Segera ia berangkat setelah siap. Perlu waktu sepuluh sampai lima belas menit untuk berjalan sampai pertigaan. Belum lagi kalau harus mengantre ketika sampai di sana. Kiara memutar lagu acak dari ponsel tanpa menggunakan earphone. Sepanjang jalanya menuju warung nasi goreng ia bernyanyi dengan suara kecil mengikuti lagu yang berputar. Kadang bergumam atau bersenandung saat tidak tau liriknya apa.

Total empat lagu terputar hingga ia sampai di gerobak putih bertuliskan nasi goreng dengan ukuran yang besar itu. Benar kan, antrianya tidak main-main saat Kiara sampai di sana. Masih untung karena penjual nasi gorengnya sekaligus memasak dalam porsi besar. Kalau dikira-kira sekitar 7 porsi.

Kiara berdiri dibelakang seorang pemuda yang ia taksir umurnya masih belasan tahun. Warung nasi goreng ini selalu ramai, mungkin karena faktor letaknya yang strategis.

Pelanggan terus berdatangan setelah Kiara datang. Membuat suasana malam ini bertambah ramai, ditambah lalu lalang kendaraan di pertigaan.

"Bang, nasi goreng tiga dibungkus ya." Kata Kiara mengucapkan pesananya begitu sang pedagang menoleh ke arahnya seolah bertanya.

Kiara mengedarkan matanya sembari menunggu pesananya disiapkan. Saat matanya menelusur, perhatianya berhenti pada seorang ibu-ibu paruh baya yang mengantre di berjarak tiga orang dibelakangnya. Ia menghampiri wanita itu.

"Bu..." panggil Kiara.

Yang dipanggil menoleh. "Mbak panggil saya?"

Kiara mengangguk sembari tersenyum tipis, "Iya. Ibu mau tukar antrean sama aku?"

Ibu-ibu itu kebingungan. Tukar antrean? Bagaimana maksudnya.

"Antrian saya di depan. Itu tinggal nunggu pesenanya dibuatin kok. Kalau ibu mau, ibu bisa ambil tempat saya. Biar saya yang di sini."

"Duh... memang Mbaknya nggak apa-apa harus ngantri lagi?"

Kiara menggeleng. "Enggak apa-apa kok, bu. Ibu mau ajam saya di sini. Nggak apa-apa kan mas, mbak?" Kiara bertanya pada orang yang mengantre di depan ibu itu.

"Enggak apa-apa mbak, bu. Malah bagus kalau ibunya didulukan. Udara malam nggak bagus buat orang tua lama-lama di luar."

"Iya bu, biar nggak kelamaan berdiri. Nanti capek."

Kata dua orang didepan ibu itu. Yang satunya mengangguk menyetujui.

"Aduh... jadi nggak enak sama mbaknya. Beneran saya nggak apa-apa maju mbak?"

Sekali lagi Kiara mengangguk untuk mengiyakan. "Nggak apa-apa bu." Lantas ia menarik tangan wanita itu ke depan—ke tempatnya mengantri tadi. "Bang, pesanan saya belum disiapin kan?"

"Belum neng, habis ini dibuatin."

"Oh... diganti sama ibu ini aja Bang. Ibu mau pesan berap bungkus?"

"Satu bungkus mbak."

"Satu bungkus, ya, bang." Kata Kiara memberitahu sang pedagang dan dibalas anggukan kepala oleh si abang-abang penjual nasi goreng.

Wanita itu kembali berterimakasih pada Kiara sebelum Kiara berpindah ke tempat di mana ibu tadi berdiri. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai pada giliran Kiara lagi, tiga orang di depanya rata-rata membeli satu bungkus nasi goreng juga, sedang pedagang nasi goreng memasaknya dalam porsi besar sekali masakan. Kini Kiara sudah memegang tiga bungkus nasi goreng hangat yang siap untuk dibawa pulang.

"Hah...." Helaan napasnya keras terdengar. Akhirnya... ia bisa pergi dari keramaian yang selalunya bisa menguras energi itu.

Jalanan sudah agak sepi, hanya satu dua kendaraan yang lewat. Penerangan sepanjang perjalanan Kiara pulang ke rumahnya melewati trotoar ditemani oleh lampu jalanan berwarna jingga. Seperti matahari disaat terbit dan tenggelam.

Promise YouWhere stories live. Discover now