03. Broken & Molten

Start from the beginning
                                    

Dan saat ini sosok Jaehyun tiba-tiba saja sudah duduk tenang di hadapannya sambil menyesap cappucino untuk membicarakan soal pernikahan.

Tentu orang yang terpilih sebagai pendampingnya bukanlah dia.

Renjun dulu pernah mengira jika mereka punya kesempatan untuk bersama tiap kali berandai berdua; membicarakan berbagai relativitas dalam kehidupan, merancang rencana-rencana untuk masa depan, berharap suatu hari nanti segala angan akan kesampaian.

Tapi sepertinya kata platonik adalah label yang paling cocok tertera untuk relasi di antara mereka.

Renjun merogoh ponsel dari saku celana. "Walau aku ingin lebih lama mengobrol denganmu, tapi sepertinya panggilan tugas tidak bisa menunggu." Pura-pura saja terus, padahal tidak ada seorangpun yang menghubunginya untuk buru-buru. "Congrats on your decision to settle down," ujar Renjun pelan seraya berpikir kalimat apa yang harus ia katakan selanjutnya. "But always remember, the most important words for a successful marriage is—"

Jaehyun menatap Renjun, dan seolah punya telepati mereka berujar sehati: "I'll do the dishes."

"Exactly."

Kekeh halus Jaehyun membuat ia ingin mengulang kembali nostalgia, tapi apa daya, mereka sudah tiba di akhir halaman cerita.

"Kalian harus bertemu."

Renjun tidak membiarkan dia mengucap nama atau bercerita lebih lanjut mengenai siapa orang yang 'beruntung' itu.

"Text me for the date then, i'll meet you guys later."

Angguk beriring senyum maklum adalah hal terakhir tentang Jaehyun yang akan Renjun patri. Karena setelah ini, semua kenangan dengannya akan ia jejalkan jauh-jauh dalam peti penyimpanan memori.


...


"Sedikit masukan kata meja nomor enam," Johnny tahu kalau kata-katanya barusan akan bebuntut panjang, tapi tetap saja ia lakukan demi memancing tingkah ekspresif dari orang yang bersangkutan. Katakan dia memang masokis kalau ini sudah berhubungan dengan satu sosok spesifik paling menarik perhatian. "Cake-nya agak kurang melting." Ia berbisik di dekat sang sous chef restoran.

Kepala Renjun berputar secepat kilat. Fokusnya teralih dari piring yang menampung dua potong lamb rack dan puree labu. Ujung pinset dalam pegangan tangan masih setia mencapit satu kelopak pansy ungu, begitu pesan tadi keluar dari mulut manajer tinggi yang mengenakan blazer navy blue.

Alis-alis bertaut, bibir langsung saja mengerucut.

"What?"

"Just as they said..."

"But the chocolate is melting."

"Chef Huang, ingat kalau di sini pelanggan adalah raja..."

Renjun lekas berdiri tegak dari posisi membungkuknya semula, menyerahkan tahap akhir plating pada Haechan—yang menatap was-was pada perubahan air muka sang rekan kerja. Mata nyalang (dan lelah) menyisir terburu sekeliling dapur yang hectic di hari Minggu. "Mana molten cake-nya?! Berikan satu padaku!"

"Yes, Chef!"

Seorang commis(4) bagian pattiserie takut-takut maju dengan sepiring menu yang jadi calon pemantik seteru. Hela napas berat terdengar sebelum ia menatap Johnny tepat di mata untuk kemudian lantang berseru. "Dengar ya tuan sok tahu, molten cake itu bukan kue coklat yang kurang matang, bukan itu yang membuat bagian tengah kuenya lumer." Renjun mulai bermonolog sembari menyendok kue (berteman es krim vanilli dan butir-butir manisan raspberi) dari atas piring dengan tenaga kuli. "Kau ambil seonggok ganache(5) beku," katanya rendah, sebelah tangan dikepalkan lalu dihentak kencang-kencang. "Masukkan adonan bangsat itu ke dalam ramekin(6) beroles mentega dan terigu, kemudian panggang si bangsat selama sepuluh menit agar bagian luarnya mengeras, sementara bagian tengahnya tetap lumer serupa lelehan madu!" Ia menatap garang ke arah Johnny, tapi sang manajer (hanya tersenyum penuh arti) seperti sudah kebal akan perubahan mood yang terjadi. "It's fuckin' melting..." bisik Renjun tidak pada siapapun, wajah manis tegang oleh emosi.

bon appétit!Where stories live. Discover now