Pria bertopeng malah tertawa mendengar tuduhan Magma dan itu menjelaskan. Bagaimana Ahool yang tiap malam dibunuh, tidak pernah ada habisnya. Tubuh Magma pun mengambang ke udara. Dia tercekat pada sesuatu yang mencekik lehernya.

Nawasena sudah tidak lagi bergerak. Magma kehilangan harapan bahwa pria itu tewas begitu mudah. Malang, bocah itu kehilangan cara bernapas yang benar. Setelah kehilangan kemampuan mempertahankan diri. Magma pun dilempar ke atas aspal dengan bunyi yang berdentum keras.

Perlahan-lahan, genangan darah mulai membanjiri aspal. Kelopak mata Magma tertutup dan wajahnya pucat kebiruan. Nawasena yang masih sadar, menyaksikan hal tersebut dengan tatapan tidak percaya.

Dia terluka dan merasa sangat kecewa. Dia lemah karena tidak bisa melindungi orang-orang yang telah ia anggap sebagai teman. Emosi tersebut, menjadi pemicu sesuatu yang terpendam dalam diri Nawasena.

Penutup mata kirinya mendadak terlepas dan menampilkan netra yang bercahaya kemerahan. Bersamaan dengan itu, energi hitam dan ungu perlahan-lahan membungkus tubuh Nawasena. Luka-luka dan tulang-tulang yang patah. Mendadak disembuhkan dengan cepat.

"Sialan!" maki Nawasena yang berusaha berdiri. Kaditulanya memancarkan percikan listrik statis berwarna keunguan.

Kehadiran Nawasena yang masih hidup setelah dipukul babak belur, membuat mata dibalik topeng monyet terbelalak. Di tambah, ia semakin terkejut oleh warna mata kiri Nawasena dan aura yang mengelilinginya.

"Tucca?" ucapnya tak percaya. "Bagaimana bisa?"

Nawasena hanya menarik ujung bibirnya dan bergerak ke depan bersama embusan angin.

Trang

Bunyi dua bilah Kaditula berbentuk pedang saling membentur. Nawasena menekan energinya demi mendesak lawan ke belakang.

"Menyebalkan!" Sosok itu mengumpat. "Lo pikir, lo ini hebat? Lo itu hanya Tucca!"

Penghinaan tersebut, justru membakar ambisi dan tekad Nawasena untuk menjadi lebih kuat. Ia sengaja mundur ke belakang, lalu melompat ke atas dengan mata pedang yang siap menembus kepala musuh.

Akan tetapi, musuhnya punya pergerakan lebih cepat untuk menghindar. Kesal, Nawasena terus bergerak dan memberikan serangan tanpa jeda. Sorot matanya begitu dingin.

Lebih cepat, Nawasena membatin. Dia sangat ingin mengimbangi lawannya. Perasaan putus asa dan rasa kesal bercampur menjadi satu. Dia tidak sanggup melirik Magma yang terkapar. Pikiran buruk berusaha Nawasena tepis.

"Sialan!" Pria bertopeng mengumpat dan mundur sejauh mungkin dari Nawasena. Dia menatap Nawasena penuh selidik. Rasanya mustahil, seorang Tucca masih tetap hidup dan hal paling menyebalkan. Tucaa tersebut ingin membunuhnya.
"Siapa lo sebenarnya?"

"Sebentar lagi, lo akan mati. Untuk apa lo bertanya?"

Nawasena kembali maju dan menyerang. Dia sekarang mengarahkan Kaditula untuk melukai leher lawan. Begitu Kaditula Nawasena ditangkis, sebuah pukulan berhasil menghantam dagu si pemakai topeng monyet dari arah bawah.

Nawasena masih kurang puas menggeser rahang seseorang. Dia kembali bergerak, memaksa kejutan listrik yang mengalir dalam peredaran darah. Sekonyong-konyong. Ia melihat sesuatu dari mata kirinya. Darah terciprat ke wajah Nawasena saat ia berhasil memotong urat di pergelangan kaki si musuh. Bilah hitamnya pun segera menyerap darah tersebut.

Ada sensasi dingin yang Nawasena rasakan. Bilahnya terasa semakin ringan dan nafsu untuk membunuh lawan semakin membara di dalam dada.

Tidak mempedulikan erangan dari pria yang sedang merutuknya. Nawasena kembali mengincar pergelangan kakinya yang lain. Akan tetapi, gerakan itu mudah terbaca. Kaditula Nawasena ditepis dan hal yang mengejutkan justru datang dari sayatan yang sebelumnya. Dia menendang tungkai yang terluka dan mengarahkan kepalanya sendiri untuk menyeruduk si pria bertopeng. Pintu prasmanan di belakang mereka pun hancur berkeping-keping.

Nawasena yang tersungkur, berusaha mengangkat wajah. Warung itu kosong tanpa ada meja dan kursi. Hanya ruangan kosong dengan sebuah lemari kayu tua di pojok.

Dengan gerakan merangkak. Nawasena berusaha berdiri sekuat mungkin. Lawannya pun melakukan hal yang sama. Tidak peduli, bahwa kakinya sudah tidak dapat digerakkan.

"Gue enggak tahu, bagaimana kalian menemukan tempat ini." Pria ini mengatakannya dengan napas tersenggal-senggal. "Tapi, gue pastikan. Tidak ada yang keluar hidup-hidup. Gue, David Bintar. Akan menunjukkan betapa jauhnya level perbedaan kita."

Cahaya kemerahan mendadak muncul dari dasar lantai dan tumbuh menyelimuti David. Nawasena sama sekali tidak terkesan. Ia juga turut meniru cara David. Dipanggilnya sebuah kekuatan dalam dirinya sendiri.

Kekuatan tersebut berwarna keunguan terang. Hal yang sama juga terjadi. Tubuh Nawasena pun di selimuti cahaya tersebut. Namun, sesuatu yang berbeda terlihat dari pelupuk mata kiri Nawasena.

Tatapannya seolah membesar di beberapa titik tubuh David. Saat pria tersebut bergerak dengan pedang terayun. Nawasena bisa menebak ke arah mana ujung mata pisau itu terarah.

Prang

Nawasena mengangkat Kaditula ke arah atas. Lalu dia dengan sengaja menendang kaki kiri David yang terluka. Erangan kesakitan pun terdengar nyaring. Tulang kering David patah dalam satu kali hentakkan.

Tidak cukup sampai di sana. Nawasena mundur selangkah ke belakang. Lalu menggunakan kaki kirinya sebagai pijakan dan melompat untuk menyerang David dari atas.

Walau Nawasena mendapatkan dorongan kekuatan. Dia masih belum bisa mengimbangi ketangkasan David. Pemuda bertopeng itu lantas melemparkan sebuah serbuk berwarna kehijauan ke udara. Saat Nawasena sibuk menghindar. David menggunakan kesempatan itu untuk menusuk dada Nawasena dan ...

Prang!

Kaditula di genggaman David terlepas. Pergelangan tangannya digigit oleh gigi Nawasena yang mendadak runcing dan tajam. Ia terus menggerogoti daging dan otot tangan David begitu brutal. Nawasena tidak peduli oleh erangan dan pukulan bertubi-tubi yang datang menimpa kepalanya tanpa ampun.

Puas mengigit, Nawasena memanggil kembali Kaditula dari dalam udara. Kemudian menebas pergelangan tangan David dalam seperkian detik dan lanjut menusuk dada David dengan cepat.

Melihat musuhnya sudah tidak berdaya. Nawasena beranjak untuk membuka topeng monyet dari wajah tersebut. Namun, asap hitam tiba-tiba datang bersama angin yang berembus kencang. Saat semuanya reda, Nawasena hanya seorang diri di sana.

__///___/___//__//__
Tbc

The Heroes Bhayangkara Where stories live. Discover now