Promise You I 12

31 11 5
                                    

Masih pukul sepuluh lewat lima belas menit. Masih terlalu awal untuk beranjak tidur bagi Kiara. Menonton drama Korea satu episode lagi masih bisa sebelum tepat pukul dua belas malam. Amunisinya sudah disiapkan, mie cup hangat yang baru beberapa menit dibuat serta snack yang ia beli sepulang kerja di minimarket.

Badanya tengkurap di atas ranjang berbuntal selimut tebalnya, sedang di depanya ada laptop yang sedang memutar drama korea. Sekarang Kiara sudah sampai di episode 18 dari total 20 episode. Tinggal dua episode lagi untuk menamatkanya.

Ah... scene ini. Kiara tidak bisa tidak meneteskan air mata melihat scene ini. Bukankah menyenangkan mempunyai keluarga yang suportif dan selalu ada untuk menjadi support system terbaik dikala kita meniti jalan guna mewujudkan impian? Bukanya tidak bersyukur mempunyai keluarga yang lengkap, hanya saja Kiara selalu iri dengan bagimana hubungan antar anak dan orang tua yang saling mendukunh satu sama lain.

Jika sang tokoh utama dalam drama bisa mencurahkan segala peristiwa yang ia lewati seharian sembari tidur berbantal paha sang Mama, Kiara kebalikanya. Dia tidak pernah menceritakan apa saja yang ia alami pada kedua orang tuanya, terutama sang Mama.

Ceritanya sering dianggap tidak terlalu penting untuk di dengarkan. Mamanya juga tidak pernah bertanya bagaimana harinya terlewati. Pernah sekali Kiara mengeluh pada Mamanya saat harinya di masa SMA tidak berjalan baik, Gina malah mengatainya lebay. Berawal dari itu lah Kiara tidak lagi menceritakan apapun kepada kedua orang tuanya, apalagi sang Mama. Dia memilih untuk menyimpanya sendiri, menulisnya di buku diary yang tersusun rapi di meja kerjanya.

Buku-buku itu berjajar rapi di salah satu rak. Lumayan banyak jumlahnya, ada sekitar lima buku. Empat sudah terisi penuh dan satu lagi masih belum ada seperempat karena masih baru. Buku-buku itu lebih baik daripada siapapun untuk mendengarkan semua cerita dan keluh kesahnya.

Kiara menangis tersedu-sedu mengingat hal itu. Ditambah melihat drama yang sedang terputar di layar laptopnya. Saat pintu kamarnya diketuk lalu dibuka dari luar, Kiara mendongak lantas mengusap air matanya yang terus keluar.

"Ara—kamu kenapa nangis?" Gina membuka pintu kamar Kiara dan berdiri di ambang pintu.

"Nonton drakor Ma, sedih banget Ara."

Gina menghela napas kantas gekeng-geleng kepala. "Drakoran..... mulu, kamu udah kerja juga masih aja nonton yang begituan. Apalagi sambil nangis-nangis kayak nggak ada kerjaan lain aja, Ra."

Kiara diam, dia mengulum mulutnya ke dalam untuk menahan tangisnya agar tidak bertambah kencang. Hal-hal yang dia sukai dianggap tidak penting selalunya. Walau sudah terbiasa dengan itu, kadang Kiara ingin bertanya apakah yang ia sukai itu salah? Tapi pertanyaan itu kembali tertelan saat sudah diujung lidahnya. Dan dia berakhir diam.

Kiara menarik napas, "Mama ngapain cari Ara?" Katanya menanyakan tujuan Gina mencarinya.

"Oh iya, hampir lupa. Beliin nasi goreng di pertigaan depan dong, Ra. Beliin buat Papa juga."

Kiara keluar dari buntalan selimutnya dan berjalan menuju Gina yang menyodorkan sejumlah uang lalu menerima uang itu.

"Papa belum pulang, Ma?" Pertanyaan basa-basi. Dia tidak mendengar bunyi mobil memasuki pekarangan rumah, yang berarti Papanya belum pulang bekerja.

"Belum, paling bentar lagi pulang. Mangkanya beliin nasi goreng buat makan malam."

Kiara mengangguk, "Iya. Ara siap-siap dulu terus Ara beliin."

Gina bergumam kemudian pergi.

Terlebih dahulu Kiara mencuci wajahnya, memastikan kalau tidak terlalu sembab sebab menangis. Rambutnya yang terurai ia kuncir, karena sebenarnya Kiara lebih suka jika rambutnya dikuncir dibanding digerai. Cardigan yang tergantung disambarnya kemudian ia pakai untuk menutupi lenganya yang terbuka kendati baju tidur yang ia oakai kali ini memiliki lengan pendek.

Promise YouWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu