baca lebih awal bisa ke Karyakarsa karena akan Amuba update setiap hari Rabu dan Sabtu. Semoga kalian suka, jangan lupa berikan vote dan tinggalkan komentar ya!

Selamat membaca!
Salam sayang,
Amubamini.

****

Ini seharusnya menjadi hari yang tenang. Karena pada akhirnya aku berhasil bebas. Tapi sepertinya aku terlalu cepat menyimpulkan, terlalu cepat bersenang-senang dengan hidupku yang baru sampai lupa bahwa masih ada yang mengejarku.

Pria itu.

Pria yang kukhianati beberapa tahun lalu.

Suara gedoran pada pintu apartemen sederhanaku terdengar santai. Seperti seorang pengantar makanan yang sedang menungguku membuka pintu. Tapi tidak sesederhana itu, aku tidak memesan apa pun. Lagi pula, pengantar makanan pasti sudah akan berteriak saat ini karena aku tak kunjung membuka pintunya.

Ketukan di pintu itu terasa seperti mengejek. Pria itu sedang mengatakan, aku tahu kau ada di dalam, kau tidak bisa kabur ke mana-mana.

Ya, ke mana aku bisa kabur. Pikiran seperti itu membuatku menarik senyum getir. Pada akhirnya, pria yang ada di depan pintu pasti akan membalas dendamnya, merenggut kebebasanku seperti yang ia janjikan dulu. Dulu sekali saat ia mencengkeramku erat sambil bersumpah akan membuatku terikat padanya seumur hidup.

"Buka pintunya, aku tahu kau ada di dalam!"

Entah mengapa, mendengar suaranya membuat jantungku berdegup dua kali lebih kencang. Bukan berarti sejak tadi aku tidak merasa gelisah, tapi setelah bertahun-tahun tidak mendengar suaranya, rasanya benar-benar membuat gemetar.

Alih-alih menjawab, aku memilih untuk mundur. Jika aku tidak membuka pintu, semua akan baik-baik saja bukan?

Aku sedang tidak berada di pulau. Aku berada di pusat kota di mana membobol sebuah apartemen akan membuat seseorang di tahan oleh polisi. Pria itu, tidak mungkin melakukannya. Merusak properti pribadi adalah perbuatan yang akan mendapat hukuman serius.

Jadi aku memilih untuk mengabaikannya. Langkahku sudah hendak membawaku berbalik, berharap dengan memunggungi pintu rasa takut dan gemetar di tubuhku akan mereda. Namun sepertinya aku salah, karena pria itu kembali bicara.

"Apakah harus aku yang membukanya?"

Mataku terpejam dan pundakku terangkat ngeri saat mendengarnya. Suara serta intonasinya benar-benar berbeda dari pria yang dulu kukenal. Suaranya menjadi lebih berat. Terdengar tenang namun diam-diam mengancam.

"Aku masuk kalau begitu!" ucapnya membuatku membuka mata dengan cepat kemudian berbalik menatap pintu.

Suara kunci yang diselipkan kemudian daun pintu yang perlahan terayun terbuka membuatku lagi-lagi tanpa sadar melangkah mundur. Padahal pintu tak sepenuhnya terbuka, dan yang terlihat di luar sana hanya separuh dari tubuh tegap milik pria itu. Hanya separuh, tapi matanya tajam menatapku dan bibirnya perlahan menarik senyum datar. Yang dibalik senyum itu terselip amarah.

Secara insting, sesuatu yang selalu kuandalkan selama ini, kakiku buru-buru membawaku menjauh. Entah bisa sejauh apa, mungkin mengunci diri di dalam kamar, atau di dalam kamar mandi. Atau lebih baik lagi jika aku punya nyali untuk melompat saja keluar jendela. Terjun dari lantai tujuh belas sepertinya tidak akan sesakit itu. Di banding aku harus berhadapan dengannya.

"Jangan coba-coba!"

Deru suaranya yang kelewat tenang membuat tanganku berhenti di udara. Aku bahkan belum bergerak sejauh itu, gagang jendela masih beberapa senti lagi. Tapi bayangan tubuhnya yang tinggi dan gelap sudah menyelubungi sekelilingku. Nafasnya yang panas terasa berhembus menerpaku. Padahal cahaya matahari bersinar terik dari balik tirai, tapi rasanya mendadak gelap sekali.

"Ke mana sekarang kau ingin kabur, hah?" ia berucap kasar sambil menarik tubuhku hingga membentur tubuhnya yang keras. "Kau tahu, aku benar-benar merindukanmu."

Bibirku bergetar kemudian mataku mulai terpejam saat tangannya bergerak memeluk tubuhku. Seperti ular yang melilit dengan erat, memastikan mangsanya tidak akan kabur ketika ia hendak menyantapnya.

"Tidak bisakah kamu memberiku waktu lebih lama lagi?" bisikku.

Tapi pertanyaanku itu hanya membuat pria ini terkekeh. Ia menundukkan wajahnya dan menenggelamkannya di pundakku. Bibir kasarnya mengecup di sana lambat-lambat.

"Agar kau bisa mengkhianatiku lagi lalu kabur begitu saja?" bisiknya pelan lalu kemudian menggigit pundakku.

Pelan tapi membuatku merintih sakit sambil mencoba melepaskan diri. Sebuah perlawanan yang tidak tahu sanggup aku lakukan. Karena aku membuat kesalahan. Sepertinya kesabaran pria ini sudah di ujung. Seharusnya aku lari lebih jauh lagi. Kenapa aku harus berhenti di kota ini? Kota yang kutahu adalah tempat ia tinggal.

"Diam!" bisiknya kasar kemudian kembali menggigit pundakku. Lengannya semakin erat melingkar di dada dan perutku. Mungkin pria ini sedang memastikan, bahwa wanita yang ia peluk adalah wanita yang sama. Tapi, aku sudah berbeda sekarang. Tidak seperti beberapa tahun yang lalu. Aku sekarang terlalu lemah sehingga tidak bisa melawannya.

"Alex!" seruku kaget saat tiba-tiba ia membalik tubuhku menghadapnya. Tangannya menangkup wajahku dan matanya menatapku lekat.

Ya. Ada amarah, rasa kecewa, dan luka yang dalam di sana. Aku yang menciptakannya, dulu.

"Ucapkan selamat tinggal pada kebebasanmu!" desisnya sebelum ia menciumku dengan kasar.

Aku tak mampu membalas ciuman ini. Rasa tidak berdaya yang kini melingkupiku sepertinya membuatnya semakin marah. Cengkeramannya di wajahku semakin erat dan tubuhnya mendorongku hingga menubruk jendela balkon. Ciumannya terlalu menuntut, tapi bayang-bayang hitam membuatku takut. Tubuhku yang gemetar pasti dirasakan olehnya, hanya saja pria itu memilih untuk tidak peduli.

"Alex!" seruku saat tangannya menarik pakaianku dengan paksa, suara robekannya begitu nyaring dan membuat kulitku perih.

"Alex hentikan!" jeritku mendorongnya menjauh, suatu hal yang sebenarnya sia-sia.

"Aku selalu menepati janji, Ghina. Aku telah bersumpah akan mengurungmu jika kita bertemu lagi!"

"Alex, kumohon—"

"Jangan gunakan air mata! Itu tidak akan mempan lagi, seharusnya kau tahu itu!" Alex mendesis sambil mencengkeram pipiku. Ia menatapku sesaat lalu kemudian mendorongku kasar. Membalik tubuhku, memaksaku menumpukan kedua telapak tangan ke jendela balkon.

Pantulan kami yang tak terlalu jelas dapat kulihat melalu kaca jendela. Ia menyingkap rokku kemudian merapatkan tubuh kami. Matanya menatapku lewat pantulan kaca. Wajahnya tegang dan penuh amarah. Bukan seperti Alex yang dulu kukenal. Pria ini, kenapa bisa mendendam begitu dalam? Apakah kasih sayang yang dulu ia sampaikan padaku juga sebuah kebohongan? Seperti yang aku lakukan padanya?

Bayang-bayang itu membuat kepalaku pening. Tubuhku gemetar dan rasanya aku ingin berteriak namun suaraku tercekat. Dan saat Alex kembali bicara, aku tahu, pria ini benar-benar tidak akan membiarkanku hidup dengan bebas.

"Senang bisa bertemu denganmu lagi, Ghina!"

****

Infernos SpicyWhere stories live. Discover now