5. Sudut Paling Kanan, Ruang Penuh Ke-dilema-an

Start from the beginning
                                    

Raut wajah Ayah berubah. Ingatan tentang permintaan Zidan agar merahasiakan obrolan mereka spontan menyembul dipikirannya. Sejenak Ayah merasa bersalah. Tapi mau sebaik apapun menyembunyikan bangkai, tetap saja akan tercium baunya. Karena sudah terlanjur keceplosan, Ayah yakin tidak akan bisa lari dari interogasi anak gadisnya.

"Minta motor," jawab Ayah tampak pasrah. Helaan napas berat juga terdengar setelah kalimat itu sampai di telinga Naela.

Untuk sesaat suasana menjadi hening. Bahkan suara kriuk-kriuk kerupuk yang mendominasi mendadak lenyap. Berganti suara cicak yang terdengar saling bersahutan di tiap sudut langit-langit dapur.

Bersamaan dengan itu, siulan berirama menggema dari arah depan. Kontan Ayah dan Naela serempak menoleh. Keduanya menyapa dengan mimik berbeda tatkala seorang pemuda melambaikan tangan lalu melenggang pergi begitu saja.

"Adik kurang didikan," batin Naela menggerutu.

Seolah dapat memahami eskpresi kesal anak gadisnya, Ayah menepuk-nepuk pelan sisi bahu Naela. "Kalau Ayah belikan motor, Jidan bilang yang baru buat kamu, biar dia pakai yang lama."

Naela bungkam seribu bahasa. Padahal baru saja ia berniat ingin menasihati adiknya itu, tapi kini justru ia yang merasa butuh nasihat.

"Dua bulan lagi adikmu PKL. Motor dirumah cuma satu. Ayah juga yang salah nggak mikirin ini dari dulu."

"Tapi Ayu bisa naik angkot kok, Yah. Bisa juga bareng Hisyam-"

"Kalian pacaran?"

Entah sudah keberapa kali Naela mengutuk lisannya yang ceplas ceplos tanpa mempertimbangkan tanggapan lawan bicara. Seharusnya ia menyebut nama Sisil saja, bukan Hisyam. Gadis itu lupa jika sedari dulu Ayah salah kaprah mengartikan kedekatan dirinya dengan pemuda itu. Ini semua terjadi karena Hisyam kerap kali berkunjung saat Ayah ada di rumah. Pemuda itu seolah mengerti jadwal rutin Ayah pulang. Bagian menjengkelkannya adalah ia datang tidak dengan tangan kosong. Selalu ada yang dibawa dan hal itu membuat Ayah Ibu menganggap sesuatu terjadi diantara mereka.

"Yaaaahh!!" Lagi-lagi Naela merengek sebab kehabisan kata-kata untuk menyanggah. "Nggak perlu beli motor lagi!" Tukas gadis itu kembali memasang tampang serius.

"Duit-duit, Ayah. Jadi apa kata Ayah." Naela mendelik dibuatnya. "Kamu kan juga mau jadi Presiden Mahasiswa. Pasti akan lebih sibuk lagi dan nggak bisa gantian motor sama adikmu."

Seandainya Tuhan memberi Ayah kemampuan membaca pikiran, tentu Naela tak perlu menahan napas sebab frustasi akan ucapannya barusan.

"Ayu sebenernya masih bingung mau maju atau mengundurkan diri," lirih gadis itu pada akhirnya.

"Loh ada apa?"

Naela perlahan menegakkan duduknya. Kedua tangannya ia biarkan menggenggam sebuah kerupuk udang yang gagal ia nikmati sepenuh hati. "Ayah beneran mau dengerin Ayu?" tanyanya, namun tersirat keraguan dari suara pun mimik wajahnya.

"Kenapa enggak?"

Tanggapan spontan Ayah melegakan perasaan Naela. Tapi gadis itu tetap merasa gugup sebab jarang sekali ia membicarakan hal serius dengan Ayah. Hingga sebuah napas panjang berhembus, mengawali ungkapan demi ungkapan kebimbangan yang berhasil membuat raut Ayah berubah sendu.

"Jadi kamu bingung mau menentukan keputusan seperti apa?" tanya Ayah, terdengar serius.

Gadis itu hanya mengangguk lesu. Meski Ayah mulai mengubah posisi duduk menghadap dirinya.

"Nduk.." panggil Ayah pelan. Sebelah tangannya bergerak menepuk pelan bahu anak gadisnya kemudian menetap disana. "Ayah rasa, kamu nggak bener-bener bingung. Kamu cuma terlalu khawatir nantinya nggak bisa menjalankan tanggung jawab dengan baik jika terpilih, atau khawatir dipandang buruk misal kamu mengundurkan diri."

CATATAN PRESMAWhere stories live. Discover now