🌺23.🌺

5 1 0
                                    

⚠️ Support penulis dengan klik ⭐ dan komen

Bismillahirrahmanirrahim.

Selamat membaca...

...

Ibanez mendekat ke arahku dengan kedua tangan yang meremas ujung bajunya. Sambil menundukkan pandangan dia menghentikan langkahnya tepat di hadapanku. Tanpa aba-aba dia langsung memelukku.

Apa-apaan sih bayi besar ini! Jantungku! Batinku sambil mengusap dada.

"Lepasin!" Gumamku sambil mendorong tubuhnya. Tapi dia enggan melepaskan pelukannya.

"Ibanez apaan sih.. pengap tau!" Bayi besar masih tak menghiraukan perkataanku. "Sini bibirnya aku obatin dulu," lanjutku.

Kali ini dia menurut dan degup jantungku kembali berdegup kencang ketika bayi besar menatapku sambil tersenyum. Mashaallah anak ini!

"Duduk!" Titahku. Ibanez menurut.

Aku meraih cotton Bud beserta salep pereda nyeri di permukaannya. Kemudian aku mengaplikasikannya pada sudut bibir bayi besar. Jarak kami yang begitu dekat membuatku bisa merasakan kalau dia tengah dilanda gugup. Akupun begitu. Sesekali bayi besar mendesis menahan perih. Luka di bibirnya tidak terlalu dalam tapi cukup membuat seorang bayi besar mengaduh kesakitan. Dia mana tahan terluka sedikit!

Melihatnya dari jarak yang dekat membuatku canggung. Sesekali aku menghindari bertemu tatap dengan matanya. Aku sungguh menyayangi bayi besar dengan segala kekurangan dan keterbatasannya. Aku juga ingin menjaganya dan bersamanya hingga akhir hayat. Dia yang begitu tulus mencintaiku meski aku sering membuatnya kesal dan terluka. Dia yang begitu setia dan sabar selama ini bersahabat denganku, membuatku semakin bersyukur dicintai olehnya.

"Ra?" Panggil Ibanez.

"Hem?"

"Kata Abi malam pertama Ibanez harus melakukan kewajiban Ibanez memberikan Ira nafkah batin. Apa itu artinya kita akan bikin adek bayi?" Tanyanya dengan polos.

Panas. Pipiku seketika memerah dibuatnya. Aku hanya diam, sebenarnya aku sendiri belum siap untuk menerima nafkah itu. Bahkan aku sama sekali tidak memikirkannya, yang aku pikirkan hanyalah selalu berada di sisinya dalam setiap keadaan.

"Ra?" Panggilnya lagi sambil melambaikan tangannya di hadapanku.

"Hem?" Sahutku, aku baru saja selesai mengobati lukanya.

Tanpa aba-aba bayi besar kembali memelukku, aku tidak bisa berkutik sama sekali.

"Ira belum siap ya punya adik bayi? Terus Ibanez musti gimana? Apa tidak apa-apa kalau ditunda? Nanti Ibanez berdosa nggak?" Tanyanya bertubi-tubi. Kedua sudut bibirku tertarik ke samping.

"Jika kamu ridha aku menundanya, semuanya akan baik-baik saja. Kamu tidak akan mendapatkan dosa, Ibanez. Ira belum siap, apa kamu keberatan?"

Bayi besar dengan cepat geleng kepala, dia melepaskan pelukannya dari tubuhku.

"Ibanez juga belum siap, Ibanez belum siap jadi ayah," ujarnya. Mendengar jawabannya entah kenapa aku merasa kesal.

Perfect Ibanez--on Going-slow UpdateKde žijí příběhy. Začni objevovat