"Ya... nggak..." sahut Dinda kikuk, nyalinya menciut bahkan ia sampai membuang muka, enggan mendapat sorotan Matthew yang seakan ingin melahapnya hidup-hidup.

"Ya, bener juga, sih." Ucap Manendra sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia terlalu kaget dengan Dinda yang sangat keukeuh dengan omongannya sampai hampir ikut emosi. Padahal, ia sendiri setuju dengan Dinda karena memang Matthew dan perempuan itu sulit untuk disatukan.

 Padahal, ia sendiri setuju dengan Dinda karena memang Matthew dan perempuan itu sulit untuk disatukan

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

"Udah? Ngobrolnya?" Matthew membuka mulut, segera menyingkirkan Jay dan Manendra dari meja itu. Kedua sahabatnya terlihat ketakutan karena aura Matthew yang jadi gelap, begitu pula Dinda yang merasa tidak enak hati dengan kata-katanya barusan.

"Alasan kamu putusin aku waktu itu, serius, hanya karena Mami ngasih uang ke kamu?" Tanya Matthew tanpa basa-basi, tampangnya congkak sekali, memandang Dinda sambil duduk bersidekap.

Makin kagetlah Dinda. Perempuan itu menelan ludah dengan susah payah, enggan menatap langsung ke Mata Matthew yang membuatnya ketakutan. Tubuhnya saja sampai gemetar.

"Iya."

"Semudah itu, Din? Apa selama ini kamu nggak sayang sama aku?"

Dada Dinda terasa sesak, jantungnya berdegup sangat kencang, tidak menduga akan dicecar sedemikian rupa oleh Matthew.

"Jawab, Din." Titah Matthew tegas karena Dinda tidak kunjung menjawab pertanyaannya.

Jawaban atas pertanyaan itu tidak sulit sebenarnya, tapi karena kondisi mereka, Dinda jadi tidak bisa menjawabnya dengan gamblang. Ia tidak ingin membuat pertanyaan baru di kepala Matthew dan berbohong bukanlah hal yang diinginkan Dinda. Selain tidak pintar berbohong, Dinda merasa tidak sanggup melihat respon Matthew kelak.

"Ini ngobrol seriusnya, Matthew?" Sahut Dinda lirih, perlahan mengangkat kepala agar bisa memandang Matthew.

"You think?"

"Pertanyaan kamu sudah jelas, kan, jawabannya?"

"Jelas gimana? Jelas kalau kamu masih ngehindarin aku? Jelas kalau kamu menyembunyikan sesuatu dari aku? Gitu maksudnya?"

Dinda terhenyak, ia mengerutkan kening menatap Matthew dengan nyalang dan sebelum perempuan itu berbicara, Matthew kembali mengeluarkan suara

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Dinda terhenyak, ia mengerutkan kening menatap Matthew dengan nyalang dan sebelum perempuan itu berbicara, Matthew kembali mengeluarkan suara.

"Kamu pikir aku nggak tahu kalau sogokan Mami itu nggak pernah ada? Atau rumah di GBI yang cuma karangan kamu doang? Oh iya, kerjaan kamu juga... kamu sengaja bilang keterima kerja biar nggak masuk ke restoran aku, kan?"

Bibir Dinda bergetar, kata-kata yang ingin ia ucapkan tertelan kembali. Seluruh pernyataan Matthew benar-benar membuatnya mati kutu. Tidak ada yang bisa ia elak, tidak ada yang bisa ia pelintir karena semuanya adalah fakta.

"Dinda," suara Matthew melembut, pria itu menyisir rambutnya dengan frustasi dan memajukan tubuh agar bisa mendapati dua mata Dinda yang kembali menghindarinya.

"Din--"

"Udah, Matthew." Dengan lirih Dinda memotong ucapan Matthew, ia memberanikan diri menatap Matthew yang tatapannya melembut, tidak lagi setajam pisau yang bisa mencabik-cabik hatinya.

"Yang dulu, udah." Kata Dinda tegas.

"Tapi, Din--"

"Udahan, Matthew. Kita udahan. Selesai. Please move on, do what you can do now. Aku juga lagi berusaha menata hidupku sebaik mungkin, kok." Jelas Dinda membuat hati Matthew mencelus.

Disuruh move on oleh orang yang membuat hari-harinya kalang-kabut akhir-akhir ini tentu saja menyakitkan. Matthew bahkan ingin meraih tangan Dinda, tapi perempuan itu mengelak.

"Mau gimana pun juga kita nggak bisa barengan lagi, Matthew. Inget kata Mami Papi, dunia kita beda."

"Dinda!"

"Sekarang aku paham sama kata-kata Mami Papi kamu, Matthew!" Dinda turut berseru, takut Matthew memotong omongannya. Setelah Matthew diam, Dinda berusaha bernapas dengan tenang dan melembutkan suaranya. "Jangan naif, Matthew. Kamu pun sadar, kan?"

"Tapi kalau kita usa--"

"Kalau kita usaha, hasilnya tetap akan sama, Matthew."

"Dinda!"

Dinda menggigit bibir bawahnya dengan gusar. Dadanya terlalu sesak sampai ia berdiri karena tidak sanggup berada di cafè itu lama-lama, ingin beranjak pulang dan menutup hubungannya dengan Matthew selamanya.

"Din!" Seru Matthew menahan tangan Dinda, meminta perempuan itu untuk duduk lagi tapi Dinda menepisnya.

"Kalau ngobrol seriusnya gini, mending aku pulang aja Matthew." Kata Dinda lemas, sedikit mundur untuk menjaga jarak.

Matthew menghela napas panjang, ia salah langkah karena emosi saat mendengar obrolan Dinda dan Jay sebelumnya. Pertanyaan yang ingin ditanyakannya soal beasiswa Dinda malah tidak keluar dari mulutnya sama sekali. Ia salah, dan akibatnya, Dinda memilih untuk beranjak meninggalkannya di cafè itu.

"Salam buat Jay sama Manendra, aku duluan, Matthew."

Thank you for reading! If you like it don't forget to like and comment ^^

Unbroken String [Complete]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora