"Benar-benar cocok." Magma memuji. "Tampaknya, kita tidak perlu melihat untuk membeli armor. Ayo, kita pergi melihat senjata lain."

Nawasena mengekor dari belakang. Dia tidak banyak komentar. Perubahan penampilannya, membuat berbagai mata selalu tertuju padanya. Entah mereka benar-benar mengangumi Nawasena atau justru sedang mencibir mengenai penampilannya.

Naik ke lantai dua. Seluruh gerai menawarkan beragam senjata dan area ini jauh lebih banyak di kunjungi pengunjung. Hampir setiap toko memiliki pembeli. Nawasena sendiri, merasa malas. Jika harus berdesak-desakan di dalamnya.

Tetapi, ia tetap mengikuti Magma sebagai pembawa jalan. Mereka pun berhenti di salah satu toko yang penuh dengan pengunjung wanita. Tidak, bahkan dari desain interior serba warna merah jambu itu. Membuat Nawasena punya alasan kuat untuk tidak masuk ke dalamnya.

"Gue tunggu di sini," ujar Nawasena tegas.

"Mengapa? Barang di toko ini bagus-bagus."

Nawasena mencibir. Tatapannya tertuju pada sepasang remaja perempuan yang sedang memegang armor berbentuk bra. Di lain sisi, beberapa di antaranya sedang memakai dan berdiri di depan cermin.

"Gue enggak mau masuk. Ini toko wanita."

"Siapa bilang? Ini juga ada barang untuk pria. Lihat!" Magma menunjuk ke arah lain. Sekelompok pria malah sedang dilayani karyawan perempuan berpakaian ala kucing manis.

"Tidak! Lo masuk aja."

Saat Nawasena berseru. Dia menangkap aroma permen karet yang sangat familiar. Wangi itu mengingatkannya akan wanita misterius di parlemen.

Tanpa sadar, Nawasena berjalan masuk ke dalam gerai. Ia mencari-cari, pengunjung wanita yang tadi berjalan melewatinya.

"Aha! Mau masuk juga akhirnya," sindir Magma dengan tersenyum miring.

Ia sendiri membiarkan Nawasena melihat-lihat. Pemuda itu berjalan dengan mengendus diam-diam. Lalu, langkahnya terhenti di area display sepatu yang penuh oleh pengunjung perempuan.

Nawasena menatap sekitar, berusaha mencari-cari orang yang wajahnya cukup familiar. Namun, karena keberadaanya cukup mencolok di sana. Alhasil, beberapa orang. Diam-diam memotretnya. Lalu mereka memekik, saat ponsel yang sedang dipegang mati dan mengeluarkan bau hangus.

"Ada apa?" Staf toko berlarian sambil membawa tabung pemadam kebakaran. Lalu menyemprot ke arah ponsel yang tergeletak di lantai.

Nawasena memanfaatkan momen tersebut untuk menahan tangan seorang gadis berkuncir kuda. Genggaman Nawasena menguat. Dia sangat yakin, aroma permen karet ini berasal darinya.

"Lo, apa lo masih ingat gue?"

Airin yang terbelalak melihat Nawasena, mencoba melepaskan tangannya. Sayang, kekuatannya tidak lebih kuat untuk melepaskan diri.

"Hey! Lo!" Sarina yang berdiri di dekat Airin pun mendadak mencubit pinggul Nawasena. "Lepasin sahabat gue!"

Refleks, Nawasena melepaskan cengkraman tangannya. Ia sedikit merintih akibat cubitan tersebut. Sekarang, ia semakin kebingungan. Kedua orang ini memiliki aroma parfum yang serupa.

"Lo kenal dia, Ai?" tanya Sarina tanpa memalingkan wajah dari Nawasena.

"Enggak," jawab Airin dengan gelengan kepala.

"Begitu? Ayo pergi."

Sarina pun membawa tangan Airin. Nawasena mencoba mengejar, namun Magma yang berdiri di sampingnya membuat Nawasena menghentikan aksinya.

"Kakak melakukan apa sih? Tebar pesona?" tebak Magma dengan tatapan mengejek.

Nawasena tidak menjawab. Pandangan Nawasena tertuju pada bungkusan yang dijinjing Magma.

"Ayo, Magma sudah mendapatkannya."

Entah apa yang telah dibeli Magma. Nawasena tidak tahu dan tidak ingin tahu. Pikirannya masih tertuju pada Airin dan Sarina. Setidaknya, Nawasena tahu, wanita yang ia pegang tangannya memiliki nama panggilan Ai. Dari keduanya, Nawasena harus menebak siapa yang menolongnya dari parlemen.

Sekembalinya mereka di lantai dasar. Patung Lembuswana yang Nawasena lihat sebelumnya masih berada di tempat yang sama.

Nawasena pun menatap punggung Magma yang mengenakan ransel berwajah Minion Kevin dan Stuart. Lalu, secara perlahan, berjalan menghampiri patung tersebut.

Nawasena tidak bisa menebak. Magma yang sedang mengerjainya atau dia yang sedang berhalusinasi.

Saat berdiri dengan tepat di depan patung tersebut. Nawasena mencoba menyentuh dan ia tersentak oleh lapisan yang rontok bagai retakan semen ke dalam udara.

Perlahan-lahan, sayap berwarna putihnya mengibas udara. Lalu sorot matanya yang biru menatap Nawasena dengan binar cerah.

Akhirnya, rasanya seluruh tubuh gue bisa remuk.

Nawasena mengerjab. Dia bisa mendengar suara seorang pria dari dalam kepalanya.

Gue udah tahu. Lo pasti bisa melihat gue. Lo tahu, gue udah ratusan tahun terkurung di tempat ini masih tanah kosong sampai bangunan yang mereka sebut Senayan Plaza ini di bangun.

Untung saja, selama tersegel. Gue mempelajari bahasa kalian. Jadi, lo ingin apa? Sebagai makhluk terhormat, gue bakal balas budi.

Tubuh Nawasena membeku. Mulutnya terbuka dan menutup tanpa mengeluarkan suara.

Halo? Hello? Are you okay mas bro? Gila. Lo ngerti bahasa gue enggak sih? Atau gue harus pakai bahasa kuno lainnya?

"L- Lo nyata?" tuduh Nawasena.

Ck, mata lo buta? Kan lo yang bebasin gue dari segel. Oh, ya.

Ngomong-ngomong, jangan panggil gue Lembuswana. Gue punya nama, Kafin. Panggil gue Kafin, not Kevin. Just Kafin, okay?

____///___/__/__/___
Tbc

The Heroes Bhayangkara Where stories live. Discover now