(42) Musuh Misterius

Mulai dari awal
                                    

"Terima kasih, Tommy." Ucap Aldebaran membuat asistennya itu mengangguk, patuh.

"Dan Pak Ferdinand, sekali lagi saya ucapkan terima kasih karena Anda datang tepat waktu. Kalau tidak, mungkin sekarang saya sudah kehilangan nyawa saya."

"Sama-sama, Al. Kebetulan saya juga sedang lewat dan saya mengenali kamu saat mereka semua mengeroyok. Saya tidak mungkin tinggal diam." Balas Ferdinand.

"Tapi Anda tidak apa-apa, kan, Pak?"

"Saya tidak apa-apa, Al. Paling hanya memar-memar kecil."

"Ya."

"Kalau begitu, biar saya antarkan bapak pulang. Bapak tidak mungkin kan menyetir sendiri." Usul Tommy.

"Tidak perlu, Tom. Saya masih bisa menyetir sendiri."

"Tapi kondisi bapak sekarang..." Tommy terlihat begitu mengkhawatirkan keadaan bosnya itu yang tetap keras kepala.

"Saya baik-baik saja, tidak usah khawatir." Melihat Aldebaran yang tetap kekeh pada keputusannya, membuat Ferdinand terkekeh.

"Kamu keras kepala juga ya, Al." Cetus Ferdinand membuat Aldebaran beralih menatapnya.

"Begini saja. Kalau Al tetap tidak ingin diantar, kamu pantau bos kamu saja dari belakang, Tom. Jadi kalau ada apa-apa, kamu bisa sigap menolongnya." Usul Ferdinand membuat Tommy berpikir sesaat, kemudian mengangguk setuju.

"Ya terserah kamu saja, Tom."

"Siap, Pak."

Selama di perjalanannya, Aldebaran tak henti-hentinya memikirkan komplotan tukang pukul yang baru saja menyerangnya secara membabi buta tadi. Siapa mereka? Sejauh yang ia ingat, ia tidak pernah memiliki musuh besar, kecuali yang terakhir kali pernah membuntutinya adalah orang suruhan yang pernah ingin menjebaknya melalui secangkir kopi waktu itu. Apa mungkin mereka disuruh orang yang sama?

Aldebaran menggelengkan kepalanya. Sepertinya bukan. Orang yang ingin menjebaknya melalui kopi tempo hari nampaknya rivalnya dalam urusan bisnis, yang sejauh ini ia menduga adalah Pak Bakti, rekan bisnis papanya sendiri. Sementara komplotan tadi sempat berbicara perihal dosa papanya di masa lalu. Apakah sang papa pernah melakukan kesalahan besar sehingga membuat orang itu menaruh dendam yang begitu dalam?

Tidak mungkin. Lagi-lagi Aldebaran menggeleng. Aldebaran kenal papanya, sangat mengenal. Ia tahu sang papa sejak dulu tidak pernah memiliki musuh besar. Dan Aldebaran yakin papanya dari dulu adalah orang yang baik, sangat baik. Ia rasa tidak mungkin jika sang papa melakukan kesalahan besar yang kemudian berefek pada keluarganya sendiri, termasuk Aldebaran.

"Kalau bukan papa, lalu siapa yang mereka maksud?" Gumam Aldebaran, berpikir keras.

Aldebaran memegang kepalanya yang mendadak terasa nyeri, sedangkan satu tangannya lagi tetap berada pada setir. Sebuah kilasan memori tiba-tiba menghampiri ingatannya. Suara seseorang yang pada saat itu cukup membuatnya ketakutan.

"Setelah melakukan beberapa kali penyelidikan, sepertinya kecelakaan itu mengandung unsur kesengajaan."

"Kesengajaan?"

"Iya, Pak. Tim kami menemukan kejanggalan pada salah satu kabel rem mobil itu. Seperti sebuah pembunuhan berencana."

//CIIITTT!!//

Aldebaran mengerem mobilnya secara mendadak dengan posisi yang sedikit meminggir. Tommy yang sejak tadi terus mengawasi atasannya itu sontak merasa kaget dan segera menginjak rem. Karena merasa khawatir, Tommy pun turun dari mobilnya untuk memeriksa kondisi Aldebaran.

Forever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang