02 : Di Luar Nalar

143 30 104
                                    
















Tatapan Jennie masih senantiasa melihat kemana perginya sang kakak penjual cilok. Hingga tak lama kemudian, punggungnya tak sengaja tersenggol oleh gerobak pedagang lain. Jennie menoleh, bukannya meminta maaf, pria paruh baya itu justru meneriakinya.

"Heh, Teh! Lari! Ada satpol PP, Teh!" begitu teriak sang penjual tadi.

Seperginya pria itu dengan terburu-buru, dari arah belakang Jennie, pedagang lain turut berlari meninggalkan lokasi. Jennie yang panik pun mencoba membalik badannya dan melihat apa gerangan yang menjadi alasan para pedagang itu berlomba lari.

Pria berseragam coklat kehijauan turun dengan gaharnya dari mobil berplat merah. Jennie yang merasakan pacuan adrenalin baru, turut lari dari sana tanpa tau ke arah mana ia menuju. Meski dalam hati dan pikirannya, gadis itu pun tak tau apa alasan yang mengharuskan dirinya ikut melarikan diri.

Merasa lelah, netra kucing itu melihat sebuah toko swalayan dengan garis putih, kuning, merah, dan biru. Ia tau toko swalayan itu di kehidupan normalnya. Langkah kakinya membawa badan mungil itu memasuki tempat yang memberikan hawa dingin nan sejuk. Membuat siapapun rela berlama-lama di dalam sana. Terlebih berdiam diri sembari melihat isi kulkas yang akan dipilih.

Tangan Jennie meraih tisu basah. Ia sebenarnya merasa sangat kehausan. Ingin memilih air minum kemasan, tetapi tidak ada satupun brand yang ia kenal. Membawa belanjaannya ke kasir dan untuk pertama kalinya setelah melalui hal di luar nalar, Jennie dapat menggunakan uang elektroniknya kembali. 'Finally, ada yang normal juga' begitu batin kecil anak orang besar itu berucap.

"Kak, excuse me. Do you know where is it?" tanya Jennie pada sang kasir toko swalayan.

Bukannya menjawab, sang pemuda itu justru melihat Jennie dengan tatapan menilai. Tau apa yang ada di dalam pikiran sang pemuda, Jennie segera meluruskan. "Ah, I'm sorry. I dunno where i am-"

"Kak, maaf. Pake bahasa Indonesia aja. I'm don't know bahasa inggris," sela sang pemuda kala Jennie belum selesai dengan penjelasannya.

"Ah, my bad. Saya minta maaf, Kak. Begini, saya tidak tahu dimana saya berada saat ini. Saya tadi hanya berlari karena panik dikejar oleh petugas pemerintahan. Saya tidak bisa menggunakan GPS karena jaringan internet saya tidak bisa digunakan di sini," jelas Jennie dengan segenap usahanya.

"Kakak maling?"

"Ha?"

"Lha itu tadi kok dikejar sama pemerintah? Kakak anaknya koruptor ya?"

Baa dum tsss.

Jennie merasa nyawanya terlepas dari raga miliknya. Apakah semua orang di luar lingkungan Jennie memang aneh? Atau sebenarnya dirinya lah yang aneh?

"Hmm, lupakan. Terima kasih."

Jennie pergi begitu saja setelah membayar. Ia haus. Ia ingin mencari tempat yang menjual air minum yang biasa ia konsumsi. Terserah mau itu Voss, Fiji, Equil, atau sejenisnya.

Tak lama ia melihat sebuah bangunan yang nampak seperti sekolah. Gerbang jeleknya masih tertutup, tapi riuh gaduhnya bisa terdengar hingga jalanan. Gedung tiga lantai itu pun nampak sedikit mengenaskan di mata Jennie.

Memilih duduk di kursi yang nampak seperti halte, Jennie sedikit melamun. Memikirkan kembali keputusannya untuk membolos kali ini. Alangkah lebih baik jika ia mengajak sahabat kecilnya untuk Lunch di Singapura daripada terdampar di sini. Agaknya, anak orang kaya itu sedikit menyesal.

"BACOT, ANJING!! PECUNDANG LO BERANINYA BAWA SENJATA!!"

Teriakan itu menyadarkan Jennie dari lamunannya. Netranya menemukan seorang laki-laki dengan kemeja putih lusuh yang tidak dikancingkan. Sejenak ia berpikir, apakah pita suara laki-laki itu baik-baik saja?

KAWULA MUDAWhere stories live. Discover now