≛ 1.

27 4 0
                                    

"Tulip putih

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Tulip putih."

∘₊✧──────✧₊∘

     IRIS hazel menyipit, berjalan pelan seraya menatap sang matahari yang tertutupi awan mendung menyambutnya begitu keluar dari ruang kelas. Entah berapa lama sang pemuda bersurai navy berada di sana menjalani kelas tambahannya.

      Sejenak menghela napas setelah irisnya mengelilingi sebagian tempat tak menemui apa yang dicari. Ke mana perginya Aquisa? Pikirnya seraya mendudukkan diri di bangku halte dengan ponsel yang ia buka.

     Sekali lagi helaan napas dikeluarkan, biasanya si gadis akan duduk di sampingnya yang lalu mengeluarkan sepatah-dua patah yang membuatnya tertawa melupakan sejenak beban pikirannya, pemuda itu sadar bahwa ia tidak akan bertemu dalam beberapa waktu.

     Tapi tak secepat ini.

     Jelas dalam benak, nada tinggi yang dikeluarkan berhasil membuat sang hawa membisu—ia tahu bahwa Aquisa hanya mencoba membantunya, tapi sepertinya emosi saat itu mengendalikannya tanpa celah.

     Bahkan hingga saat ini, seramai apapun suara-suara yang ia dengar, hatinya tetap merasa sunyi dengan rasa bersalah menyelimuti. Tanpa sadar adu argumen terputar kembali dalam benak.

     Akan mudah jika ia masih bisa menemui sang gadis dan meminta maaf seperti halnya drama televisi. Namun waktu memotong usia sang gadis, meninggalkan bunga Tulip putih yang digenggam erat di tempat kejadian.

     Andai saja ia tidak mengikuti rasa tak pedulinya meninggalkan Aquisa hanya karena debat semalam. Andai saja ia menemani Aquisa saat itu. Mungkin tragedi pembunuhan tersebut takkan terjadi.

     Setidaknya tidak untuk gadis yang Angkasa sayangi.

     2 bulan sudah, tapi perasannya tak berubah. Dan kini hujan turun, membuatnya deja'vu dengan kejadian lalu. Lantas menjulurkan tangan menampung rintikan dengan netra hazel menatap langit menahan air mata yang terbendung dalam netra.

     Terlayang sejenak. Begitu ia membalikkan badan, seorang gadis kecil duduk di bangku tengah bersusah patah menahan tangis. Lantas Angkasa bertanya, "Kau menangis?"

     Sang gadis kecil menoleh sejenak, "Tak boleh?" tangan mungilnya menghapus jejak air mata, "Kakak sendiri juga."

     Angkasa tersenyum sendu. Di tengah isakan, si gadis kecil mengeluarkan suara lagi, "Kakak tak bertanya alasanku menangis?"

     "Tidak, karena aku takkan memberi tahu alasanku menangis sekalipun ditanya seribu kali." jawabnya mengalihkan pandangan.

     Pemuda itu beralih mendudukkan diri di sampingnya seraya menyandarkan tubuh, membiarkan tangis gadis kecil tersebut reda. Sama seperti hujan.

     "Aku bertengkar dengan mama,"

     "Iya."

     "Mama kelihatannya sangat marah,"

     "Iya."

     "Aku kabur ... Dan tidak berani pulang. Aku takut jika mama tak ingin bertemu denganku lagi ... kurasa mama juga membenciku,"

     "...."

     "Walau begitu, aku ingin meminta maaf padanya. Tapi rasa takutku bahkan lebih besar dari keberanianku." gadis kecil itu menenggelamkan kepalanya di kedua lutut yang ia peluk.

     Angkasa termenung. Persis seperti dirinya dan sang hawa, sedikit paham alasan suasana malam itu. "Kau tahu alasannya marah padamu?"

     Sang gadis kecil menoleh menggeleng, "Tidak,"

     "Kalau begitu pulanglah, dengan begitu kau bisa mengetahui alasannya," Angkasa tersenyum memejamkan mata, "Seorang ibu yang benar-benar cinta pada anaknya tidak akan pernah membenci anak yang ia besarkan dengan kasih sayang."

     Si empu terdiam mengalihkan pandangan, "Ia pasti mencemaskan mu, bukan memarahimu." lanjutnya.

     Hujan mulai reda bersamaan dengan sebuah bus yang hendak berhenti. Sontak Angkasa membangunkan tubuhnya, "Aku akan segera pulang, bagaimana dengan—"

     Bus berhenti di hadapannya, tepat ketika Angkasa menyadari bahwa sosok gadis kecil itu menghilang. Tak banyak berpikir, ia mengacuhkan dan menaiki bus tersebut.

     Setelah mendudukkan diri, ponsel hitam dikeluarkan memutar sebuah lagu, lantas menghela napas memandang keluar jendela ketika lagu terputar. Membayangkan jika dirinya tengah mendengarkan lagu tersebut dengan si hawa yang bersenandung.

     Sepertinya ia akan membeli bunga dan mampir ke makam Aquisa sebentar. Kendati hatinya menolak bersedih lagi pasal si hawa.

∘₊✧──────✧₊∘

     Sang puan dengan surai violet panjang terduduk memeluk lututnya. Menghiraukan dinginnya setiap rintik hujan yang turun. Isakannya tertahan tetapi tidak dengan liquid bening yang membasahi pipinya.

     Rasa bersalah dan hampa menghantuinya, dadanya terasa dingin. Bahkan sang mentari setelah hujan tak menghangatkan hati maupun tubuhnya. Pikirannya berantakan, tak tahu harus di mulai dari mana.

     Netra lavender mengalihkan pandangan. Tepat bertemu dengan netra hazel yang menatapnya intens, namun tersadar bahwa yang ditatap sang pemuda adalah batu nisan bertuliskan "Aquisa Sandyakala" tersebut.

     "Aku kembali, Aquisa." senyum diulas seraya menjongkokkan diri menaruh bunga Tulip putih.

     Sang netra lavender menyipit menjatuhkan air mata dengan jantungnya berdetak tak karuan, "...dan aku di sini," ia berbisik, kendati tahu bahwa suaranya takkan terdengar, "Jangan bicara seakan aku tidak ada. Aku di sini, Angkasa! Maafkan aku—"

     "Aku tahu," Angkasa memotong, seakan mengerti bahwa sang hawa tengah berbicara dengannya.

     Senyum kembali diulas oleh sang pemuda, "Soal lalu, itu bukan salahmu. Aku yang salah, aku tidak bisa mengontrol emosiku. Semua itu murni salahku, jadi—"

     Napas ditarik dalam-dalam, berniat meredupkan nada suara. "—jangan merasa dirimu adalah sumber masalah. Kau tidak pernah sekalipun menjadi masalah, bagiku."

     Tangannya terangkat mengelus lembut batu nisan tersebut. "Terimakasih sudah hadir dalam kisahku. Kau adalah halaman terbaik dalam kisah ini."

     Perlahan, senyum sang gadis terulas. Lantas mendekatkan diri balik mengelus lembut surai navy khas pemuda tersebut. Membisikkan lembut tepat pada telinga sang pemuda, "Terimakasih."

     Angkasa sedikit tersentak. Mengangkat tangan yang tadinya mengelus batu nisan, netranya menoleh kanan-kiri. Sepertinya aku mendengar suara?

.

——  fin.

Tulip putih : permintaan maaf.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 12, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

✰ Hyacinth ┊OC × OCWhere stories live. Discover now