Satria dan Syna

25 0 0
                                    

Suhu di luar tak kurang dari 33 derajat celcius, Jakarta makin hari makin mirip dengan bara api. Satria sepertinya tak mau menghiraukan teriknya sinar matahari menggelogoti kulitnya. Sudah dari siang tadi sepertinya dia menikmati raganya disantap terik dan polusi ibu kota. Ditemani Kyna yang digendongnya dengan tas gitar akustik, Satria dengan gagahnya berjalan dari stasiun menuju kosan temen akrabnya jaman kuliah dulu - Raby.

Gue udah di depan kosan lo, cepetan nongol ya. Demikian pesan whatsapp yang masuk ke iPhone Raby sesaat sebelum Satria benar-benar sampai di depan kosan persis.

Kosan itu cukup mewah untuk kalangan pekerja newbie seperti Satria. Kamar yang bersih dengan furniture kerennya mampu membuat kosan tersebut tak jauh berbeda dengan kamar hotel bintang tiga. Kondisi kamar memang tak seterik cuaca di luar karena memang dilengkapi dengan ac buatan Jepang. Hal tersebut pula yang mungkin membuat Satria betah dan selalu mampir ke kosan itu tatkala ia ada kegiatan atau sekadar main ke daerah Jakpus. Selain kondisi itu, ada satu hal lagi yang membuat satria senang berlama-lama nongkrong di sana yakni adanya tiga orang mbak-mbak yang juga tinggal di kosan itu, hanya beda kamar saja. Ya iyalah beda kamar!

"Ok gue turun sekarang." Demikian Raby membalas pesan dari Satria.

Hanya butuh waktu dua menit saja untuk menuruni anak tangga kosan tersebut, Raby akhirnya melihat sosok sahabatnya itu, biasa saja, tanpa ekspresi, lalu sama-sama senyum tipis tanda penghormatan.

"Dari mana lu bro, kok keringetan banget?"

"Abis dari bengkel gitar Rab, ini mau benerin ini." Satria menjawab sambil menyodorkan benda kesayangannya itu.

"Oh emangnya kenapa?"

"Ada yang retak dan harus dibenerin. Makin lama nanti takutnya malah nambah parah."

"Oalah yaudah yuk naik." Raby mengajaknya ke lantai dua.

Lokasi kosan itu memang strategis, berada di pertigaan jalan meski suasananya tidak seramai pertigaan jalan raya utama.

Setidaknya untuk masalah transportasi, Raby dapat lebih mudah setiap hari menuju kantornya karena tak jauh dari kosan itu terdapat stasiun kereta, halte trans jakarta, juga terminal dan jalan raya. Namun yang mungkin membuat Raby sedikit bosan adalah kurangnya warung makan yang berada di sekitaran kosannya. Maklum saja karena masih bujangan dan tempat tinggal masih mengontrak, untuk urusan makan pun dia harus selalu pergi ke warung.

Raby dan Satria sudah sampai di kamar kosan. Tak banyak yang bisa mereka obrolkan sewaktu berjalan, Raby hanya sibuk bersiul sedangkan Satria sibuk menyeka peluh yang membasahi dahinya. Satu per satu kamar mereka lewati hingga sampai di kamar nomor delapan di lantai dua. Kondisi yang sepi membuat Satria langsung tak segan bertanya.

"Kok sepi banget ini kosan kayak gak ada penghuninya?"

"Biasa lah bro, ini kan weekend, kebanyakan mereka liburan atau malah tidur seharian di kamar." Raby tak memalingkan wajahnya karena berbicara sambil membuka pintu kamarnya yang tak terkunci.

Krek! Pintu terbuka dan langsung terasa udara dingin dari air conditioner menyentuh kulit ari. Mereka berdua masuk.

"Trus si mbak-mbak di samping kamar lu lagi ngapain ya kira-kira? Hahaha." Tawa Satria tetiba menjulur ke sepenuh ruangan, sedikit membuat sebal.

"Ya gak tau lah, emangnya dia pacar gue."

"Siapa tau kan lu tau, kalian kan tetanggaan masa mau diem-dieman. Haha." Lagi-lagi tercipta tawa menyebalkan dari mulut Satria.

"Terserah lu dah. Kalo udah tinggal satu kosan sama cewe gini kudu hati-hati bro jangan terlalu deket, nanti bahaya. Hahaha." Kali ini Mandala yang tertawa lepas.

"Haha bener juga lu."

Keduanya mulai mengobrol santai, cerita ini-itu lah tentang kondisi kantor mereka masing-masing. Memang kedua orang ini lulusan almamater yang sama, juga jurusan yang sama pula. Namun untuk masalah pekerjaan, mereka memilih jalan yang berbeda. Semenjak bekerja mereka sudah jarang bertemu, ini jelas karena mereka sudah punya kegiatan masing-masing yang menyita waktu bahkan untuk akhir pekan sekali pun.

Satria mengeluarkan gitar kesayangannya dari tas yang sedari tadi ia gendong. Sekilas dielusnya halus bagian body gitar, lalu terlintas jelas di bagian depan tertulis Syna, nama kesayangan yang diberikannya pada benda kesayangannya itu.

Sudah tak bisa diragukan lagi kemampuan Satria untuk mengolah Syna. Di lingkungan kampus mereka dulu bahkan nama Satria sudah mentereng bersama dengan nama band nomor satu kampus itu. Satria sering kali menjadi guest star pengisi acara karena seringkali memenangkan berbagai kompetisi musik bersama bandnya.

Yayımlanan bölümlerin sonuna geldiniz.

⏰ Son güncelleme: Jun 21, 2015 ⏰

Yeni bölümlerden haberdar olmak için bu hikayeyi Kütüphanenize ekleyin!

Satria BergitarHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin