Prologue

15 3 4
                                    

Gemuruh guntur saling bersahutan di tengah malam hujan badai. Di sebuah rumah di bagian perbatasan barat Kerajaan Slovia terdengar teriakan dan rintihan seorang wanita yang berjuang demi melahirkan kehidupan baru. Ada empat sampai lima pelayan yang membantu proses bersalin. Menantikan kelahiran seorang anak dari Marquess Hugo.

"Tarik napas, iya ... lepaskan perlahan."

"Perlahan, kepalanya sudah muncul."

"Eunghhhh!!"

"Lebih kuat lagi!!"

"Arggghh!!"

Tidak lama terdengar suara tangisan bayi. Seorang pelayan segera membawa sang bayi untuk dimandikan. Beberapa pelayan di sana turut bersuka cita, saling menggendong bayi perempuan yang baru saja lahir. Kulit kemerahan yang tampak rapuh segera diselimuti dengan selimut tebal berbahan wol.

"Dia sangat cantik sama seperti ibunya," puji salah satu pelayan menggendong bayi tersebut, perlahan menyerahkan sang bayi ke dalam pangkuan ibunya.

Senyum bahagia menghiasi wajah rupawan wanita yang baru saja melahirkan. Meskipun ia terlihat lelah dan wajahnya masih basah oleh peluh, ia masih tetap cantik. "Sayang, ini ibu. Sebentar lagi ayahmu akan datang. Jadilah anak baik, ya."

"Nyonya, apakah anda sudah memikirkan namanya?"

"Namanya Fiona, aku ingin ia menjadi seseorang yang adil."

"Nama yang bagus, Nyonya," puji para pelayan.

Namun, di tengah hiruk pikuk kebahagiaan. Pintu kamar terbuka lebar, seseorang menerobos masuk. Seorang wanita tua berambut putih melangkah renta menghampiri. Wajahnya yang penuh keriput menatap lama bayi yang ada dalam pelukan ibunya. Darah mendesir merangkak naik di wajahnya, ia mengerutkan kening tampak kesal.

Ruangan tiba-tiba menjadi sunyi, tidak ada seorang pun yang berani mengeluarkan suara untuk menyambut kedatangan wanita tua itu sebab dia adalah seorang penasehat kerajaan.

"Kecantikan adalah sebuah anugerah yang diidamkan banyak wanita di dunia ini. Namun, kecantikan ini adalah sebuah kutukan bagi Kerajaan Slovia." Ia berjalan semakin mendekat, berniat meraih bayi itu. "Anak ini harus segera dibawa pergi jauh dari kerajaan sebelum terlambat. Dia adalah malapetaka yang akan membawa kehancuran bagi kerajaan."

"Cepat bawa pergi anak itu!" perintahnya lagi dengan tegas.

"Aku tidak mau!" teriak wanita yang memegang erat bayi yang baru dilahirkannya beberapa menit yang lalu.

Air mata mengalir deras membasahi wajahnya, tidak peduli rasa sakit yang masih terasa usai melahirkan, yang ia khawatirkan adalah bayi perempuan-putrinya. Sebagai seorang ibu ia tidak akan pernah rela membiarkan putrinya dibawa pergi meski atas perintah penasehat kerajaan. Ia memeluk erat putrinya yang menangis kencang sementara beberapa orang yang membantu proses melahirkan justru terus membujuknya untuk menuruti perintah.

"Apa kau ingin menjadi seorang pemberontak? Serahkan anak itu, kami tidak akan membunuhnya. Kami hanya akan mengasingkannya sejauh mungkin dari kerajaan. Dia adalah kutukan," ujar tegas penasehat kerajaan.

"Kutukan apa?! Bayi ini adalah putriku, aku yang melahirkannya. Kalian tidak berhak membawanya pergi!"

Penasehat kerajaan mendengkus kesal, kilatan merah pada matanya terlihat sangat jelas. Ia merebut pisau buah di samping meja. Menodong wanita yang masih lemah usai melahirkan. Dengan kejam kembali melontarkan ancaman, "Jika kau tidak menyerahkan anak itu, aku bisa saja membunuhmu tidak peduli bahwa kau adalah istri Marquess Hugo."

Para pelayan di sana terkejut. Namun hanya diam tidak mampu untuk melawan. Wanita tua di depan mereka memiliki kuasa penuh atas kerajaan setelah raja dan ratu. Jika mereka berani melawan itu sama saja dengan pemberontakan, mereka terlalu takut. Takut mendapat hukuman mati yang mengerikan dari kerajaan. Hukuman yang sangat kejam hingga mampu menghukum sampai keturunan berikutnya.

"Kau memang wanita tua yang kejam! Matamu dipenuhi oleh kekuasaan. Bukan bayiku yang sebuah kutukan negeri ini tapi itu kau! Arghhh!" Di akhir ucapannya, kedua matanya membulat. Darah segar mengalir di dadanya. Wanita tua itu benar-benar menusuknya dan merebut bayi dalam pelukannya seiring kesadaran perlahan hilang.

"Cepat bawa pergi anak itu sebelum Marquess Hugo datang!" perintah penasehat kerajaan pada prajurit rendahan yang berjaga di luar pintu kamar.

"Dan kalian, urus mayat istri Marquess Hugo jangan sampai diketahui orang lain. Katakan saja pada Marquess Hugo istrinya tewas karena melahirkan begitupun dengan anaknya yang tidak bisa diselamatkan. Jangan lupa untuk tutup mulut jika aku datang kemari!" ujarnya melenggang pergi setelah memberi perintah pada para pelayan rendahan yang hanya bisa menahan tangis, terlalu takut untuk menolak perintah.

"Baik, Madam."

Pukul satu malam, gerbang benteng dibuka lebar. Pacuan kuda terdengar semakin mendekat pertanda Marquess Hugo dan rombongannya telah kembali dari barak timur setelah melakukan serangkaian kegiatan militer dengan para tentara kerajaan. Semua orang tahu beliau datang di tengah malam untuk menemui istri dan juga anaknya.

Di balik wajah tegas dan dingin itu terdapat sebuah kebahagiaan yang tersirat. Menantikan kabar baik. Namun, saat kakinya sampai di depan pintu kamar-para pelayan sama sekali tidak menunjukkan sesuatu yang baik. Mereka menunduk penuh rasa bersalah. Sehingga Marquess Hugo mendobrak pintu menimbulkan suara dentuman keras di tengah kesunyiaan malam. Tubuhnya seketika bergeming melihat sebuah gundukan di atas kasur. Di sana sebuah tubuh kaku yang mendingin tidak bernyawa telah ditutupi oleh selimut. Wanita yang ia cintai tidak lagi menyambutnya dengan senyuman.

"Ampuni dosa kami, Tuan Marquess. Kami tidak dapat menyelamatkan mereka." Para pelayan bersujud meminta pengampunan, merasa bersalah atas kematian yang menimpa istri Marquess Hugo.

"Mereka? Jadi ... anakku juga tidak dapat diselamatkan?"

"Ini kesalahan kami. Kami bersalah dan patut dijatuhi hukuman tapi kami masih tidak tahu diri meminta pengampunan, Tuan Marquess."

Wajah Marquess Hugo memucat, kelopak mata terkulai lemah. Ia mengigit bibir bawahnya. Masih berusaha tegar di bawah pengawasan para bawahan dan pelayan, ia hanya melangkah pelan menuju tempat di mana istrinya terbaring. Di sekitar kasur terdapat banyak noda darah kental yang masih basah menandakan jejak perjuangan sang istri yang tidak akan sebanding dengannya saat mengikuti perang melawan musuh kerajaan.

"Maafkan aku tidak datang di detik-detik pengorbananmu. Maaf, sayangku." Tangan besarnya yang kasar mengelus wajah halus dingin sang istri. Kulit yang biasanya selalu hangat kini sangat dingin membeku, padahal sudah berbalut selimut tebal.

Mendengkus lemah, Marquess Hugo beranjak cepat menyadarkan diri. Ia berdiri tegak setelah mencium kening istrinya penuh sayang, baru setelah itu memberi perintah pada pelayan. "Segera kremasi dan lakukan acara pemakaman," perintahnya tegar. Tidak menunjukkan kesedihan yang berlarut-larut.

Pelayan mengira Marquess Hugo adalah lelaki yang apatis, di kematian istrinya sama sekali tidak menunjukkan kesedihan yang mendalam. Masih bersikap seperti biasa, menjadi seorang Marquess yang disegani semua orang. Namun, tanpa seorang pun tahu di balik wajah tegar dan tegas itu menyimpan luka yang mendalam.

Dibandingkan kekalahan dalam perang, kehilangan istri beserta anaknya adalah pukulan terbesar dalam hidupnya. Meskipun di kemudian tahun ia menjalani kehidupan seperti biasa, menjadi seorang yang berdedikasi bagi kerajaan tetapi hatinya tetap kosong. Ia bagaikan hanya sebuah daging dan tulang tanpa nyawa. Tidak pernah berniat kembali untuk mempersunting wanita lain. Ia memegang teguh janjinya hanya mencintai satu-satunya wanita di dunia ini yaitu mendiang istrinya.

The EtherealWhere stories live. Discover now