"Kapten! Mereka menghancurkannya!" Salah seorang bawahan Eril menunjukkan raut tidak suka.

"Biarkan saja," komentar Eril. "Tetap awasi kedua makhluk ini agar tidak keluar dari selubung."

Eril masih ingin memeriksa lebih dalam lagi mengenai hubungan Magma dan Nawasena. Bukan tanggung jawab Eril tuk meringkus mereka. Sekalipun, ia mampu melakukannya.

"Kakak akan melepaskan kami?" seru Magma tiba-tiba. Dia menoleh sekilas ke arah Eril dengan sorot mata yang tajam. "Apa Kakak akan membawa Nawasena kepada Raksa Auriga?"

"Gue tidak punya kewajiban menjawab pertanyaan tersebut." Eril menengadah ke arah langit. Nawasena sedang terbang di atas mereka.

Tatapan pria itu penuh amarah. Eril bisa merasakan aura mengerikan yang tiba-tiba mengancam dan saat ia melirik ke luar selubung. Puluhan mata-mata merah menempel sambil memamerkan gigi-gigi taringnya.

"Liha!" Seseorang berseru sambil menunjuk ke arah selubung. Mereka belum pernah melihat Ahool dengan jumlah yang sebanyak itu.

Makhluk-makhluk ini sedang berusaha menghancurkan pelindung. Sekalipun selubung itu hancur, jumlah Ahool yang ada, belum tentu bisa segera mereka atasi.

Eril pun memejamkan mata dan sengatan berskala tinggi, memanggang semua Ahool yang berkumpul di luar.

"Gue mengerti apa yang terjadi sekarang." Eril tersenyum penuh kemenangan. "Jika Yudha tahu apa yang terjadi. Gue rasa, dia tidak ragu membunuh lo saat itu juga."

Alis Magma bertaut. Tetapi tidak dengan Nawasena. Ia masih menahan amarah yang siap meledak kapan saja. Dia kesal karena tidak bisa menggunakan sihir, sejauh ini yang Nawasena lakukan hanya menebas dan menebas.

"Kalau kakak tahu, sebaiknya jangan ikut campur."

Tawa Eril meledak. "Siapa pun akan ikut campur kalau menyangkut kemaharajaan."

"Oh, ya?" Tantang Magma tidak peduli.

"Oy!" panggil Eril pada Nawasena. "Jika lo ingin bertemu Raksa Auriga, sebaiknya lo pergi ke wilayah kemaharajaan. Hanya itu yang bisa gue sampaikan dan tolong." Eril menelengkan kepala ke arah belakang. "Suruh teman-teman lo untuk pergi."

Mati satu tumbuh seribu. Di serangan pertama Eril, Ahool-ahool yang tidak terluka kembali berkumpul. Tentu saja, menyerang mereka lagi tidak akan selesai. Itu hanya akan membuang-buang waktu. Karena semakin dibasmi, yang mati akan tergantikan oleh yang hidup.

"Nawasena, pergilah ke peron 5/11 di Stasiun Bendungan Hilir. Ada MRT yang akan membawa lo ke—"

Eril menghindar tepat pada waktunya. Sebuah kaditula berwarna keemasan hampir saja menghunusnya dan si pemiliknya. Tidak lain adalah bocil kematian, Magma.

Seluruh pasukan bhayangkara menyergap Magma dari segala sisi. Tangan yang ia gunakan menyerang Eril, telah dicengkram kuat.

"Tidak heran, lo tampak berani menjadi berandalan," cibir Eril.

"Peringatan terakhir," ujar Magma. "Sekali lagi, Kakak beritahu—"

Kalimat Magma terputus. Nawasena melompat turun dari punggung Kafin.

"Cukup, lo bukan siapa-siapa gue." Dia melirik Eril. "Dan lo, gue tidak ada niat melukai manusia. Tapi, jika lo menghalangi—"

Tidak ada yang bisa berbicara sekarang. Pasukan Eril terbagi dua. Kelompok pertama meringkus Magma dan kelompok kedua meringkus Nawasena.

Magma si bocah dibuat bertekuk lutut dengan tali berwarna kemerahan yang mengikat tubuhnya. Percuma saja melawan, benda sederhana itu. Merendam sihirnya.

Nawasena hanya bisa mengayunkan kaditula sebentar, sebelum ia dibuat mencium tanah. Perbedaan jauh bagi seorang kesatria bhayangkara yang telah berlatih bertahun-tahun dengan Tucca yang baru saja belajar pedang.

Perbedaan kekuatan ini, semakin membuat ambisi Nawasena mendidih. Dia tidak ingin menjadi makhluk lemah.

Seperti yang terjadi sebelumnya. Emosi Nawasena akan terhubung dengan Ahool. Terdengar bunyi retakan di atas langit. Penutup mata Nawasena terlepas. Aura keunguan berpencar.

Dengan mengandalkan tangan kosong. Nawasena menghajar semua orang yang menahannya. Lalu, secepat mungkin menghampiri Magma. Dia melayangkan pukulan di bagian tulang pipi dan perut. Hingga bocah itu batuk darah.

Setiap kesatria bhayangkara yang mencoba mendekat, akan terpental sebelum menyentuh Nawasena. Tetapi, ada sebagian yang berhasil mendekati.

Mereka juga menebas Nawasena dari berbagai sisi. Percikan darah di mana-mana dan Nawasena telah menggeram bagai hewan buas. Seseorang memukul tengkuknya dari belakang.

Nawasena pun terpelanting. Giginya berubah runcing. Lalu dia menggaum seperti singa dan dari atas. Muncul ribuan Ahool.

Pasukan Eril pun kehilangan fokus. Si Senopati terpaksa turun tangan. Dia mengayunkan pedang dan dalam kedipan mata. Ia menusuk bilah kaditulanya menembus jantung Nawasena.

"Makhluk liar, memang selalu merepotkan."

"Berisik!"

Mata Eril terbelalak. Lalu dia menjerit oleh tangan Nawasena yang berhasil melukai mata kirinya. Darah pun mencucur dari sana. Didera rasa sakit yang menusuk. Kaditula yang sebelumnya berada di dada Nawasena.

Ditarik oleh Eril secara kasar hingga menciptakan rongga yang begitu besar lalu dia menarik keluar jantung Nawasena dan meramasnya.

_//___/___
Tbc

The Heroes Bhayangkara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang