1. Transmigrasi

1K 91 5
                                    

"SIALAN KAU RAIDEN!" Saka meraung penuh amarah melihat satu persatu rekan seperjuangannya gugur. Kurangnya persiapan akibat sergapan mendadak di lokasi yang sangat tidak menguntungkan bagi pihak Saka, tentu saja membuat tim-nya menjadi sasaran empuk para penembak jitu.

Dengan tangan mencengkeram perut yang terlobangi oleh peluru, Saka menatap mantan sahabatnya itu dengan nanar. Dibanding sakitnya peluru yang bersarang di tubuhnya, ada yang lebih sakit lagi hingga ia tak sanggup berkata-kata.

Hati.

Pengkhianatan.

"Hehehe, Saka ... Saka ... harusnya kau sadar tim Garuda hanya digunakan sebagai alat oleh negara. Andai kita mati pun, tak merubah apa-apa. Kita yang bertaruh nyawa, orang-orang berperut gendut sialan itu yang menerima pujiannya."

"Apa dengan menjadi pembelot lantas meninggikan derajatmu?" tanya Saka sinis. "Kau tak lebih dari tikus busuk yang mencari pembenaran. Bahkan kau lebih memuakkan dari mereka!"

"TUTUP MULUTMU!"

DORR!!

Satu peluru lagi kini tepat bersarang di jantung Saka. Mirisnya, peluru itu datang dari seseorang yang selama ini sudah ia anggap sebagai saudara dan sahabat sehidup semati. Hati manusia memang tidak akan pernah ada yang tahu. Saka hanya mampu pasrah menerima kematian saat napasnya mulai tersengal dan pandangannya memburam.

"Kau akan menerima karmamu, Raiden!" bisiknya lirih sebelum menghembuskan napas terakhirnya.

*

Uhuk!

Suara batuk, bersamaan dengan mata yang mulai terbuka perlahan. Mengerjap untuk menyesuaikan dengan cahaya dan visi yang ditangkap oleh inderanya. Sedikit mengernyit, pemuda yang tengah terbaring di dipan itu mencoba untuk bangkit.

Ugh! Sial! Perutnya sangat sakit.

"Ah, aku masih hidup?" bisiknya dengan nada tak percaya. Dengan dua peluru di perut dan jantung, harusnya ia sudah tak terselamatkan. Apalagi medan tempat tim-nya terkepung sangat terjal dan jauh dari pangkalan militer. Harusnya ia sudah mati kehabisan darah.

"Tuan Muda, Anda sudah bangun?"

Pemuda itu melirik ke arah pintu, di mana seorang wanita paruh baya mendekatinya dengan raut bahagia.

"Si-apa?" tanya pemuda itu dengan lemah.

"Tuan Muda, tolong jangan bercanda! Tuan Muda tunggu sebentar, saya akan panggilkan patriak dan mengabarkan keadaan Tuan Muda."

Tanpa mendapat jawaban, pemuda itu ditinggalkan begitu saja dengan kebingungan. Ia sama sekali tak memahami apa yang diucapkan oleh wanita paruh baya tersebut. 

[Ding! Proses penyatuan sistem dan jiwa Tuan telah berhasil]

Eh??

"Siapa itu?" tanyanya lemah sambil menoleh ke kanan dan kiri.

[Ding! Saya adalah sistem penguasa yang sudah menyatu dengan jiwa Tuan, sistem akan membantu Tuan untuk menguasai seluruh alam]

Remaja itu tertegun. Tentu saja ia tak asing dengan sistem. Meski sangat sibuk di militer, saat waktu senggang ia masih menyempatkan diri membaca novel di ponselnya.

"Benarkah sistem? Lalu di mana aku sekarang? Bagaimana teman-temanku?"

[Ding! Sistem memindahkan jiwa Tuan ke alam kultivator, di sini adalah langkah awal Tuan untuk menjadi penguasa alam]

"Transmigrasi?"

[Ding! Benar Tuan!]

"Lalu aku siapa?"

[Ding! Bisa diakses melalui ingatan pemilik tubuh sebelumnya]

Lantas remaja itu merasakan sakit yang tak terkira di kepala. Serasa ribuan jarum menusuk secara bersamaan bersama dengan berbagai informasi dan ingatan yang menyeruak masuk.

Wisaka Hirawan, adalah Tuan Muda keluarga Hirawan yang dibilang jenius muda karena mampu mencapai ranah Jendral tingkat lima dan membangkitkan jiwa spiritual tingkat empat, yaitu harimau suci. Tapi itu dulu, sebelum dantiannya hancur karena menyelamatkan sang tunangan saat berada di pegunungan berkabut.

Bersama dengan ingatan yang mulai jelas, wajah Saka mendingin. Tentu saja ia tahu dengan pasti jika peristiwa di pegunungan berkabut bukanlah resmi kecelakaan. Melainkan ulah dari sang adik tiri, Raden Hirawan yang sedari dulu memang iri dengan bakatnya.

"Raden, Raiden ... kalian memang selalu menjadi pengkhianat," gumam Saka sembari tertawa pahit.

Pintu terbuka, memperlihatkan wanita paruh baya sebelumnya diikuti dengan beberapa orang di belakangnya. Dari ingatan pemilik tubuh sebelumnya, Saka tahu, diantaranya ada sang ayah, patriak keluarga Hirawan, ibu tiri dan adik tirinya, sang tunangan Alisha Caraka dari keluarga Caraka dan ayahnya, Indra Caraka.

Meski sedikit terkejut, Saka tetap terdiam tanpa membuka suara sedikit pun.

"Oh, sudah bangun rupanya?"

Saka sedikit mengernyit mendapati nada datar dari sang ayah. Menurut ingatan yang didapat dari pemilik tubuh sebelumnya, sang ayah merupakan salah satu orang yang begitu bangga dengan pencapaiannya.  Lalu, apa-apaan dengan nada datar dan wajah tidak pedulinya itu?

"Untunglah kamu sudah bangun, ada yang ingin dibicarakan Alisha padamu."

"Patriak, bukankah kita harus menunggu Tuan Muda beristirahat sebentar lagi? Tuan Muda baru saja bangun setelah tertidur selama satu bulan." Wanita paruh baya itu terlihat gelisah dan khawatir melihat ke arah Saka yang tak berdaya di atas dipan.

"Kapan waktu yang tepat itu bukan kau yang memutuskan. Anak itu harus tahu, cepat atau lambat. Semakin cepat semakin baik, karena bersatunya keluarga Caraka dan Hirawan akan berdampak baik. Setidaknya dua keluarga lain tidak akan berani macam-macam."

Saka mengangkat sebelah alis melihat sang ayah. Sedikit banyak, ia mulai menebak alur yang akan terjadi. Hatinya semakin mendingin dan kilatan benci tak bisa disembunyikan dari sorot matanya.

"Karena kau sudah bangun, aku akan berbicara terus terang." Kali ini Alisha yang angkat bicara. "Karena dantianmu hancur dan tidak mungkin untuk kembali berkultivasi, aku memutuskan pertunangan kita, aku akan bertunangan dengan adikmu, ini demi kebaikan keluarga kita."

Saka ingin sekali tertawa terbahak-bahak. Demi keluarga kita ndasmuSaka sungguh tidak menyangka jika ia akan terjebak di keluarga yang sangat egois dan bermuka dua.

Sungguh memuakkan.

Saka mulai melihat satu persatu orang yang ada di ruangan, pandangan mereka terhadapnya sama, yaitu pandangan remeh dan merendahkan. Terutama dari sang adik dan ibu tiri. Kecuali wanita paruh baya itu, yang memandangnya dengan penuh kasih dan khawatir. Saka ingat, jika wanita itu seharusnya adalah pelayannya, tapi ia sudah menganggap pelayan itu sebagai pengganti ibunya yang sudah meninggal.

"Ya sudah, itu saja yang ingin kita bicarakan. Ke depannya, kamu dilarang untuk datang ke bangunan utama apalagi ke ruang harta. Karena kamu bukan lagi kultivator, kamu tidak akan membutuhkan itu semua. Kamu akan mendapat jatah dua koin emas setiap bulan, selebihnya kamu cari sendiri untuk kebutuhanmu." Lalu tanpa menanyakan kondisi atau sekedar berbasa-basi, sang ayah -Pandu Hirawan- melengos pergi diikuti oleh semua orang kecuali sang wanita paruh baya.

Setelah semua orang pergi, wanita paruh baya itu menghambur memeluk Saka dan menangis sesenggukan.

"Tuan Muda yang sabar ya, Patriak Pandu sebenarnya sangat menyayangi Tuan Muda, ucapannya jangan diambil hati."

Saka membalas pelukan itu dan menghembuskan napas pelan.

"Bi Sinta, Saka tidak apa-apa. Selama Bi Sinta ada untuk Saka, itu sudah cukup."

Tentu saja, saat ini yang ada di sini bukanlah Wisaka Hirawan yang sangat ingin mendapat pengakuan dari keluarga, tetapi Arsaka Bimantara, sang kapten tim Garuda yang hatinya sudah mati karena pengkhianatan. Ia tak akan ambil pusing, cukup meningkatkan kekuatannya sendiri lalu membalas mereka semua.

Saka tidak akan berbelas kasihan apalagi memberikan kesempatan kedua kepada mereka yang sudah menusuknya dari belakang dan berpaling saat ia berada di posisi terpuruk seperti saat ini. Termasuk sang ayah sendiri.

Sistem Penguasa AlamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang