You're All That I Think

12.8K 409 6
                                    

Aline sedari tadi hanya duduk di balkon atas rumahnya menatap langit tanpa bintang. Entah apa yang sedang berseliweran dipikiran Aline. Ia tahu bahwa memang ada yang sedang ia pikirkan. Tapi ia sama sekali tidak mampu melihat gambaran apa yang sebenarnya mengganggu pikirannya.

Tidak lama kemudian, ia merogoh saku celananya dan mendapati kertas kecil putih yang terlipat-lipat. Perlahan ia buka kertas itu dan melihat lekat-lekat tulisan yang tertulis di kertas itu. Setiap goresan membuatnya berpikir.
"Kok bisa ya?" Gumam Aline sambil mengerutkan keningnya.

Sesekali telunjuknya mengetuk-ngetuk dagunya sambil berpikir. Ia menatap pemandangan perumahan yang malam itu terdapat selingan lampu jalan yang berwarna kuning. Ia menyipitkan matanya dan melihat lampu-lampu jalan yang menerangi perumahan malam itu, berubah menjadi seberkas cahaya yang remang-remang.

Ia menarik nafas dalam-dalam dan menyunggingkan senyumnya tanpa ia sadari. Tak lama kemudian, ia melihat kembali kertas yang masih ada ditangannya.

"Duh.. Mikirin apa sih nih otak. Gak jelas banget daritadi."

"Mmh..Alvin.." Ia tertawa kecil. Entah mengapa. Setiap ia menyebut nama itu, setiap detail yang telah ia lihat, yang terdapat dalam pikirannya saat melihat laki-laki itu...
Ada rasa bahagia yang merambat hatinya, merasuki pikirannya sampai bagian terdalam. Tapi setiap hal itu terjadi, satu sisi hatinya berdegup kencang dan sisi lain entah bagaimana hal itu membuatnya bahagia.

Padahal laki-laki itu sempat membuatnya kesal. Tapi sudahlah. Ia sudah melupakan hal itu. Itu hanya hal sepele, bukan? Mungkin kertas yang Alvin cari memang penting.

Sejak kejadian tadi pagi, sampai sekarang Aline pun masih terus menerka hal-hal yang terjadi hari ini. Dibanding memikirkan Alvin yang membuatnya kesal, bukankah lebih baik memikirkan Alvin yang tiba-tiba menjadi utusan dewi fortuna dan membantunya tadi pagi?

"Mikir apa sih gue. Wajar deh kalo dia ngebantu. Emang harus kan? Lah secara dia kan pintar, otaknya encer banget kaya kecap asin. Ya perbedaannya dia cukup manis untuk dibandingkan dengan kecap asin."

Manis? Apa Aline menyadari satu kata yang keluar dari bibirnya itu?

Sepertinya tidak.

"Tapi.. Tatapannya. Membuat rasa penasaran gue makin tinggi. Cara dia manggil, liat... Ah! Apa-apaan sih gue.. Tidak mungkin. Lagian gue gak bisa menyimpulkan apa-apa. Gue aja yang terlalu berlebihan. Tetap aja dia nyebelin dikit."

"Aaahhh!!" Aline menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Tanpa disadari ditangannya masih tergenggam kertas kecil itu. Ia menatap kertas itu lekat-lekat lagi. Ia mengeluh kuat dan langsung menjejalkan kertas itu ke kantong celana pendek jeans yang ia pakai.

Ia menutup matanya.
Bayangan laki-laki itu muncul lagi.
Kejadian tadi pagi seakan terputar kembali.
Entah kenapa otak, pikiran, hati, jantung dan seluruh tubuhnya lebih memilih mengingat Alvin yang telah membantunya dari jurang kegelapan kuis Sir Ferry daripada mengingat Alvin menyebalkan yang mengobok-obok tong sampah.

"Hei.."
Ia tersenyum. Setelah beberapa menit ia menutup mata sambil tersenyum, membiarkan dan merasakan bayangan, senyum, tatapan, suara laki-laki itu merasukinya lagi.

Aline, lo udah kaya orang kerasukan ketika memikirkannya.

Tiba-tiba ia tersentak dan menyadari bahwa dirinya sudah seperti orang tanpa kesadaran yang hanya dipenuhi bayangan dan segala hal tentang laki-laki itu.

"Segalanya tentang dia. Gue seperti merasakan ada sesuatu hal yang lebih. " batin Aline

Setelah itu, ia memutuskan turun dan memasuki kamarnya. Tidak langsung tidur. Masih berpikir. Masih menerka apa yang sebenarnya ia pikirkan. Dan masih banyak hal yang membuatnya untuk berpikir keras.
Tapi akhirnya, ia tertidur dengan pikiran-pikiran yang tidak jelas darimana datangnya. Dan laki-laki itu menjadi orang yang ia pikirkan ketika ia beranjak tidur.

Ia melihat dirinya sendiri berada disebuah taman. Bersama seorang lelaki. Ia tidak mengerti bagaimana kejadian ini bisa terjadi. Melihat dirinya sendiri dan laki-laki itu. Alvin.
Mereka tampak sangat bahagia. Berjalan bersama, bergandengan tangan melewati jalan setapak yang ada di taman. Alvin menghentikan langkahnya dan melihat Aline.

Mereka sekarang berhadapan. Sangat dekat. Bahkan tampaknya tidak ada jarak diantara mereka. Alvin menarik Aline dalam pelukannya. Tangan kanannya melingkar dipinggang Aline dan satunya lagi mengelus rambut Aline yang terurai. Alvin tersenyum lepas dan saat itu juga entah mengapa Aline merasakan tatapan dan senyum ketulusan Alvin.

"Maafin gue," bisik Alvin.

Aline menangis tersedu-sedu dan memeluk Alvin. Ia mendekap Alvin erat-erat sambil menenggelamkan wajahnya di tubuh Alvin.
Airmata Alvin juga ikut membasahi pipinya. Alvin menutup mata dan menahan semua perasaan yang sepertinya sangat menyiksanya.

Alvin tidak tahan lagi. Ia tidak tahan mendengar tangisan Aline yang sangat sulit dihentikan hanya dengan pelukannya.

Alvin mengangkat dagu Aline, "Please, look at me."

Aline hanya menggeleng pelan.

Alvin perlahan mengangkat dagunya, dan mendekatkan wajahnya dengan Aline. Ia melihat airmata itu membasahi seluruh pipi Aline. Tangan kanannya memegang belakang lehernya dan tangan kirinya menghapus airmata yang mengalir di pipi Aline sekaligus berniat menghentikan bulir sialan itu membahasi pipi Aline.

Aline terus tersedu-sedu. Alvin menarik wajah Aline lebih dekat lagi. Ia langsung mencium bibir Aline agar suara Aline menangis tidak terdengar lagi. Aline hanya menutup matanya, membiarkan Alvin menguasai bibirnya.

Meskipun hal itu terjadi, airmata Aline masih saja mengalir. Bibir Alvin masih bersamanya. Alvin membuka matanya dan masih mencium bibir Aline sambil menghapus airmatanya. Alvin pun menutup matanya dan menangis. Aline yang lebih pendek dari Alvin menyadari bahwa Alvin juga menangis. Airmata Alvin mendarat di pipi Aline. Aline membuka matanya, ia melihat Alvin menutup mata dan menangis.

Aline melepaskan perlahan Alvin. Ia menghapus airmata Alvin dengan lembut. Alvin masih menangis. Tersimpan begitu banyak penyesalan yang tampak dari tangisan Alvin. Aline berjinjit dan mencium sekilas bibir Alvin sambil menghapus airmata Alvin.
Mereka berdua tersenyum tulus dan diakhiri dengan pelukan hangat.

Tiba-tiba cahaya menyilaukan membuat Aline menyadari bahwa semua hal tadi hanya mimpi.
Ia bangun dengan susah payah dan menyadari bahwa pipinya dibasahi airmata. Ia seperti membawa mimpi itu dalam kenyataan. Rasa sakit dan sesak tiba-tiba muncul.

"Alvin.." Ia memanggil laki-laki itu tanpa sadar.

----***----

Hari ini Aline tidak bisa berkonsentrasi. Rika berkali-kali menyenggol lengan Aline saat ia melihat Aline melamun. Tidak biasanya Aline seperti ini.

"Lin, lo beda deh hari ini. Lo kenapa?"

Rika memang teman yang paling dekat dengan Aline. Bukan berarti Vira tidak. Hanya saja Vira lebih agresif. Lagian Rika memang lebih ngerti kalo soal percintaan, mengingat dia adalah Playgirl. Sejak putus dari Gilang.
Tapi Aline tau jelas bahwa nama Gilang masih terukir jelas. Begitu juga dengan Gilang. Mereka terlalu gengsi untuk memulai lagi. Sayangnya ia menjadi korban karna harus menerima bahwa Gilang pura-pura menyukainya. Ia tau itu. Meski Gilang gak pernah mengatakan apapun tentang Rika. Tapi Aline tidak bodoh.

"Hah? Beda? Beda gimana?"

"Lebih banyak melamun. Kenapa sih?"

"Gak ah.. Perasaan lo aja kali,"

"Gue kenal lo bertahun-tahun. Mending sekarang lo cerita ke gue deh,"

Aline menghembuskan nafasnya. "Semalem gue mimpi Alvin."

"Hah? Beneran? Hanya karna dia ngasih jawaban MTK sampe kebawa mimpi gitu lo?"

"Ssstt! Entahlah. Gue juga engga tau. Tapi.. Jantung gue berdetak dua kali lebih cepat kalo sama dia. Gue.. Entah deh,Ka. Susah gue definisiin."

Rika terdiam seakan berpikir. Raut wajahnya berubah.

"Ka? Lo mikir apa?"

"Eh? Engga-enggapapa kok. Lagian lo sih aneh banget gitu aja sampe kebawa mimpi deh."

Aline hanya mendengus kesal.

Apa emang gue terlalu lebay?
But that dreams, like real!

Don't Ever Say GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang