I. hari itoe, di tahoen 1995

31 4 3
                                    

Jakarta tahun 1995.

Lelaki dengan rambut agak panjang itu namanya—

"Siapa nama kamu?" Tanya salah seorang guru yang berjaga. Menatap dengan tatapan mencemooh dengan kentara. Terlebih di belakang pemuda tersebut terdapat enam lelaki lain, yang berpenampilan sama urakannya. "Haduh, kelas berapa kalian?"

"Kelas 3 IPS 3, Pak." Sebut si lelaki paling depan.

"Nama?"

"Juang, pake ejaan lama. D-J-O-E-A-N-G, Mahameru, Juang Mahameru, 3 IPS 3."

—namanya Djoeang.

Siapa yang nggak kenal Djoeang Mahameru, si pentolan kelas yang sering ikut tawuran. Itu sih rumor yang Djoeang—Juang dengar dari mulut ke mulut. Si pentolan kelas yang kalau makan di kantin, beli 5 bayar 1. Si pentolan kelas yang pernah lempar penghapus papan ke Pak Mamat, si guru matematika yang kayaknya si punya dendam sama Juang.

Gimana nggak, kalau alasan Juang waktu dipanggil kepala sekolah perihal lempar penghapus papan ke guru malah dijawab, "Salah Pak Mamat sendiri, Pak. Orang Pak Mamat duluan yang lempar ke saya, tapi saya ngelak. Pas disuruh kembaliin ya saya lempar balik dong. Siapa suruh gak ngelak?"

Si pentolan kelas yang sering ikut tawuran di bawah flyover Kampung Melayu. Si pentolan kelas yang mukanya ada tiap bulan di mading depan. Tapi, kayaknya Juang juga nggak senakal itu.

"Udah berapa kali kamu telat, Juang? Itu juga anak buah kamu," Pak Sudirman merhatiin 6 pemuda lain di belakang Juang dengan mata melotot. "Kalian kenapa ikut-ikutan telat?!"

"Macet, Pak." Jawab salah satu pemuda yang paling kecil.

"Macet, macet! Rumah kamu aja di belakang sekolah!"

"Macet pas mau mandi, Pak. Antri kali, kan keluarga saya mah banyak." Rojali menyahut sambil cekikikan, seolah nggak takut abis dipelototin Pak Sudirman.

Guru yang nyaris mendekati masa pensiunan itu menghela, sudah lelah menghadapi kelakuan sejawat Juang. Bukan satu-satunya juga geng sok jago yang suka ikut tawuran, ini hanya salah satu komplotan siswa kelas 3 IPS 3, masih ada kelas 3 IPS 1 sampai 6. Itu pikir Pak Sudirman, yang nggak mau membuang waktu hanya untuk tarik urat sama sekomplotan remaja puber tersebut.

"Pungutin sampah sampai 100."

"Loh, Pak? Nggak lari aja?" Suara Najeilani keluar, si paling diam itu protes karena biasa mereka cuman dapat hukuman lari 3 putaran. Walau dirinya malas harus berkeringat pagi-pagi, tapi lumayan membuang waktu dengan dalih capek habis kena hukuman untuk mangkir ke kantin.

"Nggak! Cepat sana!"

Tujuh pemuda baru puber itu menggerutu tak senang. Kalau nyari sampah pasti nggak bisa berdalih capek buat mangkir di kantin. Namun, memang mereka bisa protes? Nggak. Bohong kalau rumor yang mengatakan mereka adalah sejawat suka nyari gara-gara, biang kerok sekolah, atau si tukang tawuran di Manggarai, dan hal-hal buruk lainnya.

Buktinya, tanpa disuruh dua kali ketujuh pemuda ini sudah mangkir duluan ke pinggir lapangan sambil sok-sok pungut sampah.

"Kantin nggak?" Najeilani—Naje bertanya, mengusulkan. Kakinya menendang-nendang angin lalu pada ujung sepatu tanpa alasan.

Lagipula, memang siapa yang mau mungut sampah sambil dihitung sampai seratus?

"Ayo," Juang berjalan memimpin, "Pas banget gue belum sarapan, gara-gara nunggu si Juned mandi."

"Kok gue, gila?!"

Juang diam saja tidak menjawab kicauan tak suka dari temannya itu. Mereka adalah teman, yang kalau kata Hendra, "Ini takdir, Bung!". Padahal Juang juga ingin berteman dengan anak-anak lain, geng yang isinya siswa ekskul basket, futsal, atau geng berisi siswa unggulan yang pintar.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 15, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

djoeang, 1998Where stories live. Discover now