D-2

166 39 6
                                    

Perasaan itu tidak pernah hilang. Aku mungkin bisa hidup normal, tapi aku tahu jauh di lubuk hatiku ini masih ada Reyhan. Aku menatapnya yang sedang bercanda dengan Kun sambil menggotong meja ke halaman belakang. Aku merindukan senyumnya. Perpisahanku dengan Reyhan yang penuh drama tidak pernah bisa kulupakan. Dia jelas marah dan menolak habis-habisan ketika aku minta putus.

Jika Reyhan tahu apa yang terjadi, ia pasti tidak akan menyerah. Namun, aku cukup tahu diri. Aku juga berpikir bahwa Reyhan bisa mendapatkan wanita lain yang lebih baik. Menurut orang tuanya—dan menurutku, aku memang bukan orang yang sepadan untuk Reyhan. Aku yang menyerah pada hubungan kami.

Setelah putus dan pindah kota, aku berusaha memperbaiki diri dan kehidupanku. Supaya jika suatu hari aku bertemu dengan pria, tidak ada yang menolakku. Kata-kata orang tuanya Reyhan memang sedikit membuatku sakit hati dan insecure. Aku tak percaya diri akan ada orang tua yang menerimaku sebagai menantu mereka.

"Dia dari kemarin di sini enggak pernah ketawa lebar gitu, pasti serius dan murung."

Aku menoleh dan melihat Gita yang ternyata sudah berdiri di sisiku. Dia juga menatap ke arah yang sama denganku.

Gita kemudian melanjutkan, "Rey bilang, dia enggak nyangka bisa ketemu lo lagi, De."

"Gue juga enggak nyangka, Git," balasku. Aku kemudian balik badan dan menuju dapur lagi untuk menyiapkan makan malam. Gita pun mengikutiku. Setelah makan siang tadi, aku memang bersembunyi di dalam kamar dengan alasan lelah. Aku tak perlu menjelaskan pada Gita bahwa aku masih kaget dengan kehadiran Reyhan di sini.

Aku baru keluar setelah agak sore untuk membantu Gita memasak makan malam. Entah angin dari mana, Kun berinisiatif untuk makan malam di halaman belakang. Jadi, para pria sedang sibuk menata meja dan kursi di halaman belakang. Kata Kun, ia ingin mengingat masa kuliah dulu karena kami sedang berkumpul di sini.

"Kalau misalnya dia minta balikan, lo mau, De?" Gita bertanya hal yang tak pernah aku pikirkan.

Aku memang tak pernah berpikir untuk bisa kembali dengan mantan pacarku itu walaupun hatiku masih nyangkut di dia. Yang kutahu, Reyhan sudah menikah, jadi aku berusaha menghilangkan semua perasaanku padanya. Aku tak pernah berharap kembali pada Reyhan.

Aku menggeleng untuk menjawab pertanyaan Gita. Dia terlihat bingung, lalu aku menjelaskan, "Gue enggak pernah berharap balik sama Reyhan. We both have a different life right now. Dia pun masih marah sama gue. Jadi, ya gue enggak pernah kepikiran sampai sana."

"Gue yakin perasaannya Reyhan masih sama ke lo. Perasaan kalian berdua masih sama, kan?"

Aku tak berniat menanggapi pertanyaan itu. Gita mungkin sudah tahu, dia hanya ingin mendengarnya langsung dari mulutku. Aku mungkin tak pernah menceritakan isi hatiku yang sebenarnya, tapi aku yakin Gita tahu. Dia hanya perlu memastikan.

"Gue yakin kalian berdua masih saling cinta."

"Cinta aja sudah enggak cukup untuk bikin kami balikan. Kayak yang gue bilang tadi, dia punya kehidupan, gue juga punya kehidupan lain, Git. "

Gita akhirnya berhenti membicarakan Reyhan lagi. Dia malah menceritakan beberapa rekan kantornya yang jomlo dan menawariku untuk berkenalan dengan mereka. "Lumayan sekalian nambah relasi, siapa tahu mereka bisa sekalian kasih referensi job buat lo."

"Enggak, gue ke sini bukan mau nyari jodoh, Git. Li-bur-an."

Gita tertawa. "Enggak apa-apa, sambil menyelam minum air. Siapa tahu pulang dari sini sudah enggak jomlo lagi."

Aku tetap bersikukuh bahwa aku tidak kepikiran untuk mencari jodoh.

Setelah selesai menyiapkan makan malam, aku dan Gita bergantian membawa piring berisi hidangan istimewa kreasi kami. Kun menyambut dengan suka cita sementara Reyhan hanya diam saja. Aku pikir, Reyhan sudah akan mengajakku bicara atau tertawa seperti tadi saat dia bersama Kun. Ternyata, aku harapanku terlalu tinggi. Reyhan kembali ke mode saat kami pertama bertemu siang tadi. Dingin.

Dear XTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang