🍁VII : Wah, Tugas Bonus Bernilai Tinggi!🍁

Start from the beginning
                                    

Seorang pengawal putih yang sejak tadi mengawal sang putri berbisik sesuatu padanya dan mereka bicara pelan-pelan. Yang membuatku menatapnya lamat-lamat sejak tadi adalah kulitnya yang lebih gelap dariku. Aku baru kali ini melihat ras manusia seperti itu.

Kami pun menghampiri ruang kaca yang kosong dari orang, masuk begitu pintunya bergeser ke samping secara otomatis. Kami mengisi enam dari delapan bangku yang ada di dalam, mengitari meja bundar yang cukup lebar. Pengawal laki-laki Putri duduk di sisi kanan pintu masuk, disusul Amara, Rina, Siren, aku, lalu Maza.

Teman yang Siren bawa menaruh koper tipis di tengah meja dengan sopan. "Sebelum kita mulai saling berbagi informasi, saya dan rekan saya akan memperkenalkan diri lebih dulu. Saya H-18.9.19.1, pegawai administrasi di pusat informasi planet K-c34—"

"Hei, sudah kubilang kalau di sini pakai nama yang lebih mudah untuk dijabarkan," sela Siren.

Si pegawai administrasi merapatkan bibir sembari menatap kesal ke Siren, lalu dia bilang, "Kalau begitu, H-18—"

Siren kembali memotong. "Ganti lagi."

"Kau ... dua kali menyelaku ...," ucapnya pelan dengan penekanan di setiap katanya. "Tidak bisa dimaafkan."

Aku mendadak merasa khawatir.

"Rina, ya?" lontar Amara. "Jika angka di nama Anda saya sesuaikan dengan huruf yang saya tau, nama Anda disebut 'Rina'."

Perempuan itu tampak tidak keberatan. "Rina terdengar tidak buruk. Baiklah, silakan panggil saya demikian."

Pengawal laki-laki yang duduk di sebelah kirinya menarik kain penutup mulut ke bawah, lalu mulai bicara. "Saya Kai, Letnan satu prajurit putih Iredale. Salam kenal dan mohon kerja samanya."

"Seperti yang sudah kalian tau, saya Putri dari petinggi ras Api. Kalian boleh memanggilku Amara."

"Mana mungkin kami berani, 'Putri' Amara. Formalitas adalah hal yang dijunjung tinggi juga di tempat kami," ujar Rina.

"Aku Uta," ujarku. "Aku peserta 'Prakerin' di bawah bimbingan Siren."

Lalu, mereka semua menatap padaku.

Aku mengerjap cepat. "Apa ... aku salah berkata barusan?" gumamku ke Maza.

Maza bilang, "salah keadaan lebih tepatnya, Uta."

Aku langsung menutup mulut. Astaga.

Kudengar Siren tertawa kecil. "Kamu kelihatannya suka sekali dengan nama itu. Apa robot partnermu juga punya nama?"

Kuanggukkan kepala, masih merasa takut untuk bicara, tapi sepertinya aku tidak salah untuk bicara kali ini. "Namanya Maza."

"Maza?" Rina membulatkan mata. "Sempurna."

"Setuju. Kamu satu-satunya robot yang punya nama, loh, Maza," lontar Siren.

Maza agak menunduk sebentar ke Siren dan Rina dengan senyum terpasang. "Saya jadi merasa sangat beruntung."

Sebuah nampan kayu yang melayang stabil masuk ke dalam kubah kaca kami. Pengawal Amara yang laki-laki meraihnya, lalu menaruhnya di tengah meja. "Silakan pesan sesuka hati. Putri Amara yang akan membayarnya."

"Tidak perlu merasa segan," tambah Amara.

Aku mengerjap. Di tengah nampan ada layar yang menunjukkan cairan berwarna beragam dalam wadah mirip gelas batok. Cairan itu ada yang ditambah buah dan daun, ada yang terlihat berbusa—sepertinya air sabun—. Makanannya juga sama beragamnya. Gambar-gambar itu tersusun dari atas ke bawah.

Siren meraihnya lebih dulu. "Kalau begitu, aku akan pesan banyak."

"Tolong sadar diri," lontar Rina, menunggu giliran. "Sikap kita akan mencerminkan planet kita. Jadi, jangan buat malu."

Forestesia | Pribumi dan Penjajah [✓]Where stories live. Discover now