"Henna."

"Halo, Kak Henna! Saya Tenica." Tenica menjabat tangan itu lalu melirik lelaki yang sedang menahan emosi. "Kalau kakaknya?"

Lelaki itu mengembuskan napas. "Nuca!"

"Hai, Kak Nuca," jawab Tenica lalu berbalik dan tersadar belum ada kursi. Dia segera menatap dua orang di depannya dengan senyum tertahan. "Mohon maaf, kami sedang persiapan. Ingin berbicara di kafe depan?"

Henna melirik Nuca yang tampak keberatan. "Nggak apa-apa, ngobrol di sini aja."

"Oke! Kalian ingin melangsungkan pertunangan?" tanya Tenica canggung. Rasanya aneh menjamu tamu tanpa persiapan.

"Ya. Gue mau paket lengkap," ujar Henna sambil melirik manekin dengan dress putih. "Kalau dilihat, ini WO belum terkenal."

Wajah Tenica sontak memerah. "Memang, tapi kami juga tidak kalah dengan WO lain," jelasnya. "Saya bisa tunjukkan klien yang pernah kami tangani." Dia berbalik hendak mengambil foto di kardus, tapi dia merasa itu tidak etis. Perlahan dia berbalik menghadap dua orang yang menatapnya heran.

Henna menahan tawa melihat wanita dengan celana kain berwarna biru dan kemeja berwarna senada itu. "Pokoknya gue mau yang paket lengkap," ujarnya. "Gue juga nggak mau ribet urusan pakaian sama make up, lo yang atur semuanya."

"Tentu bisa, Kak!" jawab Tenica sambil mendekati gaun pengantin. "Kami sedang bekerja sama dengan butik Glam. Ini salah satu gaun pengantin rancangan mereka."

"Saya maunya Best Bride." Henna menjawab cepat.

Bibir Tenica terbuka. Pasalnya, butik itu terkenal mahal dan hanya orang-orang tertentu yang bisa memesan di sana. Namun, bukan Tenica namanya jika menyerah begitu saja. "Tentu, Kak. Tapi, jelas ada tambahan fee-nya. Karena nggak mudah."

"Nggak masalah." Kali ini Nuca yang menjawab. "Tolong penuhi semua permintaan calon tunangan gue."

"Baik." Tenica kembali ke hadapan dua orang itu. Dia mengambil tablet di tas yang menggantung dan mencatatnya. "Untuk MUA-nya dari kami juga?"

"Sama maunya Basro."

"Ha?" Lagi-lagi Tenica dibuat terkejut. Ayolah, Basro terkenal MUA yang menangani para artis dan istri penjabat. Tidak mudah untuk bekerja sama dengan lelaki itu, bahkan harus booking tiga bulan sebelumnya. Jika dadakan tentu ada harga tambahan, hampir dua kali lipat.

"Nggak bisa?" tanya Nuca melihat Tenica yang belum juga bersuara.

Tenica mengerjab. "Boleh tahu dulu untuk tanggal berapa?" Dia hampir lupa dengan pertanyaan itu. Padahal, selalu menanyakan hal itu saat pertama kali klien datang.

"Sebulan lagi," ujar Henna.

"Ha?" Tenica tidak bisa menahan keterkejutannya. Dia menutup mulut dan segera mengubah ekspresinya. "Mohon maaf, Kak. Kalau Basro sepertinya agak susah."

"Kalau gitu nggak jadi tunangan," jawab Henna enteng.

"Jangan gitu, dong!" Nuca segera menarik tangan Henna. Dia menatap Tenica dan memberi kode lewat mata. Sayangnya, wanita itu menggeleng pelan. "Kita bisa cari WO yang lain kalau mereka nggak bisa."

Henna menyentak tangan Nuca. "Gue maunya di sini."

Ada rasa lega yang menyelinap di hati Tenica, karena tentu dia mendapat klien baru. Namun, juga ada rasa khawatir karena klien banyak mau. Dia menggaruk kepala sambil menatap dua orang yang kembali bersitegang. "Ya udah, silakan kalian bicarakan dulu," putusnya seraya mengambil kartu nama. "Nanti bisa hubungi saya untuk kepastiannya."

Nuca merebut kartu nama itu dan pergi.

"Gue tetep mau WO dari lo," ujar Henna lantas menjauh.

Tenica mundur selangkah hingga pinggulnya menabrak meja. Dia menyentuh dada, mendadak oksigen terenggut paksa. Baru hari pertama membuka stand di mal sudah kacau. Kedatangan klien di saat stand-nya masih acak-acakan, ditambah kliennya meminta yang aneh-aneh.

All in AllOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz