06. Pribumi Misterius

Börja om från början
                                    

Sial. Bulukuduk diseluruh tubuh Batari berdiri semua ketika mendengar ada suara lirih sedang bernyanyi dibalik semak-semak sana.

Amit mundur, amit mundur..
(Izin pamit, izin pamit)

Amit ka jalma nu réa..
(Izin pamit ke orang banyak)

Amit mundur, amit mundur..
(Izin pamit, izin pamit)

Da kuring arék ngumbara..
(Karena saya akan merantau)

Sungguh, entah kenapa tiba-tiba Batari tidak bisa menggerakan seluruh anggota tubuhnya. Kedua kakinya bagai dipaku dipermukaan bumi. Sedangkan suara lirih itu kembali terdengar begitu lembut dan nyaring sekali. Sangat mendayu-dayu.

Sedetik kemudian suara itu lenyap, namun bukan berarti Batari bisa merasa tenang. Justru setelah lenyapnya suara itu, diganti dengan munculnya sosok berkebaya gading dari balik semak-semak secara perlahan.

"Mama.." Cicit Batari pelan.

Keringat dingin mulai mengucur dari dahinya. Bahkan sekarang bola mata Batari sulit hanya untuk sekedar melirik. Nyiut sudah nyalinya.

"Nyai, tulungan Ibi"

Kedua bola mata Batari membulat saat mendengar suara lirih dari sosok berkebaya itu. Sosok tersebut masih memunggungi Batari, ketika meminta tolong padanya. Hingga akhirnya sosok itu perlahan memutar tubuhnya, sangat pelan. Membuat Batari bisa melihat cukup jelas sosok itu walau dalam penerangan yang sangat minim.

Sosok perempuan itu rambutnya dicepol tapi berantakan dan terlihat lepek. Dia mengenakan kebaya gading dan jarik. Hanya itu yang bisa Batari lihat, karena bawahnya terhalang oleh semak-semak.

"Nyai, bisa ninggal Ibi ningan. Tulungan Ibi nya?"

Kesadaran Batari yang sempat menguar, kini kembali terkumpul. Ia terkesiap ketika sosok itu mengatakan kalau Batari ternyata bisa melihatnya dan meminta bantuan. Tanpa diduga dan entah bagaimana caranya, sosok itu menghampiri Batari dengan kecepatan yang tak masuk akal.

"Mana anak urannggg?!!!" Teriaknya ketika jarak mereka semakin dekat.

"Hansen!!" Pekik Batari reflek sembari menutup kedua matanya.

"Aaaaaaaaa!!!!"

Hening. Beriringan Batari memanggil nama tetangganya itu, sosok tersebut berteriak kencang dan suasana menjadi sangat sunyi. Jangankan suara mengerikan tadi, bahkan suara serangga malampun kini tak terdengar.

Dengan tubuh kaku dan kepala yang tertunduk, Batari menangis hebat. Ia tak berani membuka matanya. Sosok menyeramkan berwajah pucat dan berlumuran darah tadi masih memenuhi isi tempurung kepalanya.

"Jangan.." Lirih Batari disela-sela tangisannya, ketika ada yang menyentuh pucuk kepalanya.

Sungguh, ia tidak mau berakhir tragis ditangan makhluk tak kasat mata manapun. Batari masih ingin hidup dan berbakti pada ibunya, juga berdamai dengan kakaknya yang menyebalkan.

"Batari, ini saya"

Tangisan Batari terhenti seketika saat mendengar suara yang tak asing menyapa telinganya. Masih dengan mata terpejam, Batari mengangkat kepalanya perlahan.

"H-Hansen? Itu kamu bukan?"

"Iya, ini saya. Buka matamu"

Perlahan Batari membuka matanya, tapi tak lama kemudian tangisannya kembali pecah ketika pemuda tampan di hadapannya tersenyum lembut.

"Hansen.. tadi aku liat setan!!" Adu Batari dengan isak tangis yang menjadi.

"Batari, tidak apa-apa. Sudah tidak ada" Hansen berusaha menenangkan Batari dengan menepuk kepala gadis itu.

Tangisan Batari terhenti untuk kedua kalinya. Batari? Sepertinya ia tidak asing dengan suara itu. Aneh. Batari mendongak, ia menatap wajah Hansen dengan mata yang berkaca-kaca.

"Kamu bisa liat orang yang tadi?" Tanyanya lugu.

Hansen terkekeh pelan. "Jadi, yang tadi itu setan atau orang?" Tanyanya dengan aksen yang begitu khas.

Batari menggeleng. "Engga tau. Soalnya aku baru pertama kali liat begituan. Kayaknya tadi emang bukan orang"

"Sudah, jangan dipikirkan. Semuanya sudah kembali" Tunjuk Hansen pada lampu teras yang ternyata sudah menyala.

Kini Batari baru benar-benar bisa bernafas lega. Ia mengangguk lemah. Kalau Hansen tak menyangganya, mungkin saja tubuhnya limbung ketika hendak berjalan.

"Saya bantu"

Batari kembali mengangguk saat Hansen memapahnya menuju ke teras dan mendudukkan Batari disalah satu kursi. Sedangan pemuda itu berlutut di hadapan tetangga barunya ini.

"Mama dan kakakmu belum pulang?" Tanya Hansen sedikit melongok ke arah pintu.

"Belum, kak Okan ada kegiatan di kampus. Terus Mama bakal pulang agak maleman dari kafe katanya" Jawab Batari masam.

Sekarang giliran Hansen yang mengangguk. Ia tersenyum sembari memandang wajah Batari yang terlihat begitu pucat dan ketakutan.

"Boleh.. saya temani kamu? Sampai mereka pulang?"

"Harus!" Jawab Batari cepat. Ia langsung menepuk kursi di sebelahnya. "Kamu duduk disini, temenin aku ya"

Setelah duduk di sebelah Batari, Hansen berdeham pelan. "Kamu.. senang tidak tinggal disini?"

Batari mengangguk. "Aku suka disini, suasananya tenang. Udaranya juga masih seger. Tapi aku engga suka sama yang tadi. Itu pertama kalinya aku liat setan, padahal sebelumnya engga bisa"

"Tidak apa-apa, anggap saja sebagai ucapan selamat datang untukmu"

Batari berdecak ketika melihat Hansen tertawa pelan. Menyebalkan sekali. Lalu pandangannya memindai setiap rumah yang terjangkau penglihatannya.

"Hampir setiap rumah disini.. kayaknya peninggalan Belanda semua ya?"

Hansen mengikuti arah pandang Batari sambil tersenyum lirih. "Hm. Apa kamu membenci bangsa itu?"

"Kenapa harus benci?"

"Karena.. bangsa dari Papa saya sudah membuat negerimu porak poranda"

Batari menggeleng pelan sembari menarik nafas. "Itu bukan urusan aku, lagian masa itu kan udah lewat. Aku engga berhak menghakimi hal yang sama sekali engga aku alami, betul apa betul?"

Hansen terdiam sesaat lalu mengangguk. Ia tersenyum memandangi wajah Batari yang terlihat masih pucat. "Jadi, kamu tidak keberatan berteman dengan saya?"

Tawa ringan keluar dari mulut Batari. "Kenapa harus keberatan? Justru aku seneng bisa temenan sama kamu. Karena kayaknya disekitaran sini penghuninya orangtua semua, jadi aku bersyukur ketemu kamu heheh"

Hansen tersenyum tipis. "Dank u"

Batari terlihat kagum setelah Hansen berucap begitu. "Waahh, kamu bisa bahasa Belanda?"

"Tentu saja, karena darah negeri itu separuhnya mengalir dalam tubuh saya"

Seakan tersadar sesuatu, Batari meringis malu. "Oh iya ya, heheh. Maaf, aku lupa"

"Kamu.. tertarik dengan bahasa Belanda?" Tanya Hansen dibalas anggukan semangat Batari. "Kalau begitu, besok kita bertemu lagi. Saya akan menceritakan.. banyak hal pada kamu"

Dan untuk kesekian kalinya, Batari mengangguk. Ia terlihat sangat senang mendengarnya, sampai-sampai rasa takut yang sempat dirasanya barusan hilang entah kemana.

Ini semua berkat Hansen.

*****

Nah loh, Batari ketemu sama huntu. Diantara yang baca cerita ini, pernah ketemu sama yang begituan juga engga?

Kasih tau dong, apa yang pernah kalian liat ya. Penasaran.

Ngomong-ngomong, saya juga pernah liat noni Belanda loh di kos temen. :)

*****

reginanurfa
-14032023-

BANDOENG DIKALA MALAM [ON GOING]Där berättelser lever. Upptäck nu