Berlogika atau tidak waras?

Start from the beginning
                                    

"Nggak nggaak, aku harus jauhin dia. Masak iya, aku deket sama bos sendiri. Bisa-bisa canggung banget, Ya Tuhan." Nara terus mengoceh, ia tidak bisa berpikir dengan logis. Kenapa bisa sangat kebetulan.

Dan saat Aylar sampai di parkiran, ternyata perempuan itu sudah pergi. Ia hanya melihat Nara dari belakang mengendarai motornya dengan sangat kencang. Tapi laki-laki itu sempat melihat plat nomor polisinya.

"Dasar," Aylar mendengus kesal. Baru kali ini dia diperlakukan tidak jelas oleh perempuan, dan baru kali ini juga dia yang mengejarnya.

"Siapa, Pak?" Tanya drivernya.

"Orang." Jawab Aylar sembari berjalan menuju mobilnya, moodnya jadi berubah seketika. Dia merasa sedang ditolak mentah-mentah. "Kurang ajar."

"Saya sepertinya pernah liat perempuan tadi, Pak." Ucapnya setelah berusaha mengingat, tapi ia tidak yakin karena ingatannya hanya sekilas dan tidak tau pernah bertemu dimana.

"Iya, tadi kan? Sudah Pak, pulang sekarang." Aylar tidak menggubris perkataan drivernya tadi. "W **23 LU, cari pemilik motor itu." Perintahnya lagi, dibalik badmoodnya itu, ternyata Aylar masih saja berusaha menemui perempuan itu.

Dia sekarang beralih ke ponselnya, membuka aplikasi dating online, dan mencari chat dengan Nara. Tapi alhasil, ternyata dirinya di blokir oleh perempuan itu. Heiiii, secepat itu? Apa salahnya? Apa memperkenalkan diri saja membuatnya ilfeel? Atau cara memperkenalkam dirinya terlalu berlebihan?

"Oh sh*t." Aylar mengumpat, sembari membanting ponselnya ke bangku.

***

"Haaa berhasiiiil," Nara sangat bergembira saat dia bisa memblokir Aylar dari daftar temannya. Dia menyempatkan diri untuk melipir ke bahu jalan hanya untuk melakukan itu. Dia harus melakukannya sebelum laki-laki itu sadar.

Nara pun kembali melanjutkan perjalanannya, namun pikirannya tiba-tiba mengusik ketenangan dirinya bersepeda.

"Iya ya, gimanapun juga kita sudah sekantor. Lambat laun pasti kita bakal ketemu..." Nara kembali frustasi.

"Aku harus pindah dari perusahaan itu," Meski berat, karena perusahaan itu cukup terbaik didaerahnya. Dan, Nara tidak bisa langsung mengundurkan diri, ia harus mencari batu loncatan dulu. "Kamu harus bertahan bentar, Nara." Ucapnya sendiri, menyemangati dirinya sendiri.

***

"Nara, udah makan?" Tanya kakaknya dari luar kamar.

"Belum, Mbak. Habis ini, bentar." Jawabnya sembari membereskan sajadah dan mukenah nya. Ia baru saja selesai sholat maghrib.

Nara pun keluar dan melihat kakaknya masih didepan pintu. "Kenapa, Mbak?" Tanyanya.

"Capek ya? Yaudah, aku bilang kamu capek aja." Ucapnya sembari melangkah.

"Loh heh loh, siapa Mbak? Aku nggak capek kok." Jawab Nara ingin tau siapa yang datang sampai membuat kakaknya terlihat bimbang.

"Ada Akara diluar." Jawab kakaknya yang bernama Dilara Zehra Aiman, dan dipanggil Lara.

"Akara?" Tanya Nara memastikan. "Seumur-umur kalo bukan aku yang ngajak, dia nggak bakal mau kesini. Ngapain dia, bilang aja aku capek, Mbak." Ucapnya yang pada akhirnya setuju dengan kakaknya tersebut.

"Iya, Mbak juga mau ngomong kayak gitu. Tapi ada baiknya kamu temuin deh, nggak enak. Nanti malah kamu kena marah sama ibuk." Ucap kakaknya yang lebih bijak, dia bisa memperkirakan apa yang terjadi nanti jika adiknya tidak menemui laki-laki itu.

"Isssh.. iya juga." Ucap Nara sembari melangkah kearah ruang tamu, disana sudah ada Akara dan ibunya Nara. Mereka mengobrol baik, karena Nara belum cerita ke ibunya kalau hubungannya dengan Akara sudah berakhir.

"Nah ini anaknya, yaudah ibuk tinggal dulu ya. Diminum kopi susunya." Wanita itu pamit pergi, untuk memberi ruang Nara dan Akara mengobrol.

"Ada apa, Mas?" Tanya Nara masih memanggil laki-laki itu dengan sebutan mas, meski umur mereka sebenarnya tidak jauh berbeda.

"Sebelumnya aku mau tanya, apa ibuk belum tau tentang kita?" Tanya Akara memastikan lagi, karena sejak tadi ibunya Nara bersikap manis seperti biasanya, bahkan mengatakan kangen sebab sudah lama tidak pernah main ke rumah. Padahal selama itu Nara dan Akara sudah break.

"Belum, belum ada waktu yang tepat. Aku sudah banyak menyusahkannya, aku nggak mau memberi kabar buruk lagi, sampai nanti aku bener-bener bawa laki-laki lain ke rumah." Jawab Nara keras kepala dan bebal. "Mas kesini ada apa?"

"Maaf, Ra.. Tapi aku nggak suka sama pemikiran kamu ini. Itu artinya kita nggak jalan masing-masing, kamu masih melibatkan aku didepan ibuk." Ucap Akara.

"Kalo gitu gapapa, Mas. Mumpung kamu ada disini, kita ngomong sama ibuk. Setidaknya ibuk akan lebih tenang kalo kamu yang jelasin." Ucap balik Nara. Dia sudah muak dengan ini semua. Nara beranjak untuk memanggil ibunya, namun ditahan oleh laki-laki itu.

"Jangan ngelakuin itu, Ra.." Akara menuntun perempuan itu untuk kembali duduk. "Kamu sendiri yang bilang nggak mau terjadi apa-apa sama ibuk kan.. Jadi, udah kita jalanin ini semua, aku tau ini nggak mudah buat kita. Tapi demi ibuk kan?" Akara memberikan pengertian pada Nara.

Perempuan itu meringis, "Apa maksudmu, Mas? Maksudmu kita kembali lagi? Ha?" Nara lagi-lagi tertawa. "Aku nggak akan lupa kejadian itu." Ucapnya mengingat Hulya; yang dulu adalah mantan kekasihnya Akara bersikap sangat manis pada laki-laki itu, dan bahkan sangat akrab lagi.

"Kamu salah paham waktu itu, tujuanku kesini aku mau mengakhiri masa break kita, ayo kita jalani kembali bersama. Demi ibuk." Ucap Akara meyakinkan perempuan itu untuk mempercayainya.

Nara terdiam, selama 3 tahun bersama, ia tahu bagaimana sikap dan karakter Akara. Dan kali ini ia melihat keseriusan dimata laki-laki itu. Membuat pertahanannya yang baru saja ia bangun sudah roboh begitu saja.

Sedangkan saat mengatakan itu, sebuah kertas yang ada digenggaman Akara, berusaha ia remas hingga tak berbentuk sedikitpun. Berharap Nara tidak melihatnya dan mau menerimanya kembali.

Jika kamu mengatakan itu cinta, maka kamu harus memilih tetap berlogika atau tidak waras.

***

Finally, akhirnya aku bisa nulis didunia orange ini. Sedikit reader gapapa lah ya, asal si Nara ketemu sama Aylar. Semoga mereka jadi pasangan fenomenal, menggelora, membahana, aduhai syalalalala.

Regards,

Umi Masrifah

SEPHILEWhere stories live. Discover now