CHAPTER 4

731 53 1
                                    

Mataku masih terfokus pada gerbang yang bergerak sendiri, dan ternyata kakek Janu yang datang.

"Aku pikir siapa." batinku.

Kakek Janu dengan langkah yang pelan dan membawa sekantung kresek seperti hari kemarin, aku yakin dia membawakan sesuatu lagi untukku.

"Kek, mari duduk." aku menyalaminya dengan penuh hormat layaknya kepada seorang ayah.

"Ini, untukmu."

Dan benar saja, isi dari kresek ini berupa uang dengan perhiasan seperti kemarin betapa senangnya diriku.

"Wahh, bisa berkali lipat seperti ini?" aku seperti bangga pada diriku.

"Iya, itu semuanya untukmu." ucapnya pelan.

Namun, sedari tadi kakek Janu tengah sedikit takut sesekali tengok kanan kiri tidak tau sedang mencari apa.

"Kenapa kek?" tanyaku membuyarkan ekspresinya.

"Rumahmu seperti nya sepi, dimana Amar dan pembantumu?" tanyanya.

"Bi Mirah sudah pulang." ucapku pelan.

Alis kakek Janu menyerit, terlihat masih tak paham dengan ucapanku.

"Dia sudah pulang kampung kek, dia bilang tidak nyaman karena mas Hamdi meneror tadi malam." ucapku dengan sedikit perjelas.

Ia mengangguk mengerti, mungkin hal ini sudah biasa terjadi apalagi mas Hamdi meninggal karena kecelakaan sudah sewajarnya seperti itu.

"Amar dimana?"

"Dia masih sekolah, sebentar lagi mungkin pulang." jawabku.

Kami berdua tak ngobrol basa-basi seperti nya kakek Janu mengincar situasi ini.

"Aku takkan banyak bicara, ini buku untukmu." ia mengulurkan sebuah buku dengan cover berwarna coklat tua.

"Ini buku apa kek?" tanyaku sedikit heran.

"Bukankah kamu ingin mempelajari ilmu itu, pelajarilah dan ada beberapa pantangan disana. Kamu bisa membacanya sekarang."

Aku membuka perlahan buku ini dan benar saja, tulisan ala jaman dulu dengan kalimat Jawa khas orang dulu.  Aku membaca kalimat demi kalimat, dan buku ini mudah dimengerti.

"Aku pulang, pelajarilah ilmu itu." kakek Janu bangkit lalu pergi tanpa bersalaman denganku.

**

Hari demi hari, aku terus membaca buku ini  hingga Amar terlihat sangat kesal.

"Buku apa ini Bu?" ia duduk di sebelahku, dengan diriku yang masih sibuk dengan buku ini.

"Kenapa sih Mar, pengin tau aja." ucapku santai.

Ia tampak hendak mengintip apa yang sedang aku baca.

"Jangan ngintip." segera aku menutup buku ini.

"Pelit banget." gerutunya sembari bangkit lalu duduk didepan rumah.

Aku segera masuk kedalam dapur untuk membuat kopi, rasanya aku sedikit ngantuk lalu dibenakku terpikirkan untuk segera pindah dari sini sebelum mas Hamdi terus meneror ku.

"Amar! kamu dimana nak!"

Aku segera keluar keteras untuk memastikan anak semata wayangku. Ternyata ia tengah membaca buku.

"Amar, ibu pengin pindah dari sini." bisikku padanya.

Amar melirik dengan tatapn tak menyukai ucapanku, aku berusaha tenang dan mencoba untuk apa kita perlu pindah.

"Tidak Bu, aku tidak mau pindah sebelum 40 hari kepergian ayah." ucapnya membantah.

Aku menghela napas dengan kasar, dan terus membujuk dia agar menyetujui keputusan ku. Kalau tidak pindah, bisa-bisa mas Hamdi terus meneror seperti tempo hari.

Namun, sikap Amar acuh padaku dan pergi menghindar dariku.

"Amar!" aku menarik paksa tangannya, yang hendak menjauh dariku.

"Kenapa sih Bu! ibu selalu egois dari dulu, pantas saja ayah tidak mau dengan ibu!"

Alisku menyerit, sontak kaget mendengar ucapan Amar.

"Apa yang kamu katakan Amar?" aku masih tertegun mendengarnya.

"Memang kenapa? aku sudah kehilangan Hakim adikku saat masih 1 tahun karena kelalaian ibu, dan sekarang harus kehilangan ayah dan kedua adikku, memangnya ibu tidak sayang mereka?" ucapnya.

"Tuhan lebih sayang mereka Amar!"

"Tuhan? ibu masih percaya Tuhan? atau buku ini?" ternyata Amar tengah memegang buku pemberian kakek Janu tadi.

"Kamu dapat darimana?" sontak aku sangat terkejut.

THE DEVIL OF MOM 2 [ ON GOING ]Where stories live. Discover now