Bagian 1

0 0 0
                                    

Molly memandang ke sekitar kamar kos-nya. Sudah tidak ada yang tertinggal. Alas tempat tidur berwarna biru bergambarkan Nemo dan ayahnya, itu saja yang masih tersisa beserta bantal dan guling. Di meja rias yang biasanya tertata rapi dengan bedak, sisir, dan botol parfum-nya, sekarang sudah bersih menyisakan cermin besar dan lampu meja milik ibu kos. Selama hampir lima tahun Molly tinggal di sini, jumlah bajunya bisa dihitung dengan jari tangan – mungkin ditambah jari kaki. Baju baru merupakan barang mewah buatnya. Seorang teller junior di satu bank tidak menghasilkan banyak buatnya. Biaya kamar kos sudah menghabiskan  setengah dari gaji untuk sebulan, dan Molly masih harus membantu seorang sepupu yang terbelit hutang beberapa waktu lalu.

Apa yang terjadi tiga hari lalu – surat panggilan ke sebuah kantor pengacara, pertemuan dengan salah satu perwakilan mereka, pembacaan surat wasiat, sampai kemudian pertemuan itu diakhiri dengan jabat tangan erat – membuat Molly masih seperti berada di awang-awang.

…berupa sebidang tanah dan sebuah rumah dua tingkat yang terletak di jalan…

“Surat wasiat siapa tadi?” Sang pengacara sudah menyebutkan sebuah nama di awal pertemuan mereka, Molly merasa pasti tentang itu. Ia hanya ingin mendengarnya sekali lagi. Ingin memastikan bahwa ia tidak sedang bermimpi.

“Bapak Yudi Huda. Nona Puspita bisa baca di awal surat ini.”

“Panggil saya Molly,” Molly menggumam sambil menunduk memperhatikan surat yang sekali lagi disodorkan padanya. “Aku tidak tahu seorang pun yang bernama Yudi Huda.”

“Tapi beliau mengenal anda, Nona Molly. Kami sudah mewakilinya selama bertahun-tahun dan kami juga sudah  memeriksa data-data lengkap anda. Molly Puspita. Anda benar orangnya dan Bapak Yudi adalah paman anda dari pihak ibu.”

Membayangkan ada pihak yang menyelidiki tanpa sepengetahuan dirinya membuat Molly sedikit bergidik. Ingatan Molly melayang pada situasi yang hampir sama saat eyang yang mengasuhnya sejak kecil meninggal dunia. Ke enam anak eyang, paman dan tante Molly, hadir pada pembacaan surat wasiat dan Molly hanya memandang kosong ketika keenam orang itu beserta suami dan istri mereka sibuk menggumam, menggerutu, bahkan mengumpat ketika surat itu selesai dibacakan. Molly tidak habis pikir. Mereka semua mendapat bagian yang sama setelah rumah peninggalan eyang nantinya telah laku terjual. Yang mereka harus lakukan hanyalah menunggu sampai saat itu tiba, dan mereka tidak puas juga. Molly sendiri tidak mendapatkan banyak yaitu uang sebesar dua setengah juta rupiah yang diperkirakan merupakan sepuluh kali lipat uang sakunya dalam sebulan. Eyang masih selalu memberinya sampai saat terakhir walau Molly sudah lama lulus sekolah. Uang itu sudah berubah bentuk menjadi sepotong emas dan Molly masih menyimpannya sampai sekarang.

Dan dari semua paman yang Molly kenal, tidak ada satu pun yang bernama Yudi Huda dan setahunya tidak mungkin seorang dari mereka bahkan berniat mewariskan sebuah rumah untuknya. Sang pengacara tersenyum ketika Molly mengalihkan perhatian padanya.

“Bapak Yudi mungkin bukan paman dekat anda. Tetapi kenyataannya sekarang ia telah meninggalkan rumahnya kepada anda.”

“Kenapa?” tanya Molly. “Tidakkah ia mempunyai pewaris langsung? Bagaimana dengan Tante Yudi?”

Pengacara itu tersenyum lagi, ada sedikit kesedihan tersirat di sana kali ini.

“Ibu Huda sudah lama mendahuluinya. Dan ia tidak punya juru waris lain.”

“Oh.” Napas Molly tercekat. “Maaf, aku tidak tahu.”

“Tidak apa.” Sang pengacara mencondongkan badannya. “Sekarang boleh saya selesaikan membaca surat wasiat ini?”

Molly mengangguk, mendadak merasa sedikit pening. “Silakan.” Ia hanya membisu sampai pengacara itu selesai melaksanakan tugasnya.

Tiga hari dan Molly siap untuk pindah ke rumahnya yang baru. Pengacara bertanya berapa lama waktu ia perlukan dan agak terkejut dengan jawaban Molly. Molly tidak peduli kalau ia kedengaran seperti orang rakus yang ingin cepat-cepat mengambil apa yang ditawarkan padanya. Sudah cukup lama hidupnya tidak menentu dan serba berkekurangan. Umur empat tahun ia kehilangan ayah dan ibunya pada suatu kecelakaan mobil. Kalau tidak karena belas kasih eyang, ia tidak tahu bagaimana ia akan bertahan hidup. Mungkin ia telah menjadi salah satu anak-anak kumal yang tinggal di jalanannya yang kerjanya meminta-minta atau mengamen dengan botol air mineral yang diisi pasir. Molly bahkan tidak peduli eyang tidak banyak mewariskan harta padanya. Eyang sudah menyekolahnya sampai ia lulus kuliah dan akhirnya mendapat pekerjaan. Semua itu sudah lebih dari cukup. Lebih dari yang ia bayangkan dan harapkan.

Molly menunggu dengan sabar ketika supir taksi mengeluarkan kopornya dari bagasi dan meletakkannya di depan pintu pagar sebuah rumah putih megah di pinggir jalan yang luas it. Molly melirik sekilas ke secarik kertas di mana ia telah menyalin alamat tujuannya. Tidak, ia tidak salah. Molly mengusap kedua tangannya yang tiba-tiba terasa lembab. Seandainya ia meminta supaya si pengacara itu dapat menemaninya. Ia tidak akan segugup ini. Molly merogoh kantung celana jeans-nya dan meraih serangkaian kunci yang ia dapat dari si pengacara. Namun tampak jelas ia tidak memerlukan kunci itu saat ini karena pagar itu tidak terkunci ketika Molly mengguncangnya sedikit. Hal itu dan taman depan yang tampak asri dengan bunga-bunga Dandelion yang bermekaran membuat Molly bertanya-tanya. Namun kemudian ia teringat si pengacara mengatakan sesuatu tentang seseorang yang merawat rumah ini. Jadi tempat ini tidak benar-benar kosong. Molly tidak tahu apakah ia harus merasa lega atau keberatan dengan hal itu.

Molly mendorong pintu pagar lebih lebar dan menarik kopornya masuk. Tas punggungnya mulai terasa berat dan menggigit di bahu kirinya ketika akhirnya ia tiba di pintu depan. Molly terhenyak memandang sepasang pintu kayu berukir yang menjulang di hadapannya. Ia merasa seperti seorang hobbit di film tentang cincin itu dan mulutnya gatal ingin mengucapkan, “Mellon!”

Pintu megah itu tidak akan terbuka dengan cara seperti itu tentunya sehingga Molly memilah sejumlah kunci di tangannya dan menerka dalam hati yang mana kiranya kunci yang benar. Mungkin ia harus mencoba satu demi satu.

Namun baru saja ia mengangkat tangannya dengan kunci pertama tergenggam erat di jarinya ketika tiba-tiba ia mendengar sesuatu – seperti suara kunci diputar – dan pintu itu mulai terbuka. Dengan ternganga Molly menyaksikan semuanya. Ia merasa pasti ia batal mengucapkan Mellon tadi. Dan kalau pintu yang terbuka tiba-tiba tidak cukup untuk membuatnya terpana, seorang laki-laki bertelanjang dada yang mendadak muncul dari balik pintu itu pasti akan sangat membantu.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 21, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Anugerah, Bukan KutukanWhere stories live. Discover now