Minu menarik napas dalam. Dengan penuh kesabaran dan kelembutan dia memulai sesi QnA.

"Kakekmu di Inggris?"

"Iya." Zophy menjawab seadanya.

"Jadi, sebenarnya kau ini tinggal di Inggris?"

"Iya."

"Bule, dong?"

"Nggak juga..." Zophy sedikit memiringkan kepalanya ke kiri. "Eh, iya nggak, sih? Emang termasuk?"

Minu mengedikkan bahu. "Setengah?" Dia juga tidak tahu apapun mengenai bule-bulean. "Pertanyaan berikutnya. Bagaimana hubunganmu dengan kakekmu?"

"Biasa aja."

"Apa kau anak tunggal?"

"Iya."

"Berapa anggota keluargamu yang ada? Kalau keluarganya Jay nggak termasuk."

"Cuma kakek."

"Orang tuamu?"

"Dah nggak ada."

Minu ingin menggali lebih dalam lagi mengenai keluarga Zophy, terutama orang tuanya. Tetapi Minu mengurungkan niat, begitu dia menyadari gerak gerik Zophy yang menunjukkan ketidaknyamanan.

"Kalau gitu ceritakan sedikit kenangan yang kau ingat waktu di Inggris." Minu segera mengganti topik pembicaraan. "Apa aja," lanjutnya.

Bibir Zophy mengerucut diiringi deheman yang keluar menandakan sedang berpikir. Manik matanya berputar di atas sklera mata, berusaha mengingat.

"Oh!" Kedua alis Zophy terangkat begitu otaknya memutarkan salah satu dari banyaknya kenangan yang sudah lama terkubur.

Zophy's POV

Aku nggak mengingat pasti berapa umurku kala itu, yang jelas masih bocil banget.

Waktu itu kakek berencana menghabiskan waktu bersama, tapi dia nggak datang karena ada meeting dadakan.

Jadinya hanya ada aku dan bibi pengasuh yang berada di tempat bermain anak. Di usia bocil itu, seorang pengasuh berusia 40-an bukanlah teman yang cocok untukku.

Pengasuh itu nggak bisa menyamakan energinya dengan energi anak kecil. Setelah 1 jam bermain bersama, pengasuh itu akhirnya menyerah dan membuatku bermain sendirian.

Bermain sendirian, apa yang bisa dimainkan?

Setelah melihat sekitar, aku memilih balok susun. Di tempat balok susun itu, hanya ada 1 anak laki-laki.

Anak laki-laki itu sangat menyebalkan dan sombong. Kalau aku tahu dia seperti itu, nggak bakal mau aku main balok.

Saat aku baru mau menyentuh balok itu, dia berkata dengan angkuhnya tanpa melihat ke arahku, "Don't touch it. My friend made it a while ago."

Dia bilang temannya baru saja membuat istana dari susunan balok itu. Terus kenapa? Bukannya ini tempat main umum?

Tanpa menghiraukan larangannya aku menyentuh dan merobohkan istana itu, dan menyusun ulang rumah versiku sendiri.

Tentu saja dia langsung melirik sinis. Dia yang tadinya enggan melihatku, sekarang menatapku menusuk. Kalau saja tatapan bisa membunuh orang, aku pasti sudah mati saat itu juga.

Let's Break The Wind Where stories live. Discover now