11🌊; Hilang separuh

Începe de la început
                                    

"Nggak pernah, Laras. Sekalipun nggak pernah aku bertengkar dengan Bapak karena kamu. Aku yang salah, aku kelepasan melawan Bapak."

Tanpa ragu, Dewangga meraih tangan Laras untuk ia genggam. Susah payah laki-laki itu menahan sesak di dadanya selepas mendengar semua kalimat yang Laras ucapkan.

"Kata maaf pun sepertinya nggak cukup. Jadi, Laras, aku harap dengan keputusan ini, kamu bisa menemukan kebahagiaan yang lebih utuh."

Mendengarnya, Laras hanya mengangguk. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan selain pasrah. Sebab dengan begitu hati-hati, Dewangga langsung membawa Laras ke dalam pelukan. Dengan harap, rasa sesaknya bisa melebur sedikit demi sedikit.

"Aku minta maaf, Laras."

Lagi, hanya anggukkan yang terlihat. Laras nampak kesulitan mengontrol dirinya sendiri begitu Dewangga dekap kuat-kuat. Ada gejolak aneh dalam hatinya, semakin kuat dan semakin bergemuruh. Sampai tanpa sadar, Laras menjatuhkan air matanya begitu menyadari kalau hubungannya dengan Dewangga kini sudah berakhir.

Semuanya masih terputar dengan sangat jelas dikepalanya. Dewangga yang sekarang sedang berbaring di atas ranjang, hanya bisa termenung menatap langit-langit kamar. Tangisan Laras bahkan masih bisa ia dengar meski hanya samar-samar. Sebab setelah pelukan dilepas, Laras cepat-cepat menghapus sisa air matanya.

Ditambah tadi melihat Bapak yang tanpa tahu malu tidur dan menonton TV bersama, membuat kepala Dewangga rasanya bisa meledak kapan saja. Dewangga tidak menyapa. Terlebih, semua yang ada di ruang tamu pun tak menyadari kehadiran Dewangga yang begitu mengenaskan.

Sejak awal, pintu kamar sengaja Dewangga kunci karena tidak mau kegalauannya diganggu oleh siapapun. Suasana hatinya benar-benar buruk, bahkan bantal Nadi yang tidak punya salah pun terkena imbasnya. Begitu nahas dan memprihatinkan. Bantal berwarna merah muda itu dilempar ke sembarang arah karena sempat menghalangi gerak kakinya.

"Kenapa, sih?! Kenapa aku harus berbeda kepercayaan dengan Laras? Kenapa Laras nggak diciptakan untuk memeluk keyakinan yang sama denganku?" Sambil menatap pantulan dirinya di dalam cermin lemari, Dewangga bertanya-tanya.

"Aku juga-"

"Dewangga?" Tiba-tiba saja pintu kamar diketuk tiga kali dari arah luar.

Seketika alisnya mengkerut, Dewangga tidak mau diganggu.

"Diam! Jangan ganggu! Biarin aku sendiri dulu!" Teriaknya dari arah dalam.

Hingga beberapa detik setelahnya, Dewangga terbelalak. Suara yang memanggilnya ternyata suara Simbah. Dan dengan cekatan laki-laki itu melompat dari kasurnya secepat mungkin untuk menarik kenop pintu kemudian membukanya. Dan betul, Simbah ada di sana, menatapnya penuh tanya.

"Sudah pulang? Kok nggak ada suaranya?"

Melihat mata Dewangga berkaca-kaca dan sedikit bengkak, Simbah kemudian mengusapnya penuh kasih sayang.

"Kenapa nangis? Kamu sakit?"

Lemah. Dewangga lemah kalau sudah melihat ekspresi khawatir yang selalu Simbah berikan padanya di saat-saat tertentu. Lantas, tanpa mampu menahannya lagi, Dewangga menjatuhkan peluknya pada bahu ringkih Simbah, membiarkan tangan kusut itu mengusap puncak kepalanya tanpa henti.

Laut pasang, 1994 Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum