2 - Tidak Akan Bangun

1K 131 20
                                    

 Sejak saat itu, aku tidak pernah protes saat Ibu mengajakku ke pertemuan bulanan. Malah aku sering bertanya kepada Ibu, kapan jadwal pertemuan berikutnya. Ibu hanya tertawa kecil, bilang kalau jadwal pertemuan selalu di akhir bulan.

Lima bulan, lima pertemuan berlalu, itu artinya sudah lima kali aku bertemu Nevin. Dan entah sudah berapa duel yang kami lakukan. Mulai dari sparring, lomba lari, adu cepat memanjat pohon, sampai adu teka-teki yang lebih mirip adu jokes bapak-bapak. Apapun lombanya, selalu Nevin yang menang.

"Dann, itu adalah kemenanganku yang ke lima belas kalinya!" itu kata-kata standar yang selalu ia ucapkan ketika menang dariku.

Namun hari itu, sepulang dari pertemuan, sesuatu yang tidak kuinginkan terjadi. Kala itu, aku bahkan belum paham betul apa yang sebetulnya terjadi.

Dalam perjalanan kapal layar pulang ke Elheims, aku duduk di samping Ibu. Riang bercerita tentang apa saja yang kulakukan dengan Nevin, apa saja yang kuobrolkan. Ibu tersenyum, sesekali menimpali ceritaku.

"Nevin bilang dia jarang bertemu dengan Ibunya, Bu. Dia lebih sering bersama Ayahnya." Ceritaku kepada Ibu.

"Iyakah?"

"Iya, Bu."

Ibu mengulum senyum. Aku suka melihat Ibu tersenyum. Wajah ibu-ibunya kian terlihat sepuluh tahun lebih muda ketika tersenyum, nampak bercahaya.

"Bersyukurlah kau bisa bertemu Ibu setiap hari, Nak. Kau tahu, tidak semua anak seberuntung itu, kan?" aku ikut tersenyum, mengangguk-angguk. Ibu tertawa kecil, mengacak-acak rambut biru tuaku yang berantakan ditiup angin laut.

Sesampainya di istana, Ibu bilang ia ingin istirahat di kamar. Sedangkan aku pergi ke halaman istana, bermain dengan Kaguma. Rasa-rasanya sudah lama sekali aku berkejar-kejaran dengan Kaguma di halaman. Bahkan matahari mulai menyentuh garis lautan, tanda malam segera tiba. Tapi tidak ada suara Ibu yang meneriakiku agar segera masuk. Sebetulnya, Kaguma-lah yang pertama kali sadar soal itu.

"Tumben Ibumu tidak berteriak menyuruh kita masuk, Yon?" begitu katanya. Aku berpikir sejenak, iya juga.

"Tadi katanya Ibu mau istirahat di kamar. Mungkin Ibu lelah sehabis pertemuan," jawabku. Kaguma manggut-manggut. Bagaimanapun, hari sudah hampir malam. Saatnya masuk.

Tapi sampai aku beranjak hendak tidur, Ibu tetap tidak keluar kamar. Kaguma yang juga hendak ikut ayahnya ke kompleks prajurit (ayah Kaguma adalah salah satu prajurit kepercayaan ayahku. Para prajurit Elheims mayoritas tinggal di kompleks khusus prajurit, termasuk ayah Kaguma) kebetulan melihatku yang ragu-ragu berdiri di depan pintu kamar Ibu. Ayah masih ada rapat, jadi sepertinya Ibu sendirian di kamar.

"Ibumu masih belum keluar, Yon?" Kaguma berjalan mendekatiku. Aku menggeleng.

"Coba kau bangunkan. Kasihan Ibumu belum makan sejak siang." Aku mengangguk, tadi aku juga berpikiran begitu. Ditemani Kaguma, aku membuka pintu kamar Ibu yang tidak dikunci.

Ibu masih berbaring di kasurnya. Matanya terpejam. Pelan-pelan aku mencoba menggoyang lengan Ibu, membangunkannya.

"Bu... bangun, Bu. Ibu kan belum makan."

"Ibuuuu... bangunn..." aku menggoyang lengannya lebih kencang.

"Ibu tidak mau bangun, Gum. Tidurnya nyenyak sekali." Aku menoleh ke Kaguma yang berdiri, menunggu di dekatku.

Kebetulan, Ayah baru saja kembali dari rapatnya. Ia melihatku dan Kaguma lewat pintu kamar Ibu yang kubiarkan terbuka.

"Ayon, Kaguma? Kalian tidak tidur?" suara Ayah membuat kami sontak menoleh.

"Ibu tidak mau bangun, Yah." Aku melapor, menunjuk Ibu yang masih tertidur di kasurnya.

"Eh? Ibu tidur duluan? Sejak kapan?"

"Sejak pulang dari pertemuan." Aku menjawab cepat.

Ayah menatapku, lantas berganti menatap Ibu. Dicobanya membangunkan Ibu, seperti yang tadi kulakukan. Satu menit, air muka Ayah mulai terlihat panik. Ayah mulai mengecek-ngecek leher, dada, pergelangan tangan, bahkan sampai mendekatkan telinganya ke dekat wajah Ibu. Aku dan Kaguma saling berpandangan, tidak paham apa yang Ayah lakukan. Badan besar Ayah bergetar hebat. Pelan-pelan ia berpaling, menatapku dan Kaguma. Lantas Ayah beranjak ke dekatku, memelukku. Berbisik pelan di telingaku, "Maaf... maafkan Ayah, Yon... maafkan Ayah..."

Aku menatap Ayah tidak paham. Maaf? Maaf untuk apa? Kenapa Ayah malah memelukku? Dan kenapa Ibu tidak bangun-bangun juga?

"Maaf untuk apa, Yah?"

"Ibu... Ibu... Ibu sudah pergi, Nak..."

Sekali lagi, aku menatap Ayah bingung. "Pergi? Pergi ke mana, Yah? Kan Ibu masih di sana?"

Ini aneh. Tidak biasanya Ayah bicara tidak jelas begini. Biasanya Ayah lebih suka bicara langsung ke poinnya, tanpa basa-basi – apalagi bicara tidak jelas begini.

"Ibu sudah tidak ada..."

"Ibu masih ada di sana, Yah!" aku memotong ucapan Ayah, menunjuk badan Ibu yang terbaring di atas kasur – kali ini sambil berusaha melepaskan diri dari pelukan Ayah. Ayolah, sejak kapan Ayah senang berbicara tidak jelas begini?

"Ibu... Ibu sudah meninggal, Nak!"

Kali ini aku tidak langsung membantah. Meninggal? Apa maksudnya?

"Ibu tidak akan bangun lagi, Nak..."

Aku terdiam. Masih belum sepenuhnya paham dengan penjelasan Ayah. Namun, rasa-rasanya, hatiku terasa sesak. Ibu tidak bangun lagi? Selamanya?

Aku menunduk. Pelan-pelan, air mataku mulai mengalir. Membasahi permadani merah yang melapisi lantai kamar Ibu. Ayah kembali memelukku, juga sambil menangis terisak. Bintang-bintang yang berkerlap-kerlip di langit mulai bersembunyi di balik gumpalan awan, seolah ikut menunjukkan duka citanya. Burung hantu yang sejak tadi mengeluarkan suara "uuu, uuu" berhenti sejenak. Seolah ikut merasakan suasana di dalam kamar Ibu.

Itu malam yang menyesakkan.

Biru - Viva FantasyWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu