CHAPTER: 04

33 9 0
                                    

Riuh suara dengung para pengunjung penikmat kopi di kedai kopi dengan nuansa modern. Tak terlalu jelas, tetapi segala macam suara tertuang di dalam ruangan ini, menguar hingga membentuk dengungan layaknya kawanan lebah.

Posisinya masih sama, duduk berdiam diri dengan sesekali memeriksa jam tangan yang harganya tidak selangit melingkar di pergelangan tangan kirinya apik. Sudah empat belas menit menunggu di pojok ruangan yang di mana terdapat kaca besar di sisi kiri yang membatasi antara luar ruangan dan dalam ruangan kedai kopi ini.

Sesekali dirinya bergerak gusar dalam duduknya. Air mukanya yang cemas juga berharap dalam waktu bersamaan terlalu kentara. Netranya kembali melirik pada jam tangan dengan tali kain cokelat miliknya. Sudah tujuh belas menit waktunya terlewat dan terbuang sia-sia.

Jika ditelisik lagi, ia tak pernah mau menunggu sebegitu lamanya hanya untuk bertemu seseorang—tak terkecuali sekalipun itu orang yang spesial. Jika mengingat dulu, saat di mana ia menunggu Jungkook untuk saling bertemu dan membuat ia harus menunggu selama lima menit di dalam kedai kopi saja hampir membuat ia meninggalkan tempat pertemuan mereka jika saja saat itu Jungkook tidak datang lebih cepat.

Ini terjadi karena satu orang. Orang yang benar-benar ia tunggu dengan sejuta harapan yang hadir. Orang yang membuat separuh dirinya berubah.

"Taehyung!" Jihye berucap mengeluarkan aksaranya sedikit dikencangkan agar seruannya terdengar jelas di telinga pihak lawan bicaranya seraya tangan kanannya terangkat melambai.

Ya, Kim Taehyung. Pria yang sudah gadis Park itu tunggu hampir tiga puluh menit lamanya akhirnya menampakkan dirinya dengan balutan celana chino hitam yang dipadukan kemeja hitam lengan panjang dengan kancing bagian atasnya yang terlepas satu.

Bisakah Jihye mengatakan bahwa sosok yang mendekatinya saat ini terlihat begitu sempurna?

"Ah, maaf membuatmu menunggu. Apakah terlalu lama?" Suara bariton itu terdengar menyapa rungu sang gadis seraya mengambil tempat duduk di depan si gadis dengan surai cokelat miliknya yang tergerai.

Suara yang benar-benar dirindukannya selama tiga tahun belakangan ini.

"Tidak, aku juga baru sampai." Jihye tersenyum seraya berucap demikian dan memperbaiki posisi duduknya menjadi lebih baik.

Taehyung terlihat terkekeh dengan mata besarnya yang menyipit. "Kau tak pandai berbohong, Ji. Katakan saja kalau kau sudah menungguku lama, itu terbukti dari gelas kopi yang tak lagi panas milikmu."

"Ah, aku ketahuan." Jihye tersenyum seraya menundukkan kepalanya menatap gelas kopi yang tersisa sedikit itu.

"Lagi pula sejak kapan kau berbohong, Ji? Itu sama sekali bukan gaya mu, kau tahu itu." Taehyung kembali berujar membuat Jihye mengangkat kepalanya menatap perawakan pria yang memiliki porsi tubuh lebih besar dari dirinya itu.

Jihye tersenyum dengan pandangan yang jatuh sesaat kemudian kembali menatap pria Kim yang terlihat sempurna di depannya. "Semua bisa berubah, Tae. Baik diriku ataupun dirimu, semua bisa berubah. Tak ada yang menyadarinya."

Taehyung menatap Jihye seraya alisnya bertaut. "Kau—ah, ini sungguh Jihyeku atau orang lain? Jihyeku yang ku kenal dulu tidak pernah berbicara sepanjang ini untuk pertemuan pertama, apalagi dengan kata-kata bijak begitu. Kau seperti Jihye yang lain jika kau ingin tahu."

Jihye lagi-lagi kembali tersenyum. Pandangannya berubah turun dan begitu juga tak ada lagi suara yang terdengar di meja mereka, sampai akhirnya Taehyung yang memanggil seorang pelayan cafe dan memesan cokelat panas juga menawari Jihye untuk ingin memesan sesuatu. Jihye hafal bahkan terlampau hafal tentang Taehyung yang tidak begitu menyukai kopi berbeda jauh dengan Jihye yang bisa meminum kopi lebih dari tiga kali dalam sehari, beruntung kedai kopi ini tak hanya menyediakan kopi.

Jihye tau bahwa di sini, baik dirinya maupun Taehyung sama-sama dilingkupi rasa canggung mengingat ini pertemuan mereka setelah tiga tahun tak bertemu kendati Taehyung telah berusaha untuk tak terlihat canggung dengan ucapan panjang lebarnya tadi. Terlalu tiba-tiba takdir mempertemukan mereka.

"Kau juga banyak berubah, Tae." Taehyung menoleh menatap Jihye yang kini mengangkat kepala menatap balik manik kelam milik pria Kim di depannya. "Kau sedikit terlihat lebih gagah dengan bahu lebarmu itu. Apa yang membuatmu jadi seperti ini, huh?" Jihye berujar yang diakhiri kekehan ringan yang mengalun lembut menyapa indera pendengaran Taehyung.

Taehyung terdiam dengan raut wajah datar namun hanya sesaat karena didetik selanjutnya ikut tertawa ringan. Pelayan tadi datang seraya menaruh satu cokelat panas, satu kopi moccachino—lagi, dan satu cake wortel. Cangkir kopi kosong Jihye yang pertama pun telah hilang bersamaan dengan perginya pegawai cafe tadi.

Tak ada yang bersuara, semua sibuk dengan kegiatannya. Jihye yang meminum kopi miliknya sesekali dan Taehyung yang meminum cokelat panasnya. Terkadang Taehyung menawarkan cake yang dipesannya kepada Jihye yang selalu di tolak halus. Tapi Jihye terlalu ingat, bahwa Taehyung tak akan pernah berhenti menawarinya sesuatu jika Jihye tak mencobanya barang sedikit. Berakhir Jihye yang mencoba sesendok dengan tangannya sendiri. Tak ada adegan yang di mana saling suap menyuap.

Mereka akhirnya keluar dari dalam cafe ketika Taehyung mendapat panggilan mendadak untuk segera pergi. Jihye tak ambil pusing dan merasa bahwa urusan Taehyung lebih penting daripada urusan mereka. Tiga puluh menit mereka yang hanya diisi oleh keheningan kurang lebih tiga belas menit dan obrolan ringan yang menanyakan kabar masing-masing dan tempat tinggal—tapi tidak dengan tempat tinggal Taehyung—selama sekitar tujuh belas menit.

"Kau tak membawa payung?"

Jihye menoleh ke kiri, menatap wajah pria dengan rahang tegas miliknya yang lebih tinggi dari ukuran tubuhnya. "Tidak, aku melupakannya."

Taehyung terlihat merotasikan matanya dan kembali menatap Jihye seakan mengintimidasi padahal kenyataannya itu sama sekali tidak membantu. "Kau masih sama seperti dulu, pelupa. Ingat, siapa yang selalu mengingatkanmu tentang segalanya dulu? Bagaimana kau hidup dengan segala penyakit amnesia ringanmu saat tidak ada aku, huh?" Taehyung berujar dengan sesekali menaikkan alis tebalnya.

Jihye ingin menjawab pertanyaan Taehyung sebenarnya. Bisakah Jihye menjawab pertanyaan Taehyung dengan jujur?

"Pakailah ini, kau tidak lihat langit sebelum datang kemari, ya? Hujan akan turun sebentar lagi." Taehyung berujar seraya tangan kirinya terangkat mengulur di hadapan Jihye memberikan payung dengan warna hitam.

"Kapan kau membawanya?" Jihye bertanggung dengan heran. Tak menyadari sejak kapan Taehyung membawa benda hitam yang tergulung rapi itu.

"Sejak tadi. Cepat kau ambil, aku tak mau dirimu kehujanan."

Jihye diam dengan tangannya yang terangkat mengambil payung hitam yang Taehyung berikan. "Terima kasih. Kalau begitu aku pergi dulu."

"Kau serius untuk pulang sendiri?" Jihye yang semula ingin melangkah menjauh kini kembali berbalik menghadap Taehyung yang menatapnya seolah— khawatir?

"Ya, aku harus pergi ke arah sana terlebih dahulu. Kau pergilah ke halte, nanti keburu turun hujan."

Taehyung mengangguk. Mereka berjalan dengan arah yang berlawanan. Taehyung kiri sedangkan Jihye kanan.

Bukankah memang selalu seperti itu sejak dulu? Baik Taehyung maupun Jihye, mereka sama-sama berbeda dan selalu berlawanan.

Tepat pada jarak sepuluh meter antara Taehyung dan Jihye, hujan turun tanpa diduga membuat Jihye memutar tubuhnya cepat menatap Taehyung yang terlihat panik. Jihye berlari, menghampiri Taehyung yang kini memunggunginya.

Taehyung menengadahkan kepala menatap atas melihat cekungan hitam ada di atas kepalanya yang melindungi tubuhnya dari hujan. Kepala Taehyung memutar ke kanan, sedikit menundukkan kepala guna melihat wajah mungil dengan rambut cokelatnya yang terlihat tak serapi diawal.

"Aku akan mengantarmu sampai halte lebih dulu."

Kedua sudut bibir Taehyung tertarik ke atas membentuk kurva yang terlihat apik di wajahnya yang rupawan.

"Kau benar-benar banyak berubah, Ji."

[]

Khusus TaeJi.

CHANGEWhere stories live. Discover now