"Lo takut sama Kafin?" bisik Nawasena saat mendorong pintu lebih lebar.

"Menurut lo?" ketus Yolai datar. "Kafin itu makhluk atas. Jelas, 'kan? Jarak kasta kami seperti apa. Dia makhluk suci. Lo ini bodoh atau gimana? Lembuswana adalah makhluk mitologi yang sangat disucikan dan dihormati kemaharajaan."

Nawasena tidak sempat membalas perkataan Yolai. Beberapa remaja perempuan dengan kemben datang menghampiri keduanya dan mulai mengamati bentuk tubuh Yolai dan Nawasena silih berganti.

Nawasena berusaha tidak beradu pandang dengan seorang gadis yang mengukur tubuhnya dengan meteran. Seberkas rona merah jambu terus terlihat dan membuat wajahnya seperti tomat.

Hampir setengah jam mereka mengukur, memilih dan menunggu desain baju yang 
dipakai. Hasilnya cukup memuaskan, Nawasena merasa telah menjadi bintang drama kolosal.

Kafin telah memilih sebuah jubah yang kerahnya berbentuk V besar. Pakaian itu tidak memiliki kancing. Sehingga untuk menutupi tubuh. Digunakan sebuah sabuk pengikat yang dipakai pada pinggang.

"Sekarang, kita aman." Kafin mengipas wajahnya dengan kipas lipat yang sengaja dibeli dari butik. Tingkahnya, membuat Nawasena seperti melihat seorang aktor kolosal yang sedang syuting film.

"Gue ingin ke pusat kemaharajaan. Lo tahu di mana tempatnya?" tanya Nawasena. "Abang gue pasti di sana."

"Tahu," jawab Kafin sambil mengipas wajah. "Kita bisa naik kereta kencana dan meminta kusir mengantar kita ke alun-alun."

Disuruhnya Yolai untuk memanggil kereta kencana yang kebetulan melintas di depan mereka. Setelah memberitahu kusir tujuan mereka. Nawasena dan yang lainnya pun naik ke dalamnya.

Kereta kencana memiliki dua bangku yang saling berhadapan. Kafin duduk menghadap Yolai dan Nawasena, selayaknya tuan tanah yang sedang dikawal.

"Gue tahu, kalian berdua ingin bertanya banyak hal. Jadi, silakan. Berhenti menatap gue. Seakan-akan gue ini patung yang dipajang dalam museum."

"Gue tidak ingin bertanya apa pun." Yolai menjawab tenang. Berusaha tidak menunjukkan emosi. Lalu melirik ke arah jalanan kota yang penuh dengan gapura-gapura beragam bentuk dan rutinitas masyarakat sekitar. Yolai menatap sebuah gerobak terbuka yang berisi kendi-kendi dan ditarik oleh seekor kuda cokelat.

"Mengapa lo bisa tersegel di Plaza Senayan?"

"Ada taruhan dalam sebuah pengorbanan besar," jawab Kafin pendek. Nawasena pikir, dia akan menghindari ini.

"Terkait abad kekosongan?"

"Lebih jauh dari yang kalian perkirakan."

"Seperti apa?" desak Nawasena lebih lanjut.

Sebelum Kafin sempat menjawab. Kereta kencana mendadak berhenti. Kusir segera turun, lalu mengetuk jendela dari luar.

"Ada apa?" tanya Kafin sambil membuka pintu.

"Kita tidak bisa lebih dekat lagi. Kalian harus turun dari sini dan berjalan kaki ke alun-alun. Putri Keraton dan calon suaminya sedang ada kunjungan."

Kafin dan yang lain terpaksa turun. Kerumunan orang sudah padat dari tempat itu. Warga berbondong-bondong melihat calon penerus tahta lebih dekat.

Beberapa kesatria bhayangkara berjaga lebih ketat dan hilir mudik di beberapa titik.

Nawasena memandang mereka dalam penuh kewaspadaan. Untunglah, Kafin mampu menuntun Yolai dan Nawasena berjalan menuju alun-alun tanpa hambatan.

Lalu mereka berhenti, karena di depan, penjagaan jauh lebih ketat. Nawasena tidak bisa melihat lebih jelas. Sekonyong-konyong, Kafin malah mengangkat tubuh Nawasena seperti memegang plakat piala ke udara.

"Turunkan gue!" Wajah Nawasena memerah semu. Dia sangat malu dilihat banyak orang. Digendong seperti bocah oleh pria dewasa.

"Biasa aja, lo udah naik ke punggung gue saat jadi Lembuswana. Sekarang apa bedanya?"

"Turunkan gue!" titah Nawasena tegas. Dia tidak peduli pendapat Kafin. Pria ini bertindak di luar perkiraan.

Mendadak, Nawasena mematung. Sebelum diturunkan Kafin. Mata Nawasena menangkap wajah Raksa Auriga di antara lautan manusia.

"Ada apa?" seru Yolai yang menyadari perubahan di wajah Nawasena. "Lo melihat salah satu senopati?"

"Bukan," sahut Nawasena.

"Raksa Auriga adalah calon suami dari Putri Kinara," sela Kafin dengan nada dingin. "Mereka sudah lama bertunangan. Tetapi belum kunjung menikah."

"Apa maksud lo?" Nawasena dilanda rasa penasaran yang amat besar.

"Putri Kinara tidak hanya memiliki satu calon suami. Seperti ayahnya yang menjadi Raja dan kakak laki-lakinya yang telah naik tahta. Mereka semua punya pendamping lebih dari satu. Alasannya, untuk mempertahankan dan mengontrol semua aspek dalam satu komando."

Yolai batuk, tetapi itu adalah tawa yang sengaja disembunyikan. Kafin memberinya tatapan peringatan.

"Wajar lo merasa ini lucu," ujarnya pada Yolai. "Makhluk seperti kalian, memegang prinsip bahwa cinta sejati hanya satu dan mencintai sekali seumur hidup. Tapi di kemaharajaan, itu tidak bisa terjadi. Abang lo berada dalam kendali kemaharajaan."
Dia beralih menatap Nawasena. "Siapa pun tidak bisa menolak bila sudah dipersunting keluarga kemaharajaan. Sebaiknya kita cari tempat yang lebih tenang untuk membicarakan ini lebih lanjut."

__//____/___//__
Tbc

The Heroes Bhayangkara Where stories live. Discover now